Tantangan ketahanan pangan saat ini sudah sangat kompleks. Perubahan iklim bisa memicu gagal panen. Pertumbuhan populasi manusia, kompetisi pemanfaatan sumber daya lahan dan air, menjadi ancaman bagi ketahanan pangan.
Oleh
LUKMAN ADAM
·4 menit baca
Lonjakan harga pangan global harus jadi momentum untuk memperkuat ketahanan pangan nasional.
Indeks harga pangan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO)—yang melacak harga internasional dari komoditas pangan yang paling banyak diperdagangkan secara global—mencapai 130 pada September 2021. Angka ini naik 1,5 poin (1,2 persen) dibandingkan dengan Agustus 2021 dan naik 32,1 poin (32,8 persen) ketimbang September 2020.
Kenaikan indeks didorong kenaikan harga sebagian besar sereal dan minyak nabati. Harga susu dan produk olahannya (dairy product), daging, serta gula juga cenderung menguat. Kenaikan harga pangan juga dipicu menurunnya produksi, meningkatnya permintaan, dan disrupsi rantai pasok.
Di dalam negeri, Bank Indonesia mencatat volatile food mengalami deflasi 0,88 persen pada September 2021 dan 0,64 persen pada Agustus. Deflasi dalam negeri dipicu oleh penurunan harga telur ayam ras.
Masih banyaknya komoditas pangan strategis yang diimpor menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya gejolak harga pangan nasional.
Suryana (2014) merumuskan langkah menuju ketahanan pangan berkelanjutan 2025 melalui peningkatan produksi pangan, diversifikasi pangan berbasis pangan lokal, penyediaan pangan yang cukup dan terjangkau, serta bantuan pangan bagi masyarakat rawan pangan.
Tantangan ketahanan pangan saat ini sudah sangat kompleks. Perubahan iklim bisa memicu gagal panen. Pertumbuhan populasi manusia, kompetisi pemanfaatan sumber daya lahan dan air, serta naiknya pendapatan yang menyebabkan perubahan selera masyarakat juga bisa menjadi ancaman bagi ketahanan pangan nasional.
Memang ketergantungan pada impor beras menurun pada 2019-2020, tetapi untuk komoditas pangan strategis lainnya, seperti kedelai, gula pasir, dan daging sapi, masih tinggi.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional, tak cukup hanya dengan menaikkan produktivitas pertanian, tetapi juga harus mengubah pola konsumsi masyarakat. Sejumlah langkah sudah dilakukan, tetapi perlu langkah progresif lain untuk mencapai ketahanan pangan berkelanjutan.
Pengamanan produksi
Terkait produksi, mempertahankan luasan lahan pertanian dan meningkatkan penggunaan teknologi menjadi penting. Luas lahan sawah tahun 2009 mencapai 8,06 juta hektar (BPS, 2009) dan tahun 2019 tercatat 7,46 juta hektar (Keputusan Menteri Agraria, 2019). Artinya, terjadi konversi lahan pertanian rata-rata 54.000 hektar per tahun.
Keberadaan UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan belum mampu mencegah alih fungsi lahan. Beberapa program strategis nasional bahkan berada di daerah yang secara teknis sudah memiliki infrastruktur pertanian komplet sehingga akhirnya mengorbankan lahan pertanian.
Munculnya UU No 22/2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan dan Perpres No 59/2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah menjadi harapan untuk mencegah alih fungsi lahan pertanian yang memiliki jaringan pengairan lengkap.
Keberadaan program food estate (lumbung pangan) merupakan upaya lain menuju ketahanan pangan nasional. Sayangnya, banyak kalangan yang skeptis karena akan menimbulkan krisis baru, krisis lingkungan. Alih-alih mencetak sawah baru, ada pandangan lebih baik mempertahankan luasan lahan pertanian pangan yang ada sekarang dengan memberikan sejumlah insentif kepada petani dan meningkatkan koordinasi dengan pemerintah daerah untuk mempercepat penetapan lahan sawah yang dilindungi.
Subsidi alat dan mesin pertanian (alsintan) melalui mekanisme kredit usaha rakyat (KUR) yang dimulai sejak 2020 perlu diperluas.
Pangan lokal dan limbah pangan
Penganekaragaman pangan lokal, terutama nonberas dan nonterigu berbasis sorgum, singkong, sagu, dan ubi jalar yang melimpah produksinya di dalam negeri, harus terus dilakukan. Tujuannya untuk mengurangi ketergantungan konsumsi pada satu jenis sumber pangan.
Biasanya industri berbasis pangan lokal merupakan industri rumahan sehingga diperlukan promosi dan pendampingan agar memenuhi persyaratan izin edar dan keamanan pangan. Selain itu, pemanfaatan KUR untuk modal usaha.
Kajian Bappenas dan World Resources Institute mengungkapkan, kehilangan dan pemborosan pangan (food loss and waste/FLW) di Indonesia pada 2000-2019 berkisar 23 juta-48 juta ton per tahun atau setara dengan 115-184 kilogram per kapita per tahun. Dampaknya bagi ekonomi berupa kehilangan produk domestik bruto 4-5 persen atau senilai Rp 213 triliun-Rp 551 triliun per tahun.
Selain itu, ada dampak lingkungan karena FLW menghasilkan gas rumah kaca. Mayoritas sampah makanan berasal dari padi-padian (38,72 persen), daging (25,15 persen), dan produk makanan yang berasal dari tepung terigu (18,74 persen).
Padahal, FLW ini bisa dimanfaatkan bagi masyarakat yang mengalami rawan pangan. Bappenas (2021) dan Suryana et al (2021) menyebutkan, prevalensi penduduk rawan pangan di Indonesia masih 5,12 persen (2020) dan prevalensi kurang gizi mencapai 8,34 persen (2020).
Di Amerika Serikat dan China, kampanye terkait FLW sudah lebih maju. AS sudah merencanakan mengesahkan UU tentang Zero FLW. Tujuannya, mengurangi separuh kehilangan dan limbah pangan pada 2030 serta mengurangi dampaknya pada iklim.
China, sejak 29 April 2021, memiliki UU tentang limbah pangan (FLW). UU ini mengatur larangan pembuatan dan penyebarluasan video pesta makan yang berlebihan atau mukbang. Ada pengenaan biaya tambahan jika tak menghabiskan makanan yang dipesan dan denda pada restoran yang konsisten membuang makanan dalam jumlah besar. Ini akan mengubah budaya masyarakat China yang justru menganggap tak sopan menghabiskan makanan yang dihidangkan.
Kampanye Zero FLW sudah harus dimulai dari rumah tangga, tempat kerja, hotel, dan restoran. Peran pemda juga penting, melalui keberanian memberikan denda bagi rumah tangga dan restoran yang membuang limbah pangan dalam jumlah tertentu. Pemilahan sampah sebelum diangkut ke tempat pembuangan akhir juga harus dilakukan.