Mahfud MD: Tindakan Ferdy Sambo Mengambil Dekoder Bisa Diperkarakan secara Pidana
Mahfud MD menyatakan, pelanggaran etik Ferdy Sambo yang mengambil dekoder kamera pemantau di kompleks perumahan tempat tewasnya Brigadir J dapat diperkarakan secara pidana. Untuk itu, Polri diharapkan bersikap adil.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Minggu (7/8/2022), menilai, pengambilan dekoder kamera pemantau atau CCTV di pos jaga kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan, oleh mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Inspektur Jenderal Ferdy Sambo bisa masuk ke ranah dugaan pelanggaran etik dan pidana. Penggantian dekoder itu terjadi beberapa hari setelah insiden penembakan di rumah dinas Ferdy Sambo di Duren Tiga yang menyebabkan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat tewas.
Lebih lanjut disampaikan Mahfud, pengambilan dekoder kamera pemantau yang menjadi barang bukti dalam kasus penembakan Nofriansyah itu bisa masuk dalam kategori tindak pidana penghalangan penyelidikan (obstruction of justice).
”Pencopotan CCTV itu bisa masuk ranah etik dan ranah pidana. Bisa masuk dua-duanya karena hukum formal itu kristalisasi dari moral dan etika. Jadi, pengambilan CCTV bisa melanggar etik karena tidak cermat atau profesional, sekaligus bisa pelanggaran pidana karena obstruction of justice,” ujar Mahfud saat dihubungi, Minggu.
Terkait pengambilan dekoder kamera ini, Ferdy diduga melanggar kode etik Polri karena ketidakprofesionalan dalam olah tempat kejadian perkara (TKP) penembakan Nofriansyah di rumah dinas Ferdy. Untuk itu, sejak Sabtu (6/8/2022) malam, Ferdy ditempatkan di tempat khusus di Markas Brimob, Kelapa Dua, Depok.
Menurut Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo, Ferdy dibawa ke Markas Brimob untuk menjalani pemeriksaan dugaan pelanggaran etik oleh tim Inspektorat Khusus (Irsus) Polri. Ferdy termasuk satu di antara 25 personel Polri yang menjalani pemeriksaan etik terkait dengan penanganan TKP penembakan yang tidak profesional dan dugaan menghalangi penyidikan. Salah satunya adalah pengambilan dekoder kamera pemantau di pos jaga kompleks Polri Duren Tiga (Kompas, 7/8/2022).
Mahfud menambahkan, dalam perkara ini, seharusnya penanganan dugaan pelanggaran etik sejalan dengan dugaan pidananya. Sebab, sanksi etik tidak diputus oleh hakim. Sanksinya pun hanya administratif, yaitu pemecatan, penurunan pangkat, teguran, dan sebagainya. Komisi Etik Polri bukanlah pengadilan.
Sementara itu, jika memang ada dugaan pelanggaran pidana, seharusnya diputus oleh hakim di pengadilan. Hukumannya bisa berupa sanksi pidana seperti hukuman penjara badan, hukuman mati, hingga perampasan harta hasil tindak pidana.
Mahfud menambahkan, dalam perkara ini, seharusnya penanganan dugaan pelanggaran etik sejalan dengan dugaan pidananya.
Dihubungi secara terpisah, pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menyampaikan, selain dimensi pelanggaran etik, menurut dia, ada dimensi pelanggaran pidana dalam pengambilan dekoder kamera pemantau yang dilakukan Ferdy. Dalam hal ini, Ferdy jelas-jelas mengetahui bahwa rekaman kamera pemantau itu adalah barang bukti berharga yang dibutuhkan untuk membongkar perkara pembunuhan Nofriansyah.
Karena perkara terjadi di rumah dinas Ferdy, seharusnya Ferdy juga punya kepentingan dalam perkara itu. Jabatan Ferdy sebagai Kadiv Propam saat itu, yang kemudian mengambil barang bukti perkara, bisa masuk dalam kategori pencurian barang bukti.
”Menurut saya, itu sudah masuk kategori pencurian barang bukti yang bisa menganggu proses penyidikan. Itu bisa dijerat dengan Pasal 362 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP),” terang Fickar.
Fickar menjelaskan, tindakan Ferdy mengambil dekoder kamera pemantau memang bisa masuk dalam dugaan pelanggaran etik. Sebab, titik tekan penegakan etik berada pada kewajiban profesi. Artinya, polisi yang menjabat dalam profesi tertentu tidak boleh melakukan kewenangan melebihi yang dimiliki.
Menurut dia, saat itu Ferdy memang menjabat sebagai Kadiv Propam, tetapi bukan kewenangan dalam lingkup pekerjaannya untuk mengambil dekoder kamera pemantau tersebut. Sebab, dekoder itu menjadi barang bukti penanganan perkara tewasnya Nofriansyah. ”Itu sudah jelas sengaja melakukan pencurian barang bukti yang mengganggu penyidikan,” jelas Fickar.
Fickar berharap polisi bisa tegas menindak Ferdy dengan bukti-bukti yang dikantongi. Sekalipun Ferdy adalah anggota Polri dan menjabat sebagai perwira tinggi Polri, penegakan hukum harus dilakukan secara adil dan proporsional.
Fickar berharap polisi bisa tegas menindak Ferdy dengan bukti-bukti yang dikantongi sekalipun Ferdy adalah anggota Polri.
Mempersulit penyidikan
Senada dengan Fickar, pengajar hukum pidana Universitas Bung Karno, Azmi Syahputra, berpandangan, pengambilan dekoder kamera pemantau dapat dikategorikan dugaan pidana menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan. Sebab, ada maksud dari pelaku untuk sengaja menghilangkan atau menyembunyikan barang bukti. Tindak pidana itu diatur dalam Pasal 221 Ayat (2) KUHP.
”Jika benar kejadian dapat dibuktikan, maka tindakan Ferdy Sambo menunjukkan keprihatinan karena menyalahi kewenangan, menyimpangi ketentuan internal Polri,” terang Azmi.
Dia berpendapat kasus ini terus menjadi perhatian publik karena sejak awal sudah banyak keterangan janggal yang tidak bersesuaian dengan kenyataan. Menurut dia, hal itu termasuk penyimpangan jabatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum Ferdy. Hal itu juga menunjukkan rendahnya integritas sebagai aparat penegak hukum. Perbuatan penyimpangan jabatan itu sudah menimbulkan banyak kerugian. Sebagai insan Polri, apalagi saat itu jabatannya adalah Kadiv Propam, Ferdy seharusnya menyadari tindakannya selaku melekat sebagai seorang perwira tinggi kepolisian.