DPR merancang pembentukan lima provinsi baru di bumi Papua. Setelah mengesahkan Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan mengusulkan Papua Barat Daya, DPR akan mengajukan pembentukan Papua Utara.
Oleh
IQBAL BASYARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Provinsi Papua dan Papua Barat bakal dimekarkan paling banyak menjadi tujuh provinsi. Selain sesuai dengan wilayah adat, jumlah provinsi itu juga dinilai masih ideal bagi Papua dan Papua Barat hingga 10-15 tahun ke depan. Karena itu, pembentuk undang-undang diharapkan mampu membendung keinginan masyakat untuk menambah provinsi baru di dua wilayah tersebut.
Saat ini Bumi Papua terdiri dari lima provinsi. Selain Papua dan Papua Barat, terdapat tiga provinsi baru yang undang-undangnya disahkan pada akhir Juni lalu. Ketiga provinsi baru itu adalah Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan, yang merupakan hasil pemekaran dari Provinsi Papua.
Pekan lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali mengusulkan pembentukan Provinsi Papua Barat Daya yang merupakan daerah pemekaran dari Papua Barat. Pembahasan bersama Rancangan Undang-Undang (RUU) pembentukan Provinsi Papua Barat Daya itu tinggal menunggu persetujuan dari pemerintah.
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung, Senin (11/7/2022), mengungkapkan, DPR memang merencanakan untuk memekarkan Papua dan Papua Barat menjadi tujuh provinsi. Dari lima daerah otonom baru (DOB) yang telah direncanakan, tiga di antaranya merupakan pemekaran dari Provinsi Papua dan sudah disahkan, yakni Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, serta Papua Pegunungan.
Sedangkan Provinsi Papua Barat akan dimekarkan menjadi Provinsi Papua Barat Daya dan Papua Utara. RUU Papua Barat Daya telah disetujui menjadi RUU inisiatif DPR, sehingga pembahasan bersama pemerintah tinggal menunggu persetujuan yang disampaikan melalui surat presiden (surpres).
"Setelah pengesahan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua (UU 2/2021) kami berinisiatif menyusun pemekaran berdasarkan wilayah adat. Untuk sementara ini di tingkat provinsi cukup tujuh provinsi yang pendekatannya berdasarkan wilayah adat itu," ujar Doli saat dihubungi dari Jakarta.
DPR menilai jumlah tujuh provinsi di Bumi Papua berdasarkan wilayah adat masih cukup untuk menjawab berbagai tantangan pelayanan publik dan tuntutan peningkatan kesejahteraan masyarakat hingga 10-15 tahun mendatang. Selanjutnya, pemekaran provinsi mesti diikuti dengan pemekaran kabupaten/kota sampai tingkat desa untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Sebab, pelayanan di tingkat desa dapat langsung dirasakan oleh masyarakat terutama orang asli Papua.
"Setelah adanya provinsi-provinsi baru, pemerintah seharusnya punya peta jalan yang komprehensif terhadap seluruh pembangunan di Papua, termasuk di dalamnya pemekaran di kabupaten/kota dan tingkat di bawahnya," ucap anggota Fraksi Partai Golkar DPR itu.
Peta jalan tersebut, lanjutnya, harus dirumuskan berdasarkan kebutuhan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Untuk jangka pendek hingga 2024, misalnya, pemerintahan di provinsi baru sudah berjalan. Dimulai dari penunjukan penjabat, pengisian aparatur sipil negara, serta proses pembangunan infrastruktur pemerintahan. Sementara peta jalan jangka menengah dan panjang semestinya sudah terlihat proses pemekaran wilayah administratif di bawah provinsi, baik kabupaten/ kota, kecamatan, maupun desa.
Doli mengatakan, pemekaran merupakan keniscayaan dalam konteks Indonesia yang terus berkembang. Hal ini juga dipicu oleh pertambahan jumlah penduduk yang berimplikasi pada pengelolaan dan pelayanan publik. Namun, usulan pemekaran mesti memperhatikan kebutuhan dan bukan karena dipicu oleh mulai dimekarkannya sebuah wilayah.
Pembatasan tujuh provinsi di Bumi Papua itu disepakati karena saat ini sudah muncul aspirasi pembentukan provinsi lain di Papua, salah satunya Provinsi Papua Timur. "Kan, sekarang ada aspirasi pemekaran Provinsi Papua Timur, nanti juga mungkin yang lain. Tetapi kita harus lihat percepatan pembangunannya pascapemekaran provinsi berikut kabupaten/kota di bawahnya," katanya.
