Peringkat Indeks Ketahanan Pangan Indonesia menurun, dari 65 pada 2020 menjadi 69 pada 2021. Pondasi ketahanan pangan adalah petani, modal, dan kelembagaan, untuk mencapai ketahanan pangan berkelanjutan
Oleh
LUKMAN ADAM
·4 menit baca
Kompas
Supriyanto
Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) telah merilis indeks harga pangan tahun 2021 sebesar 124,9 (harga nominal) dan 124,2 poin (harga riil). Tertinggi secara nominal setelah tahun 2011 dan tertinggi secara angka riil dalam 25 tahun. Produk yang memiliki pengaruh terbesar dalam peningkatan harga pangan adalah minyak nabati, serealia, dan olahan susu.
Peringkat Indeks Ketahanan Pangan Indonesia 2021 juga menurun menjadi 69, sebelumnya peringkat 62 (2019) dan 65 (2020). Indonesia berada pada peringkat 113 untuk indikator sumber daya alam (SDA) dan daya tahan, dan 95 untuk kualitas dan keamanan pangan. Indikator SDA dan daya tahan menilai dampak perubahan iklim bagi negara, kerentanannya terhadap SDA, dan bagaimana negara beradaptasi dengan risiko tersebut, yang dikaitkan dengan aspek ketahanan pangan.
Masih berlanjutnya pandemi Covid-19 dan isu pemanasan global membuat tantangan ketahanan pangan Indonesia ke depan semakin berat.
Pondasi ketahanan pangan adalah petani, modal, dan kelembagaan. Di tengah persaingan pemanfaatan lahan dengan sektor lain, maka pemanfaatan teknologi dan meningkatkan kualitas petani adalah kunci.
Petani yang dibutuhkan bukan saja milenial, tetapi juga profesional. Memiliki mata pencaharian utama di sektor pertanian, melek teknologi, dan mengerti bisnis usaha tani. Indeks mekanisasi pertanian di Indonesia memang meningkat dari 0,015 di tahun 1983 menjadi 1,68 di tahun 2018 (FAO, 2019). Peran penyuluh sangat penting sebagai ujung tombak mendorong mekanisasi pertanian.
Kompas
Seorang penyuluh pertanian mengoperasikan mesin panen padi dalam kegiatan panen raya padi di Desa Andaman, Kecamatan Anjir Pasar, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan, Kamis (6/8/2015).
Selain itu, fokus pemerintah sudah harus bertransformasi. Jangan hanya semata mendorong peningkatan produksi, harus mulai mengarah pada perubahan konsumsi pangan.
Indonesia termasuk dalam 15 dari 19 negara G20 yang berkomitmen dalam upaya mengurangi pemborosan pangan. Indeks Pangan Berkelanjutan Indonesia yang di hitung dari bobot rata-rata pemborosan dan kehilangan pangan (food and loss waste), pertanian berkelanjutan, dan nutrisi berada pada peringkat 18 negara G20, hanya di atas Arab Saudi.
FAO melaporkan sekitar 14 persen kehilangan pangan terjadi mulai dari panen sampai pengecer dan 17 persen pemborosan pangan terjadi di tingkat konsumsi. Oleh karena itu, perlu segera di dorong kebijakan anti kehilangan dan pemborosan pangan (anti FLW policy).
Kebijakan tersebut berisi upaya mencegah kehilangan pangan pasca panen dan pemborosan pangan. Pasca panen termasuk di dalamnya mencegah kelalaian dalam pemrosesan, transportasi, dan penyimpanan.
Pemerintah telah berupaya mengatasi kehilangan pangan melalui penerapan tata cara pengolahan yang baik (good handling practices). Sumber daya manusia yang bekerja di rantai pangan harus memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang tata cara tersebut. Peran teknologi dan infrastruktur juga penting untuk mencegah kehilangan pangan.
Mencegah pemborosan pangan di tingkat konsumsi bisa dilakukan secara bertahap. Ini dilakukan melalui kampanye dan mendorong produsen meningkatkan desain kemasan pangan agar tahan lama dengan menjaga standar keamanan pangan.
Mencegah pemborosan pangan di tingkat konsumsi bisa dilakukan secara bertahap.
Peran swasta, seperti distributor dan retail juga penting dalam pengurangan limbah pangan. Makanan di pasar retail yang telah mendekati tanggal kedaluwarsa atau tanggal terbaik untuk dikonsumsi semestinya bisa dijual dengan potongan harga atau didonasikan.
Produk pangan segar, yang memiliki tampilan “buruk”, namun dapat dikonsumsi bisa dimanfaatkan sebagai pangan olahan atau diberikan nama menarik. Ini akhirnya menjadi jaringan produk baru bagi pasar retail.
Kebijakan ini juga memuat donasi pangan bagi masyarakat rawan pangan dan mendorong daur ulang limbah pangan, untuk digunakan sebagai kompos atau penghasil energi. Contohnya, di California, Amerika Serikat, melalui undang-undang mewajibkan warganya memisahkan sampah organik dari sampah non-organik mulai dari rumah dan berlaku 1 Januari 2022. Peran pemerintah daerah menjadi kunci di sini dalam sosialisasi dan penyediaan sarana.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Berbagai macam bahan pangan hasil donasi yang dikumpulkan di Kampung Lempongsari, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (23/10/2020). Dari sebuah bungkusan plastik ini mereka membantu meringankan kebutuhan hidup tetangga yang kurang mampu.
Kelembagaan
Badan Pangan Nasional (Bapanas) yang dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2021 merupakan episode baru dalam ketahanan pangan nasional. Perannya menjaga ketersediaan dan stabilisasi pangan, mencegah kerawanan pangan dan gizi, penganekaragaman konsumsi, dan keamanan pangan. Hanya saja sejak perpres ini berlaku efektif Juli 2021, sampai saat ini wujud dari Bapanas belum terlihat.
Jenis pangan yang menjadi tugas Bapanas adalah beras, jagung, kedelai, gula konsumsi, bawang, telur unggas, daging ruminansia dan unggas, serta cabai. Kesembilan komoditas ini termasuk volatile food, komoditas yang berperan menyumbang inflasi. Sayangnya, minyak goreng tidak menjadi bagian dari Bapanas, padahal berperan sebagai penyumbang inflasi pada November 2021.
ARSIP PRIBADI
Lukman Adam
Keberadaan Bapanas sebagai regulator diharapkan mampu menyelesaikan persoalan kenaikan harga pangan dan kisruh pengelolaan pangan, seperti importasi pangan pokok. Bapanas setidaknya mampu keluar dari ego-sektoral pengelolaan pangan.