Wakil Menkumham: Peristiwa 27 Juli adalah Kejahatan Demokrasi
Saat diskusi 26 tahun 27 Juli di kantor DPP PDI-P, Wakil Menkumham Edward OS Hiariej menilai, masih terbuka kemungkinan kasus ini dilihat dari perspektif pelanggaran HAM berat.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·5 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Massa yang tergabung dalam Gerakan Jaga Indonesia beraksi damai dan melakukan tabur bunga memperingati peristiwa 27 Juli 1996 di depan Kantor DPP PDI Perjuangan di Jalan Pangeran Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (27/7/2020). Aksi tersebut untuk mengenang peristiwa berdarah kerusuhan 27 Juli 1996 yang berawal dari konflik internal Partai Demokrasi Perjuangan (PDI).
JAKARTA, KOMPAS — Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward OS Hiariej mengatakan, peristiwa 27 Juli adalah kejahatan demokrasi. Sebab, bagaimana mungkin seorang Megawati yang terpilih secara sah dalam suatu kongres kemudian diupayakan sedemikian rupa tidak diakui kemudian kantor DPP partai-nya diambil secara paksa.Terkait hal itu, saat diskusi publik memperingati 26 tahun peristiwa 27 Juli yang digelar di Kantor DPP PDI-P, Jakarta, Kamis (21/7/2022), Edward menilai, masih terbuka kemungkinan kasus ini dilihat dari perspektif pelanggaran HAM berat. Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, hanya ada dua kemungkinan, kasus ini masuk dalam konteks genosida atau masuk dalam konteks kejahatan terhadap kemanusiaan.
Selain Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto, hadir pula Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Sandrayati Moniaga, Ketua DPP PDI-P Ribka Tjiptaning, dan politisi PDI-P sekaligus anggota Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Trimedya Panjaitan.Jika ditelisik lebih jauh, tambah Edward, kasus ini sangat mungkin masuk ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Setidaknya, ada empat elemen yang telah dipenuhi. Pertama, ada serangan. Kedua, serangan itu dilakukan terhadap populasi penduduk sipil. Ketiga, serangan itu dilakukan secara sistematis. Keempat, ada pengetahuan terhadap serangan tersebut. ”Jadi, berdasarkan the elements of crime dari kejahatan terhadap kemanusiaan, saya pastikan masuk dalam kualifikasi kejahatan terhadap kemanusiaan,” tutur Edward.
Namun, ia mengungkapkan, ada halangan ketika akan menyebut kasus ini sebagai suatu pelanggaran HAM berat. Sebab, hingga saat ini, Komnas HAM belum pernah merekomendasikan kasus 27 Juli itu sebagai kasus pelanggaran HAM berat.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej (berdiri) mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/7/2022).
”Jadi, berdasarkan UU No 26/2000, penyelidik itu adalah Komnas HAM. Penyelidik itu dia yang melakukan penyelidikan untuk menentukan apakah berdasarkan bukti yang cukup, bisa atau tidak, suatu peristiwa itu dikatakan sebagai pelanggaran berat HAM. Jadi, ini otoritatif sepenuhnya ada pada Komnas HAM,” kata Edward.
Menurut Edward, jika kelak Komnas HAM telah menyatakan kasus 27 Juli sebagai kasus pelanggaran HAM berat, Kejagung akan menindaklanjutnya dengan melakukan penyidikan. Kemudian, untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc, harus melalui persetujuan DPR.”Berarti di sini memang sangat kental dengan politik. Jadi, karena PDI-P sebagai partai mayoritas di parlemen, ini tentunya bisa kita melakukan pekerjaan secara technical yuridis, dari Komnas HAM ke Kejagung, tetapi politiknya pun juga harus mendapat dukungan dari DPR untuk kemudian dibentuk suatu pengadilan ad hoc berdasarkan keputusan presiden,” ujar Edward.
Setelah 26 tahun berlalu, tabir di balik kerusuhan 27 Juli 1996 atau biasa dikenal dengan sebutan Kudatuli, belum juga tersibak. Dalam peristiwa tersebut, kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang kala itu diduduki oleh pendukung Ketua Umum Megawati Soekarnoputri diserang oleh ratusan orang yang belakangan diketahui merupakan bagian dari pendukung PDI di bawah pimpinan Soerjadi. Meskipun disebut-sebut pendukung PDI Soerjadi, kesaksian sejumlah orang pada waktu itu, penampilan mereka yang ikut menyerang sebagian bersosok seperti aparat yang mengenakan pakaian sipil.
Hasil temuan Komnas HAM, akibat penyerangan tersebut, 5 orang tewas, 149 orang cedera, dan 23 orang dinyatakan hilang dalam peristiwa Kudatuli. Selain itu, 56 gedung, 197 mobil, bus, dan kendaraan bermotor terbakar. Total kerugian diperkirakan mencapai Rp 100 miliar. Adapun aparat keamanan menangkap 200 orang yang dianggap terlibat, di antaranya 124 pendukung Megawati.
