Presiden Jokowi: Kita Dipandang Berbeda Dibandingkan 5-7 Tahun Lalu
Setelah aktivitas lima-tujuh tahun belakangan di dunia internasional dengan non-bloknya, posisi Indonesia sekarang ini berbeda. Presiden Jokowi menyebutkan, pandangan negara-negara lain berbeda melihat Indonesia kini.
Oleh
NINA SUSILO, CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO, MAWAR KUSUMA WULAN
·7 menit baca
Di saat merayakan 77 tahun Indonesia Merdeka, Presiden Joko Widodo menilai, Indonesia telah mencapai pada titik kemajuan seperti sekarang ini dibandingkan negara lainnya. Diakui, tidak mudah mencapai perjalanan dan hasil selama ini. Namun, anugerahNya, kerja keras bersama rakyat dan para pemimpin negeri sejak 1945, Indonesia kini banyak diperhitungkan oleh negara-negara di dunia. "Buah" dari aktivitas dan relasi selama ini dengan banyak negara-- seraya terus menjaga negara yang bebas aktif, Indonesia akhirnya dipercaya menjadi ketua presidensi G20 pada akhir November mendatang.
Bagi Presiden Jokowi, dengan kepercayaan tersebut, Indonesia harus berperan dan berkontribusi lebih jauh lagi secara aktif. "Dan, sekarang posisi dan peran Indonesia semakin diperhitungkan. Saya kira, ini kesempatan kita untuk berkontribusi terhadap dunia," ujar Presiden Jokowi, Minggu (14/8/2022), saat wawancara khusus dengan Pimpinan Redaksi Harian Kompas, Sutta Dharmasaputra di ruang Veranda Istana Merdeka, Jakarta.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Selain capaian dari relasi dengan banyak negara, Presiden Jokowi juga mengungkapkan upaya pemerintah mengatasi krisis keuangan, pangan dan energi. Berikut sebagian dari tanya jawab tersebut:
Ketika Indonesia dalam posisi yang sangat baik ini, dunia melihat kita juga punya peranan sangat besar untuk memperbaiki tatanan kehidupan global. Kebetulan, Indonesia tahun ini menjadi Presidensi G20. Mungkin Bapak bisa bercerita, bagaimana kesiapan keketuaan Indonesia di G20 ini dan bagaimana respons negara-negara lainnya?
Ya ini, Presidensi G20, kita ini diberi amanat, kepercayaan, dan kehormatan, untuk ikut berperan dalam situasi yang tidak mudah, tentu kita siapkan dengan baik. Karena kepercayaan itu harus betul-betul kita respons dengan tindakan konkret. Sebelumnya, saya sering, tidak sekali dua kali, berdiskusi, telpon, dengan Sekjen PBB Antonio Guterres, dengan kepala-kepala negara mengenai situasi seperti ini. Waktu mau ke Kiyv, Ukraina dan Moskow, Rusia, satu setengah bulan sebelumnya, saya juga sudah bertelpon dengan Presiden (China) Xi Jinping. Selain itu, telpon dengan beberapa kepala negara di Uni Eropa, dan berdiskusi dengan Perdana Menteri India (Narendra Modi). Waktu bertemu Presiden (AS) Joe Biden juga berdiskusi soal itu. Dari diskusi itulah kita memutuskan pergi ke Ukraina dan Rusia.
"Dari pembicaraan satu setengah jam dengan Presiden (Volodymyr) Zelenskyy dan dua setengah jam dengan Presiden (Vladimir) Putin, kita jadi tahu. Betapa krisis pangan ini betul-betul bisa kejadian lebih cepat kalau (masalah ekspor) tidak diselesaikan"
Bagaimana saat bertemu kedua Presiden yang tengah berseteru itu?
Dari pembicaraan satu setengah jam dengan Presiden (Volodymyr) Zelenskyy dan dua setengah jam dengan Presiden (Vladimir) Putin, kita jadi tahu. Betapa krisis pangan ini betul-betul bisa kejadian lebih cepat kalau (masalah ekspor) tidak diselesaikan. Ekspor dari Ukraina dan dari Rusia ini (perlu) dibuka dan benar-benar dibuka. Waktu saya berdiskusi dengan Presiden Zelenskyy, dia juga minta jaminan keamanan kapal yang masuk ke Odessa dan terus ke Istanbul, betul-betul diberikan jaminan keamanan. Hal itu saya sampaikan ke Presiden Putin.
