Pendaftaran Parpol Bisa Diulang jika KPU Terbukti Melanggar
Sebanyak 12 parpol yang tak diterima pendaftarannya sebagai calon peserta Pemilu 2024 oleh KPU telah berkonsultasi ke Bawaslu. Dari jumlah itu, lima di antaranya resmi mengajukan pengaduan.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Sejumlah partai politik yang tidak diterima pendaftarannya sebagai calon peserta Pemilu 2024 oleh Komisi Pemilihan Umum karena berkasnya dinyatakan tak lengkap mulai mengajukan sengketa proses ataupun laporan pelanggaran administrasi. Situasi ini hampir mirip dengan kondisi menjelang Pemilu 2019, dan pendaftaran partai politik terbuka untuk diulang jika KPU terbukti melanggar.
Berdasarkan data dari Bawaslu, Senin (22/8/2022), sebanyak 12 parpol yang tak diterima pendaftarannya sebagai parpol calon peserta Pemilu 2024 telah berkonsultasi untuk mengajukan laporan dugaan pelanggaran administrasi ataupun permohonan sengketa proses pemilu
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Parpol itu, antara lain, Partai Kongres, Partai Perkasa, Partai Pelita, Partai Bhinneka Indonesia, Partai Pandai, Partai Kedaulatan Rakyat, Partai Indonesia Bangkit Bersatu, Partai Berkarya, Partai Reformasi, Partai Pandu Bangsa, dan Partai Pakar.
Ketua Bawaslu Rahmat Bagja menyampaikan, dua dari 12 parpol itu, yaitu Partai Pakar dan Partai Kongres, mengajukan laporan dugaan pelanggaran administrasi. Adapun tiga parpol yang mengajukan permohonan sengketa proses pemilu adalah Partai Berkarya, Partai Bhinneka Indonesia, dan Partai Negeri Daulat Indonesia (Pandai).
”Namun, dua parpol yang mendaftarkan laporan dugaan administrasi ini masih dalam proses melengkapi berkas persyaratan pelaporan. Mereka memiliki waktu hingga 25 Agustus ini untuk melengkapi berkasnya atau H+7 sejak mengetahui bahwa pendaftaran tak diterima oleh KPU,” kata Bagja, Senin (22/8/2022).
Dia menerangkan, untuk dugaan pelanggaran administrasi, obyek sengketanya adalah tindakan administratif yang dilakukan oleh KPU. Adapun untuk sengketa proses, obyek sengketanya adalah berita acara dan surat keputusan yang dikeluarkan KPU. Tanpa ada berita acara dan surat keputusan, Bawaslu tak bisa memproses sengketa tersebut.
Khusus untuk dugaan pelanggaran administrasi pemilu, Bawaslu akan membuktikan apakah KPU sudah melakukan tindakan administratif sesuai dengan Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2022 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Parpol Peserta Pemilu Anggota DPR, dan DPRD. Selain itu, Bawaslu juga akan menggunakan batu uji asas-asas pemerintahan yang baik yang diatur di Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Dalam UU Administrasi Pemerintahan itu terdapat 13 asas pemerintahan yang baik (good governance), seperti persamaan perlakuan di dalam hukum. Ini akan menjadi batu uji apakah dalam tindakan administratif yang dilakukan oleh KPU selama pendaftaran dan penelitian dokumen administratif KPU bersikap adil atau diskriminatif sehingga merugikan hak konstitusional parpol.
”Misalnya, soal penerbitan berita acara dan surat keputusan. Mengapa parpol yang tidak diterima pendaftarannya karena berkas dinyatakan tak lengkap ini tidak mendapatkan? Sementara parpol lain yang mendaftar nantinya akan mendapatkan. Ini salah satunya yang akan kami uji,” papar Bagja.
Dia menekankan, harapan bagi parpol untuk bisa memperjuangkan hak konstitusionalnya masih ada. Sebab, dalam proses ajudikasi dugaan pelanggaran administrasi ini, Bawaslu dapat mengeluarkan putusan agar KPU mengulang pendaftaran terhadap parpol yang dinyatakan berkas pendaftarannya tak diterima.
Pendaftaran bisa diulang jika KPU terbukti melanggar tata cara dan prosedur pendaftaran parpol calon peserta pemilu.
