Hakim Dipecat karena Terima Suap, TII: Pintu Masuk Bongkar Praktik Mafia Peradilan
Mahkamah Agung berharap para hakim lain menjadikan kasus HGU yang menerima suap sebagai contoh untuk tidak ditiru. MA berharap tak lagi ada hakim yang disidangkan di Majelis Kehormatan Hakim karena kasus suap.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — HGU, hakim pengadilan negeri di Jawa Timur, dijatuhi sanksi pemberhentian tidak hormat karena menerima suap untuk memenangkan perkara peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Transparency International Indonesia berharap kasus ini menjadi pintu masuk untuk membongkar praktik mafia peradilan di pengadilan yang kemungkinan sudah bersifat sistemis.
Sanksi pemberhentian tidak hormat itu dijatuhkan oleh Majelis Kehormatan Hakim (MKH) di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Selasa (30/8/2022). MKH dipimpin oleh Ketua Bidang Pengawasan Hakim dan Investigasi Komisi Yudisial (KY) Joko Sasmito, anggota KY Sukma Violetta, Siti Nurdjanah, dan Amzulian Rifa’i. Adapun dari pihak Mahkamah Agung diwakili oleh Hakim Agung Dwiarso Budi Santiarto, Jupriyadi, dan Abdul Manan.
Juru Bicara Komisi Yudisial Miko Ginting melalui keterangan tertulis, Selasa, mengatakan, HGU mengakui telah menerima suap untuk memenangkan peninjauan kembali (PK) di MA atas salah satu perkara pada saat terlapor menjabat sebagai hakim anggota di Pengadilan Negeri (PN) Tarakan. HGU menawarkan diri untuk membantu mengurus perkara hingga tuntas. Dia juga menjanjikan kemenangan bagi pelapor dengan meminta sejumlah biaya operasional.
Namun, permohonan peninjauan kembali diputus dengan amar putusan ditolak. HGU tetap menyampaikan kepada pelapor bahwa permohonan PK diterima. Pelapor sempat mempertanyakan kepada HGU mengapa ada dua amar putusan yang berbeda. Namun, akhirnya, dia melaporkan HGU ke KY karena melanggar Kode Etik dan Pedoman Hakim (KEPPH).
”Di hadapan MKH, HGU mengakui telah menerima sejumlah uang dan berinteraksi dengan advokat sehingga terbukti melanggar KEPPH,” kata Miko.
Dalam sidang KEPPH, HGU menghadirkan dua saksi, yaitu istri dan saudara angkat terlapor. Dia juga menyampaikan pembelaan secara lisan dengan mengungkap pengakuan, penyesalan, dan permohonan maaf. Bahkan, dia sempat terdengar menangis. Dia berusaha meyakinkan majelis bahwa terlapor berjanji tidak akan mengulang kesalahan yang sama. Bahkan, dia juga memohon untuk meringankan sanksi pemberhentian.
Namun, berdasarkan analisis laporan dan bukti-bukti pendukung, forum MKH sepakat memutus HGU terbukti melanggar sejumlah pasal di Surat Keputusan Bersama (SKB) MA dan KY Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dengan sanksi berat berupa pemberhentian tidak dengan hormat.
”Demi menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, MKH menyatakan bahwa terlapor dijatuhi sanksi berat berupa pemberhentian tidak dengan hormat,” kata Joko Sasmito.
Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Alvin Nicola menyampaikan, kasus ini menunjukkan bahwa masih banyak celah korupsi di MA. Jika sebelumnya kasus korupsi banyak melibatkan aktor pendukung seperti advokat atau panitera, kini hakim juga ikut dalam pusaran suap.
Dari pengawasan TII, ada dua tahapan dalam bisnis proses perkara yang berisiko tinggi korupsi, di antaranya adalah tahap pendaftaran perkara, dan pemilihan majelis hakim. Dua tahapan ini menjadi tantangan utama bagi MA untuk menutup celah korupsi peradilan.
”Instrumen deteksinya belum optimal terutama untuk menutup celah konflik kepentingan. Memang sudah ada surat edaran MA soal itu, tetapi ternyata di level implementasinya belum cukup berjalan,” katanya.
Alvin berharap, MA memberikan perhatian lebih pada celah korupsi di dua tahapan proses bisnis perkara di atas. Fungsi manajemen MA harus bisa menyesuaikan diri untuk merespons secara utuh risiko konflik kepentingan, suap, dan gratifikasi. Instrumen seperti Sistem Manajemen Anti Penyuapan (SMAP) harus dioptimalkan. Pegawai yang ditugaskan di SMAP seharusnya adalah petugas independen. Jangan lagi pegawai pengadilan ditugaskan menjadi unit pengendali karena akan rawan konflik kepentingan.
”Sistem deteksi dan pencegahan yang sudah ada di MA perlu dievaluasi dan ditingkatkan,” imbuh Alvin.
Sementara itu, Kepala Biro Hukum dan Humas MA Sobandi berharap, kasus HGU menjadi pertama dan terakhir. Hakim lain harus menjadikan perkara ini sebagai contoh agar tidak ditiru. Dia berharap tak ada lagi hakim yang disidangkan di MKH karena kasus suap perkara.
Adapun untuk mengantisipasi celah korupsi di proses bisnis penanganan perkara, menurut dia, MA sudah melakukan inovasi. Dalam tahapan pendaftaran perkara perdata, MA sudah sepenuhnya mengadaptasi aplikasi elektronik e-court. Dengan aplikasi itu, pemohon perkara tidak perlu mengantre dan tidak harus berhadapan dengan manusia untuk mencegah celah korupsi. Nantinya, proses serupa juga akan diadaptasi untuk pendaftaran perkara pidana secara bertahap.
”Untuk penunjukan majelis hakim itu menjadi kewenangan ketua pengadilan. MA dalam memilih ketua pengadilan sudah mempertimbangkan aspek kemampuan, integritas, dan rekam jejak. Tahapan yang dilalui sudah cukup proporsional, dan profesional," ujarnya.
Dia juga menyebut bahwa perkara ini akan dijadikan momentum untuk evaluasi dan pengawasan hakim di MA. Misalnya, untuk mengevaluasi apakah aplikasi SMAP sudah efektif dijalankan atau belum. SMAP selama ini dioptimalkan untuk mengawasi ribuan hakim di MA.
Usut dugaan pidana korupsi
Selain pemberhentian tidak hormat hakim HGU, Alvin juga mendorong agar aparat penegak hukum mengusut unsur pidana korupsi dalam suap perkara kasasi ini. Sidang putusan etik harus dijadikan langkah awal untuk membongkar praktik mafia peradilan yang diduga sudah kuat mengakar dan sistemis. Dia menduga dalam melakukan praktik suap itu, HGU tidak berdiri sendiri. Besar kemungkinan, praktik suap perkara sudah dimaklumi dan biasa terjadi di lingkup pengadilan.
”Rekomendasi kami kasus ini jangan hanya selesai pada orang per orang, tetapi sudah sistemis. Apalagi, tren yang kami pantau beberapa tahun terakhir semakin banyak aktor lain selain hakim yang terlibat kasus korupsi. Ini harus dijadikan untuk membongkar praktik mafia peradilan di pengadilan,” kata Alvin.