Tabir Peristiwa 27 Juli 1996 yang Tak Kunjung Tersibak
Meskipun Megawati Soekarnoputri pernah menjabat presiden dan partainya kini menjadi partai penguasa, tragedi 27 Juli 1996 tak pernah bisa terkuak tuntas. Aktor-aktor yang diduga terlibat masih lepas dari jerat hukum.
Oleh
IQBAL BASYARI
·5 menit baca
Tanggal 27 Juli, 25 tahun silam, ratusan orang berkaos warna merah bertuliskan ”Pendukung Kongres IV Medan” mendatangi markas Partai Demokrasi Indonesia atau PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta. Sempat disangka kawan, mereka justru menyerang kader PDI pendukung Megawati Soekarnoputri yang berada di area markas PDI. Batu-batu sebesar kepalan tangan dilemparkan ke arah kantor, menyerang pendukung Megawati, dan mencaci maki Megawati beserta pendukungnya.
Barulah diketahui bahwa mereka yang menyerang pagi itu adalah bagian dari pendukung PDI di bawah pimpinan Soerjadi. Setelah beberapa saat perang batu terjadi antara pendukung Soerjadi dan Megawati, pasukan antihuru-hara dan tentara dari kodim tiba di lokasi. Kondisi sempat mereda sehingga sejumlah pendukung Mega sempat keluar dari gedung, menyanyikan lagu-lagu kebangsaan.
Melihat hal itu, kubu Soerjadi menyerang kembali. Bahkan, mereka menjebol pagar besi markas PDI dan memaksa masuk ke dalam gedung. Pendukung Megawati tunggang langgang, tetapi ada pula yang memilih bertahan sehingga jadi sasaran amuk massa. Setelah sukses menguasai markas PDI, Sekjen PDI kubu Soerjadi, Buttu Hutapea, tiba-tiba muncul. Ia memberikan keterangan yang intinya, menurut dia, selama ini gedung dipakai untuk kegiatan yang tidak benar.
Massa pendukung Megawati yang datang untuk membantu kawan-kawannya, tetapi terhalang oleh blokade pasukan antihuru-hara dan tentara, gantian mengamuk. Bentrokan antara pendukung Megawati dan aparat tak terhindarkan. Suasana pun kian tegang. Bus yang berhenti di tengah jalan dibakar massa. Begitu pula sejumlah gedung. Baru malam hari, keadaan dapat dikendalikan oleh aparat.
Hasil temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), terdapat 5 orang tewas, 149 orang cedera, dan 23 orang dinyatakan hilang dalam peristiwa yang dikenal dengan sebutan Kudatuli tersebut. Selain itu, 56 gedung, 197 mobil, bus, dan kendaraan bermotor terbakar. Total kerugian diperkirakan mencapai Rp 100 miliar.
Adapun aparat keamanan menangkap sebanyak 200 orang yang dianggap terlibat, di antaranya 124 pendukung Megawati.
Sehari setelah peristiwa tersebut, Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung menolak anggapan bahwa kelompok Soerjadi merupakan penyulut kerusuhan. Ia menyatakan kerusuhan terjadi karena ditunggangi. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia Soesilo Soedarman bahkan menyebutkan kerusuhan 27 Juli digerakkan oleh kelompok Partai Rakyat Demokratik (PRD). Ia menuding PRD menggunakan cara-cara PKI untuk melawan Orde Baru.
Namun, tak sedikit pula yang melihat ada keterkaitan antara peristiwa Kudatuli dan ”kudeta” kepemimpinan Megawati di PDI oleh Soerjadi dalam Kongres PDI Medan pada 1996. Megawati yang terpilih menjadi ketua umum dalam Kongres Luar Biasa PDI, 2 Desember 1993, dan ditetapkan dalam Musyawarah Nasional PDI, 22 Desember 1993, digoyang kursinya karena sejumlah kalangan di pemerintah merasa terancam dengan kehadiran Megawati.
Pengambilalihan kekuasaan dengan campur tangan pemerintah lantas memicu reaksi dari kelompok pro-Megawati. Gugatan perdata pun dilayangkan Megawati. Selain itu mimbar bebas digelar hampir setiap hari di markas PDI yang didukung mahasiswa hingga peristiwa Kudatuli pecah.
Ritual peringatan
Kini, setelah 25 tahun berlalu, tabir di balik kerusuhan 27 Juli tak juga tersibak. Padahal, penguasa kala itu sudah tumbang bersamaan dengan tumbangnya Orde Baru pada 1998. Tabir tak pula tersibak sekalipun Megawati sempat menjadi presiden pada 2001-2004. Begitu pula ketika PDI Perjuangan (PDI-P) kembali menjadi partai penguasa mulai 2014 hingga kini.
