Ibu Negara, Pelobi Politik, dan Monumen
Kapan dan di mana istilah “first lady” atau ibu negara muncul? Lalu bagaimana istilah “pelobi” politik bermula? Dengan pemandu yang tepat untuk menjelajahi lokasi bersejarah di Washington DC, informasi itu bisa didapat.
Sinar matahari pada musim panas pertengahan Juli 2022 cukup terik. Lafayete Square hari itu dipadati pengunjung yang lalu lalang untuk berfoto dengan latar Gedung Putih, kediaman sekaligus tempat berkantor Presiden Amerika Serikat.
Di tengah hiruk-pikuk itu, Vinicius Portugal, pemandu peserta International Visitor Leadership Program (IVLP) dari Indonesia, bertutur soal rumah itu. Dia menunjukkan sebuah plakat kecil yang terpasang di pagar di depan bangunan itu. Isinya keterangan singkat soal rumah serta foto hitam putih seorang perempuan, seorang pria, serta lukisan George Washington, presiden pertama AS.
”Ini dulu adalah rumah Dolley Madison, istri dari Presiden James Madison,” ujar Vinicius.
Pada saat James Madison menjabat sebagai Presiden ke-4 AS, negara ini berperang dengan Inggris. Pada tahun 1814, pasukan Inggris telah mencapai Washington DC. James Madison dan pejabat pemerintahan telah meninggalkan kota itu, sedangkan Dolley yang masih berada di sana dengan penuh keberanian mengorganisasi penyelamatan barang-barang berharga dari Gedung Putih, termasuk lukisan George Washington, presiden pertama AS. Padahal, saat itu pasukan Inggris sudah mendekat ke Gedung Putih setelah membakar Gedung Capitol, bangunan yang diduduki oleh legislatif.
Karena keberaniannya itu, Dolley Madison dianggap sebagai sosok yang istimewa. Tidak hanya itu, ia juga mengorganisasi aktivitas sosial di Gedung Putih sehingga dianggap meletakkan standar bagi istri-istri presiden setelah Madison. Dolley pula yang disebut memopulerkan es krim sebagai hidangan penutup di Gedung Putih. Rasa es krim yang menjadi favoritnya ketika itu; tiram (oyster).
”Pada pemakaman Dolley Madison tahun 1849, Presiden Zachry Taylor membacakan eulogi, menyebut Dolley sebagai ’the first lady’. Dari sini kemudian istilah first lady (ibu negara) muncul. Sebelumnya pasangan presiden menggunakan panggilan nama mereka,” kata Vinicius.
Beberapa ratus meter saja dari Gedung Putih, di Pennsylvania Avenue, ada sebuah hotel yang sudah berusia lebih dari 150 tahun, yakni Willard Intercontinental Hotel. Kami tidak sempat menyambangi hotel itu, tetapi pengunjung dengan minat khusus biasanya diperbolehkan memasuki area lobi hotel tersebut untuk menelusuri cerita soal presiden ke-18 AS, Ulysses S Grant, dan para pelobi politik.
Manajemen hotel ini juga mempromosikan cerita itu di laman daringnya dengan menyebut bahwa di lobi Hotel Willard-lah Presiden Ulysses S Grant memopulerkan istilah lobbyist atau pelobi. Dalam sistem politik AS, pelobi memegang peranan sentral dalam upaya memengaruhi pejabat pemerintahan guna mendukung kebijakan yang disukai oleh kelompok mereka.
Gillian Brockell dalam artikel di surat kabar Washington Post (26/10/2021), yang bertajuk ”The Hotel Where Trump Allies Plotted to Overturn the Election Has a Wild and Sometime Violent History”, menuturkan, pada tahun 1870-an, Presiden Ulysses biasanya duduk di lobi Hotel Willard untuk bersantai sambil mengisap cerutu dan menegak brandy. Saat itu, ia akan dikelilingi oleh orang- orang yang mentraktirnya minuman, tetapi sekaligus berupaya meminta bantuan politik.
”Website Willard mengklaim bahwa Grant kemudian memopulerkan istilah lobbyist kendati Merriam-Webster melacak muasalnya sampai pada setidaknya 1842,” tulis Gillian.
Meski tidak menyambangi hotel tersebut, pada siang hingga sore hari itu, selama tiga jam Vinicius mengajak kami mengunjungi sejumlah monumen dan lokasi penting dalam sejarah AS. Dari rumah Dolley Madison, kami mendekat ke pagar Gedung Putih, kemudian ke Capitol Hill, Lincoln Memorial, Martin Luther King Jr Memorial, serta John F Kennedy Center for Performing Arts.
