Kasus Dugaan Pidana Gratifikasi Lili Harus Dilanjutkan
Peneliti Divisi Hukum ICW, Kurnia Ramadhana, kecewa dengan penetapan musyawarah majelis kehormatan kode etik KPK yang gugurkan perkara etik Lili. Seharusnya, mundurnya Lili, kasusnya bisa berlanjut.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peneliti Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, kecewa dengan penetapan musyawarah majelis kehormatan kode etik (MKKE) yang menggugurkan perkara etik Lili. Kurnia berpendapat, Keppres No 71/P/2022 tidak seharusnya menggugurkan proses sidang etik yang dilakukan oleh Dewan Pengawas. Ada keanehan proses sidang etik yang dilakukan oleh MKKE. Sebab, walaupun Lili telah melayangkan surat pengunduran diri pada 30 Juni lalu, Dewas tetap menjalankan agenda sidang etik pada 5 Juli lalu. Namun, Lili berhalangan hadir karena menjalankan tugas G20 di Bali.
”Ini menunjukkan bahwa terlepas ada atau tidaknya surat pengunduran diri Lili, Dewas masih memanggil Lili secara patut pada 1 Juli 2022. Namun, mengapa proses sidang etik ini berujung antiklimaks?” kata Kurnia.
Kurnia berpendapat, Dewas seharusnya tetap melanjutkan proses sidang pelanggaran etik itu. Sebab, dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Lili terjadi pada saat dirinya menjabat sebagai pimpinan KPK. Lili juga dinilai tak kooperatif dan tak memiliki itikad baik untuk menghormati proses persidangan etik. Lili diketahui mangkir dari sidang pertama pada 5 Juli lalu dengan alasan tugas luar kota. Padahal, seharusnya agenda itu dapat dihadiri oleh pimpinan KPK yang lain. Mangkirnya Lili dinilai sebagai upaya pembiaran yang dilakukan oleh Ketua KPK Firli Bahuri. Itu juga menunjukkan bahwa pimpinan KPK tak menghormati sidang etik. ”Karena segala penugasan di KPK itu didasari arahan Ketua KPK,” kata Kurnia.
Lili dinyatakan resmi mengundurkan diri setelah Presiden Jokowi menandatangani keputusan Presiden pada Senin ini. Sebelumnya Lili mengajukan surat pengunduran diri kepada Presiden Jokowi pada 30 Juni 2022.
Ini menunjukkan bahwa terlepas ada atau tidaknya surat pengunduran diri Lili, Dewas masih memanggil Lili secara patut pada 1 Juli 2022. Namun, mengapa proses sidang etik ini berujung antiklimaks? (Kurnia Ramadhana)
Lebih lanjut, Kurnia juga mempertanyakan kehadiran Firli Bahuri ke kantor Dewas ketika MKKE sedang berlangsung. Kedatangan Firli itu dinilai tidak lazim dan dapat memengaruhi penetapan sidang etik sehingga akhirnya Dewas tak melanjutkan sidang etik terhadap Lili. Pengunduran Lili sebagai pimpinan KPK dinilai bukan pencapaian yang baik. Dewas seharusnya tetap menjalankan sidang etik. Apalagi, ada dugaan bahwa Lili sempat berusaha menyuap Dewas agar kasusnya tak dilanjutkan sampai ke sidang etik.
”ICW mendesak agar Dewas membatalkan penetapan dan melanjutkan proses sidang etik terhadap Lili Pintauli Siregar. Dewas harus meneruskan bukti-bukti awal yang telah dimiliki kepada aparat penegak hukum jika ada dugaan kuat adanya gratifikasi yang dianggap suap,” kata Kurnia.
Tak kesatria
Mantan penyidik KPK sekaligus anggota IM57+ Institute, Praswad Nugraha, menambahkan, cara yang dilakukan Lili mempertontonkan tindakan tidak kesatria. Lili mencoba menghindari sidang kode etik dengan menggunakan strategi mengundurkan diri. Ini dikhawatirkan akan menjadi preseden buruk ke depannya bagi semua pegawai KPK. Dikhawatirkan, insan KPK lainnya akan mencontoh cara yang sama dengan melakukan perbuatan melanggar kode etik setelah ketahuan bisa mengundurkan diri.
”Namun, karena pilihannya justru menggugurkan perkara etiknya, ini bisa dilihat sebagai standar untuk lari dari tanggung jawab etik. Seharusnya hal ini menjadi perhatian bersama dari Dewas,” ujarnya.
Soal tata cara persidangan yang diatur di Perdewas No 3/20220 itu masih bisa diperdebatkan. Sebab, di Pasal 7 Ayat (4) disebutkan bahwa jika terperiksa tidak hadir untuk kedua kalinya tanpa alasan yang sah, sidang bisa dilanjutkan tanpa kehadiran terperiksa. Seharusnya, meskipun Lili mundur, tetap dikeluarkan pandangan akhir (terkait pelanggaran etik) yang diyakini Dewas (KPK). (Zainal Arifin
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, berpendapat, alasan menggugurkan perkara etik terhadap Lili karena dia sudah bukan insan KPK memang bisa diterima secara logika hukum. Namun, dalam perspektifnya, Dewas KPK telah melewatkan kesempatan untuk membangun monumen penegakan etik. Seharusnya, proses etik masih bisa dilakukan walaupun pada ujungnya pihak terperiksa mengundurkan diri. Namun, ketika sidang etik tidak dilanjutkan, seolah pelanggaran yang dilakukan Lili menjadi dibenarkan.
Zainal menegaskan, idealnya, jika Dewas KPK serius melakukan penegakan etik, ada tonggak sejarah yang dibuat untuk menyatakan bahwa Lili telah melakukan kesalahan dengan sanksi etik tertentu. Langkah itu dilakukan sebagai simbol kepada publik bahwa kesalahan etik yang dilakukan Lili tak bisa dibenarkan.
”Soal tata cara persidangan yang diatur di Perdewas No 3/20220 itu masih bisa diperdebatkan. Sebab, di Pasal 7 Ayat (4) disebutkan bahwa jika terperiksa tidak hadir untuk kedua kalinya tanpa alasan yang sah, sidang bisa dilanjutkan tanpa kehadiran terperiksa. Seharusnya, meskipun Lili mundur, tetap dikeluarkan pandangan akhir (terkait pelanggaran etik) yang diyakini Dewas (KPK),” ujar Zainal.
Firli juga mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk tidak memberikan hadiah atau gratifikasi kepada pimpinan, Dewas KPK, ataupun pegawai KPK. Sebab, KPK dalam pelaksanaan tugasnya tak hanya berpedoman pada ketentuan UU, tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai etik. Penegakan etik tidak bisa dilepaskan dari peran aktif masyarakat.
”Kami sampaikan terima kasih kepada Ibu Lili Pintauli Siregar atas kerjanya selama menjabat sebagai pimpinan KPK,” kata Firli.
Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, seusai Lili mundur, sesuai dengan Pasal 33 UU KPK, Presiden mengajukan calon anggota pengganti kepada DPR. Anggota pengganti dipilih dari calon pimpinan KPK yang tidak terpilih di DPR sepanjang masih memenuhi persyaratan. Anggota pengganti tersebut akan melanjutkan sisa masa jabatan pimpinan KPK yang digantikan.