Kontroversi DPR, dari Pengadaan Gorden hingga Kalender
Anggaran sebesar Rp 955 juta dialokasikan untuk pengadaan kalender Dewan Perwakilan Rakyat. Anggaran sebesar itu setara dengan besaran bansos untuk 1.600 keluarga miskin dengan asumsi masing-masing menerima Rp 600.000.
DPR seolah tak lelah menjalankan program atau proyek kontroversial. Belum hilang dari ingatan rencana pengadaan gorden puluhan miliar rupiah dan pengecatan atap Gedung Nusantara, kini Sekretariat Jenderal DPR kembali merencanakan pengadaan kalender dengan nilai fantastis.
Tak tanggung-tanggung, Setjen DPR mengalokasikan anggaran hingga Rp 955 juta untuk mencetak kalender. Dilihat dari situs layanan pengadaan secara elektronik (LPSE) DPR, tender proyek pengadaan kalender yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 itu dibuat pada 23 Agustus. Kini, proses tender memasuki tahapan pengumuman pascakualifikasi.
Pengadaan kalender merupakan proyek rutin yang dilaksanakan setiap tahun. Dari tahun ke tahun, alokasi anggaran pengadaan kalender terus meningkat. Pada 2019 dan 2020, pagu anggaran pengadaan kalender mencapai Rp 800 juta. Kemudian, pada 2021, pagu anggaran naik menjadi Rp 816,139 juta dan tahun 2022 sebesar Rp 955 juta.
Proyek pengadaan kalender itu menimbulkan kontroversi karena dilaksanakan di tengah kondisi ekonomi bangsa yang bisa dikatakan tidak sedang baik-baik saja. Tender pengadaan kalender ini sontak mengingatkan publik pada proyek-proyek kontroversial lain di DPR.
Salah satunya pengadaan gorden baru untuk rumah dinas anggota DPR pada Mei lalu. Anggaran yang dialokasikan sampai Rp 43,5 miliar. Tidak mengherankan jika proyek itu langsung menuai kritikan publik. DPR dinilai tidak peka pada kesulitan rakyat yang masih berjibaku menghadapi pandemi Covid-19 beserta dampak sosial dan ekonominya. Setelah mendapat protes keras dari publik, Setjen DPR memutuskan membatalkan proyek pengadaan gorden.
Baca juga : DPR Diberi Keistimewaan, Negara Siapkan Hotel untuk Isolasi Mandiri
Namun, kritikan publik tetap belum bisa menghentikan pengalokasian anggaran untuk hal-hal yang tidak berdampak langsung kepada rakyat. Pada bulan yang sama, Setjen DPR merencanakan pengecatan atap Gedung Nusantara yang dikenal juga dengan sebutan Gedung Kura-kura. Proyek ini memakan anggaran hingga Rp 4,5 miliar. Proyek ini akhirnya dibatalkan karena kembali menuai kritikan publik.
Polemik akibat anggaran berbagai proyek pengadaan di lingkungan DPR rupanya membuat para wakil rakyat gerah. Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Habiburokhman, sampai mengungkapkan keluhannya dalam rapat kerja bersama Kepolisian Negara RI (Polri), Sekretaris Mahkamah Agung, Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi, Sekjen MPR, dan Sekjen DPD, Senin (29/8/2022). ”Kerja Bapak-bapak (sekretaris jenderal) itu memengaruhi kami (anggota DPR), memengaruhi nama baik kami. Kami di-bully gara-gara sesuatu yang bukan urusan kami,” katanya.
Wakil Ketua Badan Anggaran DPR Cucun Ahmad Syamsurijal berjanji memberikan masukan kepada Setjen DPR agar lebih efisien dalam menggunakan anggaran. ”Meski ini anggaran rutin setiap setahun sekali, nanti kami akan kaji lagi,” ujarnya.
Menanggapi kritikan publik, Sekjen DPR Indra Iskandar menjelaskan, pengadaan kalender DPR sudah berlangsung setiap tahun. Proyek serupa juga dilaksanakan kementerian/lembaga lain. Maka, menurut dia, tidak adil jika pengadaan kalender di DPR dipersoalkan, sementara di kementerian/lembaga lain tidak dipermasalahkan.
Lagi pula, Indra mengkalim, kalender DPR berbeda dengan kalender-kalender di kementerian/lembaga. Sebab, kalender DPR berisikan kode QR (QR code). Apabila kode QR tersebut dipindai, semua orang bisa mengakses jadwal persidangan dan kegiatan anggota Dewan di mana pun mereka berada.
”Setiap tahun, aksesnya berbeda karena agenda persidangan, kan, berbeda. Jadi berbeda fungsi dengan kalender kementerian/lembaga lain. Jadi, siapa pun yang memberikan komentar supaya paham konteksnya,” ujar Indra.
Menurut rencana, Setjen DPR akan mencetak 5.000 kalender meja dan 15.000 kalender dinding dengan harga perkiraan sendiri (HPS) masing-masing Rp 27.500 dan Rp 45.000. ”Kalau dibilang kemahalan, coba cek harga kalender sejenis supaya fair,” kata Indra.
Indra menegaskan, pencetakan 20.000 kalender sudah sesuai dengan kebutuhan. Sebab, selain ada 575 anggota DPR, ada pula 1.500 staf sekretariat dan 4.300 tenaga ahli DPR. Selain itu, banyak anggota DPR yang juga meminta kalender untuk dibawa ke daerah pemilihan mereka.
Anggaran kalender Rp 955 juta itu setara dengan besaran bantuan sosial (bansos) untuk 1.600 keluarga miskin dengan asumsi masing-masing memperoleh Rp 600.000.
Namun, dengan munculnya polemik, Indra berjanji mengevaluasi rencana pengadaan kalender. ”Dibatalin saja daripada menghadapi polemik yang berkepanjangan. Saya juga sudah sampaikan ke pimpinan DPR bagaimana situasinya,” ujarnya.
Bansos 1.600 keluarga
Anggota Dewan Penasihat Indonesia Budget Center, Roy Salam, mengungkapkan, anggaran kalender Rp 955 juta itu setara dengan besaran bantuan sosial untuk 1.600 keluarga miskin dengan asumsi masing-masing memperoleh Rp 600.000. Karena itu, sepatutnya DPR memiliki sense of crisis dengan tidak mengalokasikan anggaran yang kurang bermanfaat dan tidak menunjang perbaikan kinerja.
Baca juga: Terima Amplop Kosong dari Presiden, Pedagang di Bandung Diberikan Bansos oleh Istana
Terlebih, Presiden Joko Widodo juga sudah berkali-kali mengingatkan seluruh instansi pemerintah supaya menghemat anggaran, baik APBN maupun APBD. Anggaran difokuskan untuk membiayai percepatan pemulihan kesehatan dan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Menurut Roy, pesan Presiden itu seharusnya dipatuhi, tak terkecuali oleh Setjen DPR. Apalagi, saat ini kondisi APBN sangat tertekan akibat krisis global. ”Ini semacam proyek rutinitas dan kebiasaan buruk yang harus dihilangkan. Jangan sampai anggaran yang besar justru digunakan untuk sesuatu yang tidak bermanfaat,” katanya.
Ia berharap anggaran pengadaan kalender yang rutin dialokasikan setiap tahun ini dikaji kembali. Jika tidak, hal itu tentu akan menimbulkan tanda tanya besar di benak publik.