Disahkan Besok, RUU Pemasyarakatan Diklaim Mampu Kurangi Kelebihan Penghuni Lapas
Besok Kamis, direncanakan seluruh fraksi di DPR akan menyetujui Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang. UU itu diharapkan dapat mengatasi kelebihan tahanan.
JAKARTA, KOMPAS — Seluruh fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan dibawa ke rapat paripurna pada Kamis (7/7/2022) besok, untuk disahkan menjadi undang-undang. Kehadiran RUU ini diklaim mampu mengatasi persoalan kelebihan penghuni di lembaga pemasyarakatan hingga 30 persen.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy OS Hiariej menyerahkan draf RUU Pemasyarakatan kepada Komisi III DPR di Kompleks Senayan, Jakarta, Rabu (6/7/2022). Sesaat setelah penyerahan draf, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat Benny K Harman meminta RUU itu tidak langsung disahkan, melainkan dibahas terlebih dahulu oleh seluruh fraksi.
Usulan Benny tersebut kemudian ditampung untuk dibahas di rapat internal Komisi III pada Rabu siang tadi. Pada sore harinya, rapat dilanjutkan dengan pengambilan keputusan tingkat satu terhadap RUU Pemasyarakatan. Dalam rapat tersebut, seluruh fraksi menyatakan kesepakatannya untuk membawa RUU itu ke tingkat dua atau paripurna yang akan digelar pada Kamis besok.
Baca juga: Mekanisme Pembahasan Masih Tunggu Draf Revisi UU Pemasyarakatan
”Setelah kami menyampaikan masalah RUU ini tadi kepada pimpinan (fraksi), pimpinan kami menyampaikan dan menanyakan kepada kami, apa kehendak rakyat saat ini? Saya jawab, tampaknya kehendak rakyat saat ini ingin sekali RUU ini segera disahkan,” ujar Benny.
Setelah kami menyampaikan masalah RUU ini tadi kepada pimpinan (fraksi), pimpinan kami menyampaikan dan menanyakan kepada kami, apa kehendak rakyat saat ini? Saya jawab, tampaknya kehendak rakyat saat ini ingin sekali RUU ini segera disahkan.
Untuk diketahui, RUU Pemasyarakatan merupakan RUU carry over, yang awalnya akan disahkan dalam rapat paripurna pada September 2019 lalu. Namun, RUU itu batal disahkan karena muncul tekanan dari masyarakat kala itu. Masyarakat sipil menilai, jika RUU Pemasyarakatan disahkan, akan mempermudah pembebasan bersyarat bagi pelaku kejahatan luar biasa, seperti koruptor. Demokrat menjadi satu-satunya fraksi yang menolak pengesahan RUU tersebut di rapat paripurna.
Publik mengkritisi RUU Pemasyarakatan karena meniadakan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, yang mengatur remisi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana dengan jenis kejahatan luar biasa. Namun, pada akhir Oktober 2021, PP itu dicabut oleh Mahkamah Agung.
Jadi, tidak ada lagi hal yang menjadikan alasan untuk menghalangi RUU Pemasyarakatan ini tidak segera kita sahkan.
Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Golkar Adies Kadir menyampaikan, meski sempat mendapat penolakan dari satu fraksi pada rapat paripurna yang lalu, kini seluruh fraksi sudah sepakat membawa RUU Pemasyarakatan ke paripurna untuk disahkan. Apalagi dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materi Pasal 14 Ayat 1 huruf i UU No 12/1995 tentang Pemasyarakatan, tak ada lagi persoalan di dalam RUU Pemasyarakatan. Dengan putusan itu, MK berpandangan, semua narapidana memiliki hak untuk mendapatkan remisi.
”Jadi, tidak ada lagi hal yang menjadikan alasan untuk menghalangi RUU Pemasyarakatan ini tidak segera kita sahkan,” tutur Adies.
Mengurangi kelebihan penghuni lapas
Adies menjelaskan, selama ini ada persoalan serius terkait kelebihan penghuni di lapas. Kelebihan penghuni itu bukan hanya 70 persen, melainkan di sejumlah lapas bahkan sampai 80 persen. Mayoritas penghuni pun merupakan narapidana kasus narkotika.
Karena itu, dengan disahkannya RUU Pemasyarakatan ini, menurut Adies, otomatis akan ada banyak penghuni yang akan mendapatkan pembebasan bersyarat. Dengan begitu, persoalan kelebihan penghuni di lapas dapat ditekan paling tidak 20-30 persen.
”Cuma tinggal efek jeranya dipantau. Kan, masih ada masa setelah pembebasan, masa pantauan pembebasan bersayarat, itu dipantau, apakah dia kambuh lagi atau tidak. Itu tugas dari lapas, memperkuat di bidang itu,” ucap Adies.
Cuma tinggal efek jeranya dipantau. Kan, masih ada masa setelah pembebasan, masa pantauan pembebasan bersayarat, itu dipantau, apakah dia kambuh lagi atau tidak. Itu tugas dari lapas, memperkuat di bidang itu.
Sependapat dengan Adies, Eddy OS Hiariej berpendapat, RUU Pemasyarakatan yang baru ini sudah lebih berorientasi pada pidana modern. Artinya, RUU ini sudah tidak lagi menitikberatkan pada keadilan retributif, tetapi keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif.
Baca juga: RUU Pemasyarakatan Lemahkan Pemberantasan Korupsi
Kemudian, keunggulan lain dari RUU Pemasyarakatan adalah lapas kini tak hanya terlibat pada akhir dalam sistem peradilan pidana, tetapi terlibat pula dalam proses ajudikasi, persis seperti dalam UU No 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
”Memang RUU ini boleh dikatan sebagai blessing in disguise karena putusan MA terkait PP No 99/2012, itu semua sesuai dengan apa yang di dalam RUU ini terkait hak-hak narapidana,” kata Eddy.
Saat dimintai tanggapan soal kehadiran RUU Pemasyarakatan ini yang justru akan mempermudah pembebasan bersyarat bagi para koruptor, menurut Eddy, ketika seseorang sudah sampai pada tahap pembinaan di lapas, itu sudah tidak boleh ada lagi perbedaan-perbedaan. Sebab, jika fungsi restoratif dan fungsi rehabilitatif dalam hukum pidana modern diterapkan, pelaku kejahatan itu harus direhabilitasi.
”Dalam konteks yang demikian, dan ketika kita berbicara dalam konteks due process of law, maka apa yang menjadi haknya selama dia berkelakuan baik, maka itu harus diberikan. Dan itu adalah inti sebetulnya kalau kita merujuk pada putusan MK maupun putusan MA terkait uji materil PP No 99/2012. Jadi, apa yang kami buat, yang disepakati oleh DPR dan pemerintah sebetulnya sudah inline dengan putusan MK itu sendiri,” tutur Eddy.