Menyoal Personel Polri Penghalang Penyidikan Kasus Brigadir J dan Spekulasi Bisnis Judi
Banyaknya jumlah polisi yang diperiksa terkait dugaan pelanggaran etik dan pidana dalam kasus Ferdy Sambo menunjukkan kepolisian masih lekat dengan ”police culture”. Untuk itu, dibutuhkan pembenahan di internal Polri.
Jumlah anggota kepolisian yang diperiksa terkait dengan kasus pembunuhan yang dilakukan Inspektur Jenderal Ferdy Sambo terhadap Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat terus bertambah. Kasus ini juga masih sulit lepas dari spekulasi.
Jika sebelumnya rekayasa pada kasus ini dapat diungkap sehingga segala spekulasi akibat kejanggalan pada kasus ini bisa disudahi, sekarang kasus ini kembali dibayangi spekulasi bisnis perjudian.
Hampir tiap kali Polri mengumumkan perkembangan penyidikan pembunuhan Nofriansyah, jumlah anggota polisi yang ikut diperiksa juga bertambah. Sebelumnya, pernah disebutkan ada 25 personel yang diperiksa, salah satunya Ferdy. Kemudian jumlahnya bertambah menjadi 36 personel, dan yang terakhir 83 personel polisi yang diperiksa. Mereka yang diperiksa mulai dari yang berpangkat brigadir jenderal hingga ajun komisaris.
Ketua Tim Khusus Polri Komisaris Jenderal Agung Budi Maryoto, pada konferensi pers pengumuman penetapan Putri Candrawathi, istri Ferdy, sebagai tersangka pembunuhan Nofriansyah, Jumat (19/8/2022), di Jakarta, menyampaikan, dari 83 anggota polisi yang diperiksa itu, enam orang di antaranya diduga melakukan tindak pidana menghalangi penyidikan. Mereka adalah Ferdy, Brigadir Jenderal (Pol) HK, Komisaris Besar ANP, Ajun Komisaris Besar AR, Komisaris BW, serta Komisaris CP.
Keenam anggota Polri tersebut, menurut Agung, akan melalui proses penyidikan.
Saat dimintai keterangan pada Sabtu (20/8/2022), Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto mengatakan, penyidikan perkara dugaan obstruction of justice atau menghalangi penyidikan yang dilakukan oleh sejumlah anggota Polri masih ditangani oleh Inspektorat Khusus Mabes Polri. Untuk itu, pihaknya juga masih menunggu limpahan berkas perkara dari Inspektorat Khusus.
Baca juga: Putri Candrawathi Berperan Mengajak Brigadir J dan Bharada E ke Duren Tiga
Spekulasi bisnis judi
Sementara itu, di media sosial, beredar beberapa diagram yang salah satunya berjudul ”Kaisar Sambo dan Konsorsium 303”. Diagram itu memuat sejumlah anggota polisi sebagai pihak-pihak yang terlibat dalam konsorsium itu, salah satunya Ferdy. Dalam pergaulan di kalangan polisi, sudah jamak sebutan 303 dikaitkan dengan perjudian. Hal itu karena ancaman pidana untuk tindak perjudian diatur dalam Pasal 303 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Beredarnya diagram itu membuat masyarakat berspekulasi bahwa pembunuhan Nofriansyah dilatarbelakangi bisnis perjudian. Dwi (42), salah satunya, menilai pembunuhan ini bukan hanya dilatarbelakangi emosi seperti diungkap Ferdy yang mengaku membunuh Nofriansyah demi menjaga kehormatan keluarganya. Namun, menurut dia, pembunuhan itu juga dilatarbelakangi upaya untuk melindungi bisnis perjudian yang diduga melibatkan sejumlah anggota polisi, seperti ditampilkan dalam diagram.
”Sepertinya pembunuhan ini juga ada kaitannya dengan bisnis perjudian. Mungkin juga benar ada anggota polisi yang terlibat (di bisnis perjudian),” ucapnya.
Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyampaikan agar personel jajaran kepolisian menindak tegas segala bentuk tindak kejahatan, termasuk perjudian.