Beliau menyampaikan, "Lho kalau jaminan keamanan tidak ada masalah, kita bisa memberikan guarantee, bisa memberikan jaminan keamanan". Saya sampaikan ke Presiden Putin, "Boleh ini saya sampaikan ke media?". ‘Silahkan’. Saya sampaikan ke Sekjen Antonio Guterres bahwa ada jaminan keamanan dari Presiden Putin untuk urusan pangan. (Saat) Ini sudah ada kapal yang mulai keluar dari Odessa menuju Istambul. Ini kan bagus.
Ini proses agar krisis pangan itu tidak semakin parah, dan semakin bisa kita atasi. Karena dari diskusi saya dengan Presiden Zelenskyy, beliau menyampaikan ada stok 77 juta ton (gandum) ada di Ukraina, siap untuk dikirim. Kemudian Presiden Putin menyampaikan ada 130 juta ton gandum ada di Rusia. Jumlahnya berarti total di dua negara itu 207 juta ton. Gede sekali, ini yang harus segera keluar dan nanti bisa dibeli, dinikmati oleh negara-negara yang membutuhkan.
Artinya, masyarakat Indonesia harusnya bangga ya, bahwa Indonesia sekarang mempunyai peran yang penting untuk memperbaiki tatanan global?
Intinya, kita telah diberi kepercayaan dan harus berperan, berkontribusi. Dan sekarang posisi dan peran Indonesia semakin diperhitungkan. Saya kira ini kesempatan kita untuk berkontribusi terhadap dunia.
Bapak merasakan ketika bertemu pimpinan-pimpinan negara itu, ada yang berbeda mengingat posisi dan peran Indonesia sekarang ini?
Sangat berbeda dibanding tujuh tahun atau lima tahun yang lalu. Kita ini memang bebas aktif. Non aligned. Kita ini Nonblok. Di semua negara diterima. Kita mau ke manapun juga dihargai. Saya kira, kita ingin merangkul semuanya untuk sebuah dunia yang damai, dunia yang semakin baik, dan kita berharap nanti di G20 pun semua yang kita undang bisa hadir. Ini momentum untuk kebangkitan ekonomi dunia kalau mereka bisa hadir semuanya dan bisa bicara semua secara baik-baik. Saya sampaikan pentingnya ruang dialog bagi negara-negara yang berseteru.
Keseimbangan moneter dan fiskal
Meskipun di bawah tekanan dan belitan berbagai krisis global, perekonomian Indonesia dinilai bisa tetap tumbuh 5,01 persen di Kuartal pertama 2022, dan tumbuh lagi 5,44 persen di Kuartal kedua. Demikian pula inflasi dari Kuartal pertama 4,35, di Kuartal 4,9. Meski demikian, pengendalian perekonomian dinilai tidak mudah karena dari sisi moneter, nilai tukar rupiah tetap bertengger di angka Rp 14.700-Rp 14.800 per dollar AS. Artinya, pengendalian moneter dan fiskal harus diupayakan bisa berjalan beriringan. Inilah strategi yang mau tidak mau harus terus dijalankan pemerintah ke depan jika ingin tetap bertahan di ekonomi sulit.
Bagaimana dengan kemampuan anggaran kita akibat ancaman krisis tersebut dan strateginya?
Sekarang, kayak urusan energi saja, kita harus menyubsidi Rp 502 triliun. Untung kita memiliki pendapatan dari kenaikan (harga) komoditas. Kalau ndak, ndak akan kita kuat menghadapi itu. Pertalite (per liter) masih kita jual Rp 7.650, harga yang benar, keekonomian itu Rp 17.100. Solar masih dijual Rp 5.150, padahal harga sebenarnya Rp 19.000. Pertamax juga harusnya Rp 17.200 kita jual Rp 12.500. Ini subsidi. Enggak ada negara seberani kita menyubsidi sampai Rp 502 triliun. Itu kalau di-(konversi ke) miliar dollar AS kira-kira 35 miliar dollar AS untuk subsidi. Inilah dukungan strategi kita untuk menahan agar tak terjadi perlambatan ekonomi, kenaikan inflasi yang sangat drastis seperti negara lainnya.