Terlepas dari hal itu, setiap 27 Juli, PDI-P selalu memperingati peristiwa kelam tersebut. Tahun ini, Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto memimpin jajaran pengurus pusat partai menggelar tabur bunga di markas PDI-P, lokasi yang sama saat Kantor PDI diserang pada 25 tahun lalu. ”Perjuangan kita belum selesai, termasuk di dalam menuntut kebenaran hukum atas peristiwa tersebut,” kata Hasto menegaskan.
PDI-P, menurut dia, tak akan pernah bosan mengingatkan Komnas HAM tentang pentingnya pengadilan koneksitas agar mereka yang terlibat diadili. Ini terutama aktor-aktor politik sebagai penyusun dari skenario peristiwa 27 Juli. ”Ketika menaburkan bunga ini tentunya semangat kita bukan hanya untuk mendoakan arwah para korban, melainkan juga agar keadilan ditegakkan, keadilan yang sebenar-benarnya di mata hukum dan politik,” tuturnya.
Tak hanya itu, sesuai pesan dari Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri, akan diupayakan untuk membangun monumen 27 Juli sebagai upaya mengingatkan rakyat atas peristiwa yang telah memberangus demokrasi. Demokrasi kala itu, menurut Hasto, betul-betul dikendalikan serta dikontrol oleh kekuatan elite yang menindas, yang membungkam suara-suara rakyat. Selain itu, peristiwa 27 Juli tak bisa dilepaskan dari upaya rezim Orde Baru yang berusaha mengintervensi partai politik, dalam hal ini terpilihnya Megawati sebagai ketua umum.
Komnas HAM memang pernah menyelidiki peristiwa 27 Juli 1996. Pada tahun yang sama, penyelidikan tuntas dan kesimpulannya peristiwa itu termasuk pelanggaran HAM. Di dalamnya, seluruh orang yang diduga bertanggung jawab turut disebutkan. Rekomendasinya, mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di muka hukum. Hasil penyelidikan ini lantas diserahkan ke aparat penegak hukum. Selanjutnya, pengadilan koneksitas sempat digelar.
Namun, pengadilan koneksitas yang digelar pada era Presiden Megawati hanya mampu membuktikan seorang buruh bernama Jonathan Marpaung yang mengerahkan massa dan melempar batu ke Kantor PDI. Ia dihukum dua bulan sepuluh hari. Adapun dua perwira militer yang diadili, Kol CZI Budi Purnama (mantan Komandan Detasemen Intel Kodam Jaya) dan Letnan Satu (Inf) Suharto (mantan Komandan Kompi C Detasemen Intel Kodam Jaya), divonis bebas, Kompas (31/12/2003).
Selain mereka, pada pertengahan Juni 2004, tim penyidik koneksitas sebenarnya melimpahkan berkas-berkas kasus 27 Juli 1996 lainnya ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Di antara berkas yang dilimpahkan tersebut, terdapat sejumlah pimpinan militer dan polisi yang menjadi tersangka, termasuk mantan Panglima Kodam Jaya Letnan Jenderal (Purn) Sutiyoso, Kompas (16/6/2004). Namun, hingga kini tak jelas perkembangannya.
”Jika sekarang ada yang ingin aktor-aktor yang diduga bertanggung jawab untuk ikut dimintai pertanggungjawaban di muka hukum, ya, tinggal minta Kapolri dan Panglima TNI untuk melakukan penyelidikan ulang. Kalau ditanya ke kami, kami tetap berpegangan pada hasil pemeriksaan dan rekomendasi kami pada 1996,” tutur komisioner Komnas HAM, Amiruddin.
Ia menekankan, jika seluruh pihak berkomitmen pada tegaknya hukum, semua yang ditengarai bertanggung jawab memang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di muka hukum.
Dengan menguasai kursi terbanyak di DPR, seharusnya tak sulit bagi PDI-P untuk mendorong aparat penegak hukum agar menguak yang belum terkuak dari kasus 27 Juli 1996. Terlebih, Presiden Joko Widodo adalah kader PDI-P. Tidak sulit pula baginya untuk memerintahkan aparat penegak hukum agar membuka kembali kasus tersebut. Yang sulit, seperti disinggung Amiruddin, berkomitmen untuk tegaknya hukum sekalipun kasus itu sudah terjadi 25 tahun silam.