”Sifat putusan itu nantinya mengikat kepada KPU. KPU wajib melaksanakan putusan Bawaslu. Jika tidak, ada sanksi pidana sesuai dengan aturan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu,” ujar Bagja.
Dihubungi pada Selasa (23/8), anggota KPU Divisi Teknis, Idham Holik, menuturkan, terkait dua parpol yang mengajukan laporan dugaan pelanggaran administrasi, KPU menunggu perkembangan lebih lanjut dari Bawaslu.
Namun, KPU yakin sudah memproses penerimaan pendaftaran parpol sesuai dengan regulasi yang ada. Hasilnya, sebanyak 16 parpol tak diterima berkas pendaftarannya karena dokumennya tak lengkap.
”Kami (KPU) sudah melaksanakan sesuai regulasi yang kami terbitkan,” ujar Idham.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil melihat, situasi saat ini mirip dengan saat pendaftaran parpol untuk Pemilu 2019.
Dari sisi jumlah parpol calon peserta pemilu, pendaftar untuk Pemilu 2024 memang lebih banyak dari 2019. Namun, yang dinyatakan berkasnya diterima dan lengkap oleh KPU sehingga bisa melaju ke tahap verifikasi administrasi dan verifikasi faktual jumlahnya hampir sama dengan tahun 2019.
”Menurut saya, secara prinsip, situasinya hampir sama dengan Pemilu 2019. Tahun 2019, sejumlah parpol spesifik mempertanyakan soal penggunaan Sipol yang berakibat pada hak konstitusional mereka tercederai. Sekarang, di tahap awal pendaftaran, soal berkas tidak diterima karena tidak lengkap,” kata Fadli, Selasa.
Pada tahun 2018, Fadli mencatat, masalah pendaftaran parpol tidak diselesaikan dengan mekanisme hukum sengketa proses, tetapi pelanggaran administrasi. Sebab, pada saat itu, KPU juga tidak mengeluarkan berita acara dan surat keputusan terhadap parpol yang tidak diterima berkas pendaftarannya karena tak lengkap.
Fadli berpandangan, mekanisme hukum pelanggaran administrasi lebih cocok diterapkan pada tahapan ini. Sebab, mekanisme itu akan menguji apakah KPU sudah melakukan tindakan administrasi yang sesuai dengan mekanisme, tata cara, dan prosedur administrasi pemilu.
Proses pendaftaran pemilu adalah salah satu proses administrasi yang dilakukan oleh KPU. Oleh karena itu, menurut dia, 16 parpol yang berkasnya tak diterima lebih pas menguji tindakan administratif KPU itu dengan dugaan pelanggaran administrasi.
”Nanti proses pemeriksaan dan pembuktiannya melalui ajudikasi atau semacam persidangan pemilu. KPU akan dipanggil sebagai terlapor, pelapor juga akan dipanggil. Pelapor juga boleh mengajukan saksi atau ahli,” ujar Fadli.
Dia menjelaskan, dalam memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran administrasi ini, Bawaslu harus mengacu pada aturan administrasi pemilu, seperti PKPU, UU Pemilu, dan petunjuk teknis lainnya. Ini bisa menjadi alat atau batu uji untuk tindakan administratif yang dilakukan KPU. Bawaslu, lanjutnya, tak boleh membuat tafsir sesuka hati mereka terkait dengan pelanggaran administrasi pemilu.
Adapun sarannya bagi parpol yang mengajukan laporan dugaan pelanggaran administrasi, mereka harus membawa bukti pada fase apa KPU dinilai melanggar tata tertib, prosedur, dan mekanisme. Misalnya, ketika berkas mereka lengkap, tetapi dinyatakan tidak lengkap oleh KPU. Mereka harus mampu membuktikan apakah tindakan KPU sudah sesuai dengan ketentuan penerimaan pendaftaran parpol peserta pemilu atau belum.
Selain itu, parpol juga bisa membawa bukti apakah ada cukup waktu dan kesempatan yang diberikan KPU kepada mereka untuk memperbaiki berkas yang ada. Fakta dan dokumen itu akan diuji dalam proses ajudikasi pemilu.