Di tempat-tempat itu, ia menuturkan narasi menarik terkait lokasi-lokasi yang dikunjungi. Ketika berada di depan patung Abraham Lincoln, presiden ke-16 AS yang tingginya mencapai 9,1 meter, Vinicius, mengatakan bahwa patung itu dibuat dengan konsep dualisme. Ada dua kekuatan berbeda bertolak belakang yang terepresentasikan dari karya seni itu.
”Kalau tubuh patung dibagi dua dari atas sampai ke bawah, ada satu sisi dengan tangan terkepal yang berlambang negatif representasi perang. Di sisi lain, tangan terbuka menandai kekuatan positif untuk mendorong rekonsiliasi,” kata Vinicius.
Baca juga : Pesan dari Monumen Bung Karno Setinggi Empat Meter di Lemhannas
Lincoln terkenal karena kebijakannya yang menghapuskan perbudakan. Di masa kepemimpinannya, AS juga mengalami perang saudara tahun 1861-1865.
Konsep dualisme juga terlihat pada patung wajah presiden ke-35 AS, John F Kennedy, yang tewas ditembak tahun 1963. Apabila patung wajah Kennedy itu dibelah secara simetris, di sisi kanan menunjukkan wajahnya semasa muda, sedangkan di sisi kiri menggambarkan wajahnya di masa tua. Karena ia meninggal dunia di usia 46 tahun, relatif masih muda, maka sisi wajah yang tua itu didesain membuat orang- orang bisa membayangkan bagaimana wajah Kennedy seandainya ia hidup hingga lanjut usia.
Sementara itu, di memorial Martin Luther King Jr terdapat banyak kutipan pidato yang pernah disampaikan sosok pejuang hak sipil itu. Kutipan pidato itu tergurat pada tembok di belakang patung Martin Luther King Jr. Patung Martin Luther setinggi lebih kurang 9 meter didesain menghadap ke arah Memorial Thomas Jefferson, presiden ke-3 AS, yang berjarak sekitar 1,5 kilometer.
Desain itu dibangun bukan tanpa sebab. ”Thomas Jefferson memunculkan frasa semua manusia diciptakan setara. Martin Luther King Jr mengorbankan jiwanya untuk mewujudkan prinsip itu,” kata Vinicius.
Perjalanan sebuah bangsa
Monumen dan memorial memang tersebar di berbagai sudut kota di Washington DC. Mulai dari monumen yang sebatas penanda peringatan hingga monumen megah yang berada di National Mall. Di kompleks National Mall ini terdapat banyak monumen dan memorial, misalnya Memorial Lincoln, Monumen Washington, Memorial Nasional Perang Dunia II, Memorial Veteran Perang Vietnam, serta Veteran Perang Korea.
Selain dikunjungi oleh pelajar dari berbagai penjuru AS, kompleks ini juga digunakan sebagai ruang aktivitas masyarakat. Pada pagi dan sore hari, banyak warga yang berolahraga di kawasan ini.
Kendati begitu, monumen dan memorial tidak hanya ditemukan Washington DC. Ada banyak daerah lain di AS yang juga memiliki lebih banyak monumen. Berdasar data National Monument Audit (2021), di seluruh penjuru AS, setidaknya terdapat sekitar 50.000 monumen dan memorial.
Dari laporan audit itu diketahui, lima tokoh yang paling banyak diabadikan menjadi monumen publik ialah Abraham Lincoln (193), George Washington (171), Christopher Colombus (149), Martin Luther King Jr (86), dan Saint Francis of Asisi (73). Laporan itu juga menyebutkan, 33 persen dari monumen yang terdata mengandung kata perang.
Andang Purnama (56), diaspora Indonesia yang sudah 20 tahun tinggal di Washington DC, menuturkan, banyaknya memorial dan monumen di Washington DC atau di AS secara umum tak terlepas dari tingkat nasionalisme dan patriotisme yang tinggi di negara itu. Di sisi lain juga ada monumen yang didesain untuk menarik pengunjung.