Pemekaran Provinsi Papua Timur salah satunya disuarakan oleh anggota DPR dari Daerah Pemilihan (Dapil) Papua, Mesakh Mirin. Melalui keterangan tertulis, kader Partai Amanat Nasional itu berpandangan, Papua Timur layak dipertimbangkan untuk menjadi DOB karena dapat memperkuat aspek keamanan kawasan. Ini karena wilayah tersebut berbatasan langsung dengan Papua Nugini. "Sehingga saya pikir, solusinya adalah memberikan lagi satu provinsi, Papua Timur dan itu layak. Dilihat dari aspek keamanan dan juga jangkauannya," tuturnya.
Keberadaan Provinsi Papua Timur diyakini dapat mendatangkan manfaat yang besar terutama di bidang kesejahteraan dan pembangunan. "Saya mohon kepada pemerintah dan Komisi II DPR, harus lihat pemetaan wilayah berdasarkan kultur budaya sehingga provinsi yang layak adalah Provinsi Papua Timur karena terdiri dari Pegunungan Bintang yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini. Jaraknya hanya 1-2 km sudah sampai Papua Nugini," ujar Mesakh.
Kotak pandora
Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes mengingatkan, pemekaran provinsi di Papua seperti membuka kotak pandora sehingga memicu daerah lain di Papua mengusulkan pembentukan DOB. Kondisi ini dikhawatirkan membuat situasi menjadi cukup rumit karena bisa berimplikasi ke berbagai persoalan, terutama soal instabilitas politik dan keamanan.
Pemerintah dan DPR meyakinkan masyarakat Papua bahwa tujuh provinsi sudah cukup dan tidak perlu ada penambahan lagi. Sebab jika dipaksakan di saat kondisi lokal belum siap, maka provinsi baru justru berpotensi menjadi daerah gagal
"Faktor lokal memang luput diperhatikan dalam desain DOB ini. Apalagi sejak awal elite lokal inginnya ada tujuh DOB," katanya.
Menurut Arya, faktor dukungan elite lokal akan mempengaruhi keberhasilan pembentukan DOB. Sebab, kebijakan pemekaran sangat terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan, stabilitas politik lokal, dan pembentukan Majelis Rakyat Papua yang merupakan representasi kultural orang asli Papua.
Karena itu akan lebih baik jika pemerintah dan DPR meyakinkan masyarakat Papua bahwa tujuh provinsi sudah cukup dan tidak perlu ada penambahan lagi. Sebab jika dipaksakan di saat kondisi lokal belum siap, maka provinsi baru justru berpotensi menjadi daerah gagal.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman menambahkan, sebelum membuka keran pemekaran, pemerintah seharusnya menyelesaikan Desain Besar Penataan Daerah (Desartada). Dengan adanya Desartada, pemerintah sudah memiliki pedoman untuk menata daerah ke depan, baik pemekaran maupun penggabungan daerah.
Menurut dia, proses pemekaran ataupun penggabungan daerah tidak bisa diselesaikan dengan instan. Oleh sebab itu, perlu parameter dan evaluasi terencana sebagai panduan dalam menentukan proses penataan daerah ke depan. ”Kalau sudah ada PP (peraturan pemerintah) tentang Desartada, baru bicara soal pemekaran atau penggabungan. Sebab, dengan disahkannya DOB di Papua, akan memancing daerah-daerah lain di luar Papua untuk mewacanakan pemekaran, bahkan menyuarakannya ke pemda,” tuturnya.
Ketiadaan Desertada, lanjutnya, membuat pemekaran daerah terkesan lebih didasari kepentingan politik. Di tingkat lokal, pemekaran ditujukan untuk memecah kekuasaan sehingga ada ”kue” baru yang bisa dinikmati elite lokal. Sementara itu, di level nasional, pemekaran bisa menarik kepentingan tertentu atau mengamankan kepentingan di daerah. Padahal, pemekaran semestinya didasarkan pada daya dukung daerah, seperti kemampuan ekonomi, sosial, dan lingkungan yang ideal.
"Butuh suara kritis dan masyarakat sipil untuk mempercepat PP Desartada. Kalau UU bisa disahkan dalam hitungan hari, kenapa untuk aturan turunan perlu waktu hingga bertahun-tahun. Artinya, perlu kemauan politik untuk mendorong itu segera diterbitkan," ucapnya.