Presiden: Pemekaran Papua Permintaan dari Bawah
Kendati memicu pro dan kontra, serta serangkaian penolakan, pembentukan daerah-daerah otonom baru di Papua diklaim sebagai aspirasi masyarakat bawah. Presiden Jokowi menyatakan, pemekaran untuk pemerataan pembangunan.
JAYAPURA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa pemekaran wilayah di Papua dilakukan untuk menciptakan pemerataan pembangunan. Pembentukan daerah-daerah otonomi baru ini juga diklaim sebagai permintaan dari masyarakat yang bertemu Presiden sejak lama.
Pemekaran di Papua dan Papua Barat terus berlanjut. Kendati memicu kontroversi dan penolakan serta mengabaikan sejumlah prasyarat pembentukan DOB, pemerintah dan DPR bergeming. Pembahasan pun dilakukan secara kilat.
Saat tanya jawab dengan wartawan di Stadion Lukas Enembe, Kabupaten Jayapura, Rabu (31/8/2022), Presiden Jokowi mengatakan, pemerintah mendengarkan permintaan dari masyarakat di Papua dan Papua Barat.
”Saya sendiri mendengar, pemerintah itu mendengar permintaan-permintaan dari bawah. Saya ke Merauke, (warga) minta (pemekaran); saya ke Pegunungan Tengah, kelompok-kelompok datang ke saya minta itu dan sudah tujuh tahun yang lalu, enam tahun yang lalu, lima tahun yang lalu, dan kita tindak lanjuti dengan pelan-pelan,” katanya.
Presiden Jokowi mengatakan, pemerintah mendengarkan permintaan dari masyarakat di Papua dan Papua Barat.
Adanya tiga daerah otonomi baru, yakni Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan, diharapkan mempermudah jangkauan pelayanan di tanah Papua yang luas. ”Ini dalam rangka pemerataan pembangunan karena memang tanah Papua ini terlalu luas kalau hanya dua provinsi, terlalu luas. Untuk memudahkan jangkauan pelayanan itulah, dibangun daerah-daerah otonomi baru,” katanya.
Terkait masih adanya pro dan kontra terkait dengan pemekaran wilayah tersebut, Presiden menyebutkan bahwa hal tersebut sebuah bentuk demokrasi. ”Sekali lagi, itu adalah permintaan dari bawah. Bahwa ada pro dan kontra itu yang namanya demokrasi,” ujarnya.
Pemekaran wilayah di Papua dan Papua Barat memicu unjuk rasa, penolakan, dan perdebatan. Majelis Rakyat Papua (MRP) menolak pembentukan daerah-daerah otonom baru tersebut. Sebab, pengajuan pembentukan DOB dinilai tidak memperhatikan aspirasi rakyat Papua dan tidak melalui persetujuan MRP.
Baca juga: DPR Kejar Target Pembahasan RUU Papua Barat Daya Tuntas Awal September
Dalam UU Otonomi Khusus sebelum perubahan kedua, aspirasi rakyat Papua dan persetujuan MRP menjadi prasyarat pembentukan DOB. Adapun dalam perubahan kedua UU Otsus, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021, peran MRP dalam memberikan persetujuan pembentukan DOB dihapus. Karena itu, MRP pun mengajukan gugatan uji materi undang-undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi.
Dalam pandangan MRP yang disampaikan di rapat dengar pendapat dengan DPR pada 22 Juni lalu, Ketua MRP Timotius Murib mengatakan bahwa pembentukan DOB belum memadai dilihat dari faktor kesiapan sumber daya manusia dan kemampuan ekonomi. Di wilayah yang sudah ada pemerintahan daerahnya pun, seperti Provinsi Papua, kantor-kantor pemerintahannya masih alami kekurangan sumber daya manusia.
Selain itu, tidak ada kajian mengenai proyeksi perkembangan Papua di masa depan. ”Tanpa ada kajian terlebih dahulu, termasuk terkait kebijakan daerah otonomi baru, MRP khawatir situasi Papua justru semakin kurang kondusif,” kata Timotius.
Pembahasan dan pembentukan daerah-daerah otonomi baru di Papua dan Papua Barat terakhir ini memang terkesan dilakukan secepat kilat. Pembentukan Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Pegunungan, dan Provinsi Papua Selatan diselesaikan dalam sepuluh hari saja.
Dalam catatan Kompas, pembahasan RUU diawali pada Selasa (21/6/2022) dan mendapatkan persetujuan tingkat pertama pada Selasa (28/6/2022). Draf akhir ketiga RUU kemudian disahkan menjadi UU pada Rapat Paripurna DPR pada Kamis (30/6/2022). Dengan demikian, pembahasan ketiga RUU hanya dilakukan selama delapan hari dan kemudian disahkan menjadi UU pada hari kesepuluh.