Dari laporan audit itu diketahui, lima tokoh yang paling banyak diabadikan menjadi monumen publik ialah Abraham Lincoln (193), George Washington (171), Christopher Colombus (149), Martin Luther King Jr (86), dan Saint Francis of Asisi (73). Laporan itu juga menyebutkan, 33 persen dari monumen yang terdata mengandung kata perang
”Dampaknya akhirnya selain pada nasionalisme, juga ada ekonomi yang bergerak di sekitar monumen tersebut,” kata Andang.
Sementara itu, menurut Vinicius, AS membangun berbagai monumen karena dua alasan. Pertama, untuk mengenang dan menjaga sejarah. Kedua, untuk menginspirasi orang-orang. Dia juga menuturkan, bagi masyarakat, sebagian besar monumen membantu dalam mendefinisikan Amerika bagi orang Amerika Serikat sendiri. Sebab, monumen-monumen itu telah menunjukkan kepada orang AS, perjalanan mereka sebagai sebuah bangsa
”Hanya saja, beberapa monumen sangat memecah belah dan melukai bagi sebagian segmen dalam masyarakat kami. Contohnya, monumen para pemimpin Konfederasi menyakitkan bagi masyarakat Afrika Amerika karena orang-orang Konfederasi itu berusaha mempertahankan sebuah sistem yang memperbudak nenek moyang mereka,” katanya.
Simbolisme
Soal AS dan kegetolannya dalam membangun monumen juga sempat menarik perhatian sosiolog dan pakar politik asal Perancis, Alexis de Tocqueville, yang dalam lawatannya ke AS pada 1831 sempat berkunjung ke Washington DC. terkesan saat melihat pembangunan di kota yang baru menjadi ibu kota AS tahun 1790 itu. ”Mengapa orang Amerika mendirikan monumen kecil dan besar sekaligus?” kata Tocqueville.
Dalam bukunya yang menjadi klasik, Democracy in America (1835), Tocqueville menulis satu bab sebagai refleksi terhadap monumen di negara demokrasi, berkaca dari hasil observasinya di Washington DC. ”Mereka telah mendirikan di pusat kota sebuah istana yang megah untuk dijadikan tempat keberadaan kongres, dan mereka memberikannya sebuah nama yang angkuh, the Capitol,” tulis Tocqueville.
Dia juga menulis pada abad- abad demokrasi, monumen seni cenderung menjadi lebih banyak dan lebih kecil. Dia kemudian menuturkan memberikan pengecualian untuk hipotesis ini. Menurut dia, dalam masyarakat demokrasi, imaji manusia menyempit ketika mereka menimbang dirinya sendiri, tetapi hal ini menjadi meluas ketika mereka berpikir tentang negara.
”Hasilnya, orang yang sama yang hidup di permukiman sempit kerap kali menargetkan hal yang luar biasa besar ketika hal itu berkenaan dengan monumen publik,” ucap Tocqueville.
Pengajar komunikasi Universitas Udayana, Bali, Ni Made Ras Amanda Gelgel, menuturkan, kehadiran monumen dan memorial yang begitu banyak di AS merupakan pengejawantahan dari narasi besar mereka sebagai negara yang memperjuangkan kebebasan dan demokrasi. Ada banyak simbol yang penuh makna dalam monumen-monumen itu.
Baca juga : Agus Widjojo dan Monumen Soekarno Membaca Buku
Dalam teori kultivasi, kata dia, penanaman nilai-nilai dapat berjalan secara perlahan-lahan tanpa disadari. Monumen dengan kisah dan nilai yang terkandung di dalamnya bisa mengingatkan kembali masyarakat akan nilai-nilai tersebut.
Di Indonesia, dia melihat optimalisasi monumen untuk penanaman nilai di masyarakat belum terlalu tampak. Hanya saja, dia menekankan, konteks Indonesia tidak dapat dibandingkan secara langsung dengan AS karena ada perbedaan budaya.
Dia juga menuturkan, soal narasi mengenai ke mana Indonesia kelak menuju juga belum banyak tergambar dalam simbol-simbol di ruang publik. ”Di Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika kuat, tetapi di mana simbolnya? Di mana monumen yang merepresentasikannya?” katanya.
Indonesia juga bisa berkaca dari konteks AS dan monumennya. Pengajar Ilmu Komunikasi di Universitas Padjadjaran, Bandung, Abie Besman, mengingatkan pentingnya menjaga fondasi masyarakat berbasis nasionalisme dan persamaan yang dibentuk oleh sejarah. Sebab, terkadang konteks sejarah terlepas dari sebagian masyarakat. Padahal, sejarah bisa menjadi salah satu hal yang merekatkan bangsa.