"Kayak urusan energi saja, kita harus menyubsidi Rp 502 triliun. Untung kita memiliki pendapatan dari kenaikan (harga) komoditas. Kalau ndak, ndak akan kita kuat menghadapi itu"
Tantangan global saat ini sedemikian besar. Akibat krisis lingkungan, perubahan iklim yang sangat ekstrem terjadi. Krisis pangan dan energi juga menghadang akibat konflik Rusia-Ukraina ditambah memanasnya suhu politik global di Selat Taiwan. Meskipun Indonesia mampu bertahan dan berjalan on the track melakukan pemerataan pembangunan, tetapi tantangan global sedemikian besar. Apa langkah antisipasinya?
Ya, eksternal sekarang ini sangat mempengaruhi kondisi semua negara. Misalnya, perang di Ukraina, ini kan sebenarnya jauh banget dengan kita, tapi tetap berpengaruh terhadap kondisi ekonomi, pangan, dan energi. Dan, beratnya, krisis ini dimulai dari krisis kesehatan karena pandemi Covid-19. Rangkaian krisis yang berturut-turut hingga ke krisis finansial membuat IMF dan Bank Dunia menyampaikan kondisi tahun ini adalah yang sangat berat. Dan, tahun depan, akan gelap dan lebih berat. Mereka menyampaikannya significant dark, dan itu betul-betul harus kita hati-hati. Kita harus betul-betul waspada, bagaimana mengelola moneter, ekonomi makro kita, mengelola fiskal APBN sejalan dan seiring. Itu juga sesuatu yang tidak mudah.
"Ya, eksternal sekarang ini sangat mempengaruhi kondisi semua negara. Misalnya, perang di Ukraina, ini kan sebenarnya jauh banget dengan kita, tapi tetap berpengaruh terhadap kondisi ekonomi, pangan, dan energi. Dan, beratnya, krisis ini dimulai dari krisis kesehatan karena pandemi Covid-19. Rangkaian krisis yang berturut-turut hingga ke krisis finansial membuat IMF dan Bank Dunia menyampaikan kondisi tahun ini adalah yang sangat berat. Dan, tahun depan, akan gelap dan lebih berat. Mereka menyampaikannya significant dark, dan itu betul-betul harus kita hati-hati. Kita harus betul-betul waspada, bagaimana mengelola moneter, ekonomi makro kita, mengelola fiskal APBN sejalan dan seiring. Itu juga sesuatu yang tidak mudah"
Lalu, bagaimana pemerintah bisa merencanakan sebuah strategi yang bisa menjawab tantangan ke depan secara tepat, jauh sebelum krisis energi dan krisis pangan dan keuangan benar-benar terjadi?
Di G20 kita bertemu dengan lembaga-lembaga internasional. Mereka menyatakan akan terjadi krisis energi, akan terjadi krisis pangan. Mereka sudah menyatakan bolak-balik. Jadi, negara yang akan menang adalah negara yang bisa menyiapkan energinya, dan pangannya. Dan kita bereaksi dengan membangun infrastruktur bendungan, embung dan lainnya tadi. Kemudian untuk energi kita masuk ke B30 sawit. Itu dalam rangka menuju ke sana. Betul-betul kita harapkan, kita bisa mandiri, berdikari, (berdiri) di (atas) kaki kita sendiri. Inilah sesuatu yang harus kita perjuangkan. Selama ini, kita memang sudah ada peringatannya. Untuk itu, kita harus betul-betul melihat dan memperikirakan kejadiannya. Mereka (dunia) sudah berhitung semuanya bahwa negara yang akan survive adalah negara yang memiliki ketahanan energi, ketahanan pangan, dan sekarang juga tambah ketahanan kesehatan.