Selain itu, persyaratan-persyaratan yang biasanya harus dipenuhi dalam pembentukan DOB seperti diatur UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah diabaikan. Alasannya, pembentukan daerah otonomi baru ini mengacu pada UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Provinsi Papua Selatan yang hanya memiliki empat kecamatan tetap disahkan sebagai daerah otonomi baru. Dalam UU Pemerintahan Daerah, sebuah provinsi baru bisa dibentuk apabila memiliki paling sedikit lima kecamatan.
Baca juga: Tiga DOB di Papua Dikawal hingga 2024
Keharusan adanya daerah persiapan dalam pembentukan ketiga provinsi di atas juga diabaikan. Persyaratan dasar kapasitas daerah yang didasarkan pada parameter geografi; demografi; keamanan; sosial politik, adat, dan tradisi; potensi ekonomi; keuangan daerah; serta kemampuan penyelenggaraan pemerintahan; juga tidak semuanya dipenuhi dengan alasan sama.
Kini, pemerintah dan DPR kembali mengulang pembahasan kilat untuk membentuk Provinsi Papua Barat Daya. Pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Papua Barat Daya selesai hanya tiga jam oleh panitia kerja (Panja) Komisi II DPR, pemerintah, dan DPD, Selasa (30/8/2022). Pembahasan ini pun langsung dilakukan setelah surat presiden berisi persetujuan pemerintah untuk membahas bersama RUU Papua Barat Daya dibacakan dalam Rapat Paripurna DPR di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta.
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung menjelaskan, pembahasan akan dilanjutkan ke tim perumus dan tim sinkronisasi. Beberapa isu yang akan dibahas, antara lain, lokasi ibu kota dan cakupan wilayah. Dalam DIM Komisi II DPR, ibu kota Papua Barat Daya diusulkan berkedudukan di Kota Sorong. Akan tetapi, ada pendapat dari masyarakat agar ibu kota ditempatkan di Kabupaten Sorong.
Pemerintah dan DPR kembali mengulang pembahasan kilat untuk membentuk Provinsi Papua Barat Daya.
Adapun cakupan wilayah Papua Barat Daya dalam RUU diusulkan terdiri dari Kota Sorong serta Kabupaten Sorong, Sorong Selatan, Raja Ampat, Tambrauw, dan Maybrat. Namun, ada usulan Kabupaten Fakfak dan Kaimana masuk ke wilayah Papua Barat Daya. Hanya saja, masih ada masyarakat Fakfak dan Kaimana yang menolak usulan tersebut.
RUU Provinsi Papua Barat Daya pun ditargetkan disahkan 6 September 2022. ini berarti tak sampai sepekan dari pembacaan surat presiden mengenai persetujuan pembahasan RUU tersebut. Selain pembentukan Provinsi Papua Barat yang kini sedang dibahas, pembentukan Provinsi Papua Utara juga sedang diajukan.
Baca juga: DOB Merajut atau Merajah Papua
Masyarakat Papua pun menyesalkan klaim adanya dukungan masyarakat dalam pemekaran wilayah di Papua dan Papua Barat. Bukan hanya merugikan masyarakat, memaksakan pembentukan DOB juga memicu konflik sosial.
Baca juga: Antisipasi Potensi Konflik Pasca-pengesahan Tiga RUU DOB Papua
Memicu konflik sosial
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua Emanuel Gobay yang mewakili Solidaritas Organisasi Sipil Untuk Tanah Papua menegaskan, sikap pemerintah pusat yang terus mendorong kebijakan DOB tanpa melihat perpecahan dalam masyarakat dan fakta pelanggaran HAM sangat dikhawatirkan akan memicu konflik sosial antara kelompok yang menolak dan kelompok yang menerima kebijakan DOB.
”Kami meminta Presiden Joko Widodo segera membatalkan kebijakan DOB Papua yang telah menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat demi meredam konflik sesuai perintah Pasal 6 Huruf C, UU Nomor 7 Tahun 2012. Tokoh masyarakat Papua juga dilarang terlibat aktif dalam menciptakan potensi konflik akibat perbedaan sikap tentang DOB,” kata Emanuel.
Unjuk rasa penolakan DOB juga terus terjadi. Kapolda Papua Inspektur Jenderal Mathius Fakhiri mengatakan, 1.300 personel anggota Brimob bakal menjaga Papua setelah penetapan tiga daerah otonom baru tersebut. Aparat keamanan dari semua polres disiagakan untuk mengantisipasi gangguan keamanan di daerah-daerah yang baru dimekarkan itu.