Terus menuntut
Hingga kini, PDI-P terus menuntut pemerintah agar bisa mengungkapkan auktor intelektualis dalam kasus kerusuhan 27 Juli 1996 dan membawanya ke muka hukum. Namun, hal itu sulit dilakukan karena hingga saat ini Komnas HAM tak kunjung menetapkan kasus tersebut sebagai kasus pelanggaran HAM berat. Komnas HAM berdalih, penyelidikan projustitia belum dilakukan karena kurangnya jumlah tenaga penyelidik sekaligus menunggu penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat lainnya yang belum juga diungkap Komnas HAM.
”Kami harap dapat diungkapkan siapa aktor-aktor intelektual yang berada di balik serangan kantor Partai Demokrasi Indonesia. Siapa pun yang menjadi aktor-aktor intelektual saat itu harus dituntut di muka hukum agar keadilan betul-betul ditegakkan. ”
Hasto Kristiyanto
Dalam diskusi tersebut, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto mengatakan, pihaknya tidak akan pernah berhenti memperjuangkan penuntasan kasus itu. Ia pun meminta kepada pemerintah, Komnas HAM, dan Kejaksaan Agung agar mengusut tuntas kasus tersebut.
”Kami harap dapat diungkapkan siapa aktor-aktor intelektual yang berada di balik serangan Kantor Partai Demokrasi Indonesia. Siapa pun yang menjadi aktor-aktor intelektual saat itu, harus dituntut di muka hukum agar keadilan betul-betul ditegakkan,” ujar Hasto.
Tangkapan layar berita Kompas terkait penyerangan di Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro pada 27 Juli 1996
Hasto menyadari, meskipun PDI-P sebagai partai pemenang dua kali, ternyata upaya penuntasan kasus Kudatuli ini tidak mudah. Namun, rasa optimisme itu harus tetap dibangun. Ia pun mengingatkan agar negara tidak boleh abai terhadap kasus ini karena kasus tersebut sudah merupakan sebuah tragedi kemanusiaan dan tragedi demokrasi.
Ribka Tjiptaning menceritakan pengalamannya sebagai salah satu korban atas kasus Kudatuli. Dia merasa bahwa laiknya penyakit, kasus Kudatuli adalah penyakit kronis yang belum sembuh sampai sekarang. Karena itu, belum lama ini, dia terus menagih penjelasan soal penyelesaian kasus itu kepada Komnas HAM.
“Itu, kan, PR (pekerjaan rumah) yang harus diselesaikan. Tidak mudah lho karena itu nyawa manusia,” tuturnya.
KOMPAS/SATRIO PANGARSO WISANGGENI
Trimedya Panjaitan
Trimedya Panjaitan meminta komisioner Komnas HAM yang akan berakhir masa jabatan pada November 2022 ini untuk membuat gebrakan terakhir. Kasus Kudatuli, lanjutnya, harus diusut tuntas siapapun pelakunya.
Ia pun siap membantu Komnas HAM dengan memberikan dokumen-dokumen yang dibutuhkan dalam proses penyelidikan. Bahkan, jika dibutuhkan keterangan saksi sejarah, ia bisa mengundang sebagian besar korban dari peristiwa Kudatuli yang kini masih hidup.
“Kami pada prinsipnya bukan bicara rekonsiliasi, tetapi penegakan hukum. Hukum ini tidak boleh tajam ke bawah, tumpul ke atas. Hukum tidak boleh berpihak kepada orang-orang yang punya kekuasaan”
“Kami pada prinsipnya bukan bicara rekonsiliasi, tetapi penegakan hukum. Hukum ini tidak boleh tajam ke bawah, tumpul ke atas. Hukum tidak boleh berpihak kepada orang-orang yang punya kekuasaan,” ucap Trimedya.
Ia pun mengajak kepada para pemegang kekuasaan di DPR dan eksekutif agar bisa mendorong penuntasan kasus ini. “Jika kasus ini didorong, saya yakin bisa terungkap,” ujarnya.
Baru kajian
“Komnas tidak bisa menganakemaskan PDI-P karena Komnas adalah lembaga negara. Dan begitu banyak kasus yang sudah dalam tahap penyelidikan dan itu harus selesai dulu. Saya yakin DPP PDI-P memahami soal itu”
Namun, hingga kini, penyelidikan kasus itu berdasarkan UU 26/2000 belum dilakukan. Menurutnya, ada kondisi di mana Komnas HAM harus memprioritaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang lain karena korbannya sudah sangat menderita, bahkan dalam kondisi yang berat.
“Komnas tidak bisa menganakemaskan PDI-P karena Komnas adalah lembaga negara. Dan begitu banyak kasus yang sudah dalam tahap penyelidikan dan itu harus selesai dulu. Saya yakin DPP PDI-P memahami soal itu,” tutur Sandrayati.
Selain itu, Sandrayati juga mengeluhkan jumlah tenaga penyelidik di Komnas HAM yang terbatas. Anggaran pun hanya 1/8 dari anggaran KPK. “Ini yang membuat kami harus selektif,” ujarnya.
Namun demikian, lanjut Sandrayati, penyelidikan projustitia terhadap kasus Kudatuli ini sangat mungkin dilanjutkan. Namun, hal tersebut harus ditetapkan terlebih dahulu di dalam sidang paripurna Komnas HAM.