Seakan merespons spekulasi di kalangan masyarakat saat ini, Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyampaikan agar personel jajaran kepolisian menindak tegas segala bentuk tindak kejahatan, termasuk perjudian. Pesan itu dibagikan di akun resmi Divisi Humas Polri.
”Saya ulangi yang namanya perjudian, apakah itu judi darat, judi online, dan berbagai macam bentuk pelanggaran tindak pidana lainnya harus ditindak. Saya tidak memberikan toleransi kalau masih ada kedapatan, pejabatnya saya copot. Saya tidak peduli apakah itu kapolres, apakah itu direktur, apakah itu kapolda saya copot. Demikian juga di Mabes (Polri), tolong untuk diperhatikan akan saya copot juga,” kata Listyo, seperti diunggah di akun Divisi Humas Polri di Instagram.
Baca juga: Ferdy Sambo Akui Susun Rekayasa Pembunuhan Brigadir J
Budaya abang asuh
Guru Besar Hukum Ilmu Kriminologi Universitas Indonesia Adrianus Meliala mengatakan, banyaknya jumlah polisi yang diproses dugaan pelanggaran etik dan pidana dalam kasus Ferdy Sambo ini menunjukkan bahwa di kepolisian masih lekat dengan police culture.
Budaya kepolisian yang dimaksud adalah hubungan kekeluargaan seperti sebutan abang asuh dan adik asuh bagi sesama anggota kepolisian. Ferdy Sambo diperkirakan memiliki pendekatan kekeluargaan yang baik sehingga banyak polisi yang loyal kepadanya. Di luar faktor itu, jabatan dia dulu sebagai Kadiv Propam memang ditakuti oleh polisi.
”Menurut saya, pengaruh terbesar Ferdy di kepolisian itu ada pada pendekatan kekeluargaan dalam budaya kepolisian yang masih kental. Dengan pendekatan kakak dan adik asuh ini, polisi bisa melupakan sumpah jabatan profesinya hanya untuk menyenangkan abang atau adik asuhnya. Ini yang harus dikurangi karena mengurangi kompetensi dan profesionalitas kepolisian,” kata Adrianus.
Ferdy Sambo diperkirakan memiliki pendekatan kekeluargaan yang baik sehingga banyak polisi yang loyal kepadanya.
Menurut mantan anggota Komisi Kepolisian Nasional ini, budaya kepolisian selalu berkelindan dengan kode senyap (code of silence) atau perilaku menutupi kesalahan kalangan sejawat. Ini bisa menjadi faktor dominan yang membuat polisi bekerja tidak kompeten dan profesional dalam penanganan perkara.
Dia berpandangan, sebenarnya, dalam berbagai situasi, budaya kepolisian ini memang sengaja ditumbuhkan dan diperlukan bagi anggota kepolisian. Police culture dibutuhkan untuk membuat polisi berani bekerja dalam situasi berbahaya yang berisiko hilangnya nyawa, situasi tertekan, ataupun situasi dukungan terbatas. Budaya itu relevan diterapkan di masa lalu saat Polri masih berada satu institusi dengan TNI di dalam ABRI.
Namun, dalam kondisi anggaran dan sumber daya manusia (SDM) yang berlebih di kepolisian seperti saat ini, budaya kepolisian sebaiknya dikurangi. Budaya kepolisian dikurangi untuk meningkatkan budaya profesionalisme. Dengan meningkatkan budaya profesionalisme, sistem meritokrasi akan berjalan sehingga budaya seperti abang dan adik asuh akan berkurang.
”Sejauh ini belum ada upaya serius dari Polri untuk mengurangi police culture itu sendiri dan meningkatkan profesionalisme. Jika momentum ini tidak digunakan untuk berbenah, saya khawatir kasus seperti Sambo ini akan terulang kembali,” ucap Adrianus.
Adrianus juga mendorong agar kasus Ferdy Sambo ini dijadikan momentum untuk bersih-bersih internal institusi Polri. Dia berpandangan, Polri membutuhkan reformasi jilid II agar proses pembenahan internal berjalan dengan baik. Namun, bagi dia, solusinya adalah ekstrem, yaitu mengganti gerbong kepemimpinan Polri. Keputusan ini tentu ada di tangan Presiden Joko Widodo.