Mekanisme Pembahasan Masih Tunggu Draf Revisi UU Pemasyarakatan
”RUU Pemasyarakatan memang sudah dimasukkan ke Prolegnas Prioritas 2021. Namun, pemerintah sebagai inisiatornya sampai akhir masa sidang lalu belum mengajukan RUU-nya kembali,” kata anggota Komisi III DPR, Arsul Sani.
Oleh
susana rita
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hingga berakhirnya masa sidang I tahun sidang 2021-2022 pada 7 Oktober, pemerintah masih belum mengirimkan naskah revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan ke Dewan Perwakilan Rakyat. Bagaimana nantinya revisi UU tersebut dibahas, apakah dari awal ataukah tinggal melanjutkan pembahasan DPR periode sebelumnya karena berstatus carry over, belum diputuskan.
”Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan memang sudah dimasukkan ke Prolegnas Prioritas 2021. Namun, pemerintah sebagai inisiatornya sampai dengan akhir masa sidang lalu belum mengajukan RUU-nya kembali,” kata anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, saat dihubungi pada Jumat (15/10/2021).
Sebelumnya, pada 15 September, Badan Legislasi (Baleg) DPR sepakat memasukkan tiga usulan revisi undang-undang yang disampaikan pemerintah, yaitu revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), UU Pemasyarakatan, dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas tahun 2021. Disepakati pula bahwa dua RUU di antaranya, yakni RKUHP dan revisi UU Pemasyarakatan, dengan status carry over atau luncuran. RUU Pemasyarakatan sebenarnya telah disepakati pemerintah dan DPR periode lalu dalam pengambilan keputusan tingkat pertama.
Meskipun telah disepakati berstatus carry over, menurut Arsul, tidak berarti Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly dan para anggota DPR tinggal membawa berkas masing-masing untuk kemudian rapat melanjutkan pembahasan RUU Pemasyarakatan. Pemerintah selaku inisiator revisi harus kembali mengajukan naskah RUU-nya sesuai dengan yang terakhir dibahas dan disetujui pada periode lalu dengan surat presiden (surpres) baru.
”Lalu DPR menentukan akan dibahas di AKD (alat kelengkapan dewan) mana, apakah Komisi III atau Baleg (Badan Legislasi). Baru Menkumham sebagai wakil pemerintah dan AKD yang ditunjuk bersepakat mana-mana yang tidak perlu dibahas ulang,” tutur Arsul.
Ada beberapa perubahan yang signifikan dalam draf RUU Pemasyarakatan hasil pembahasan tahun 2019. Di antaranya, mengenai syarat-syarat pemberian hak-hak narapidana, seperti remisi, asimilasi, cuti mengunjungi atau dikunjungi keluarga, cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat, dan hak lainnya. Pada Pasal 10 Ayat (2) draf RUU Pemasyarakatan itu, persyaratan untuk mendapatkan hak-hak tersebut adalah berkelakuan baik, aktif mengikuti program pembinaan, dan telah menunjukkan penurunan tingkat risiko.
Ketentuan ini berbeda dengan UU No 12/1995 tentang Pemasyarakatan yang menyerahkan syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak napi kepada pemerintah yang diatur melalui peraturan pemerintah. Selama ini, pelaksanaan dan tata cara pemberian hak-hak napi mengacu pada PP No 99/2012 yang memperketat syarat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat kepada narapidana tindak pidana khusus (korupsi, terorisme, narkotika, dan lainnya).
Masalah pengetatan remisi ini berulang kali dipersoalkan ke Mahkamah Agung (melalui uji materi PP No 99/2012) dan ke Mahkamah Konstitusi (melalui uji materi Pasal 14 UU No 12/1995). Salah satu pihak yang mempersoalkan hal itu adalah advokat senior OC Kaligis, bukan mantan advokat seperti dituliskan dalam berita Kompas edisi 18 September 2021 berjudul ”Antara Remisi dan Vonis Koruptor”.
Kaligis dalam suratnya kepada Kompas menyatakan bahwa izin advokatnya tidak pernah dicabut. Bahkan, di LP Sukamiskin, Kaligis dipercaya menjadi Ketua Tim Pakar Pemberi Bantuan Hukum di Klinik Hukum Sukamiskin bagi sesama narapidana yang akan mengajukan peninjauan kembali atau membutuhkan nasihat hukum. Kantor hukumnya hingga kini masih berjalan.
Pengetatan remisi konstitusional
Aturan pengetatan syarat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat untuk narapidana kasus korupsi dinilai tetap konstitusional. Putusan Mahkamah Konstitusi dalam uji materi UU Pemasyarakatan terakhir tidak dapat dijadikan alasan untuk melonggarkan syarat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat. Sebab, MK tidak berwenang mengatur tentang hal tersebut. Satu-satunya pihak yang punya kewenangan untuk mengaturnya adalah pemerintah.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari dalam perbincangan beberapa waktu lalu mengatakan, publik tak perlu terjebak dengan wacana perlunya PP No 99/2012 diubah.
Sebelumnya, MK menolak permohonan Kaligis saat mempersoalkan Pasal 14 Ayat (1) Huruf i UU No 12/1995 terkait hak remisi bagi napi. Ia mendalilkan bahwa pasal tersebut inkonstitusional karena menimbulkan penafsiran yang diskriminatif di dalam aturan turunannya, yaitu PP No 99/2012. PP itu mengatur pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi napi tindak pidana khusus, di antaranya harus menjadi justice collaborator atau bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar kejahatannya. Kaligis dirugikan atas ketentuan itu karena dirinya tidak bisa menjadi JC.
MK menyatakan, Pasal 14 Ayat (1) huruf i UU No 12/1995 konstitusional. Remisi merupakan hak hukum yang pemberiannya diatur oleh negara. Namun, MK dalam pertimbangannya juga mengeluarkan rambu-rambu, seperti pembatasan pemberian remisi mesti dilakukan dengan putusan hakim.
Menurut Feri, pertimbangan yang diberikan MK tersebut sebenarnya tidak ada nilainya. Sebab, pada dasarnya MK menolak permohonan Kaligis secara keseluruhan. ”Tidak ada yang berubah sama sekali karena (permohonan) ditolak. MK tidak memberikan penafsiran konstitusional bersyarat atau inkonstitusional bersyarat,” ujarnya.
Mengenai pertimbangan tentang pembatasan/pencabutan remisi melalui putusan peradilan, menurut dia, hal tersebut sebenarnya sudah berlaku di sejumlah negara. Ia mencontohkan praktik di Amerika Serikat. Selain menjatuhkan lamanya hukuman, hakim juga dapat mencabut hak napi untuk mendapatkan remisi, misalnya karena sifat kejahatan yang dilakukan merupakan kejahatan yang luar biasa.
Namun, apabila hakim tidak menambahkan pencabutan remisi di dalam putusannya, kata Feri, maka menjadi kewenangan pemerintah untuk mengaturnya. Termasuk di dalamnya melakukan pembatasan-pembatasan melalui aturan yang ketat.
Dalam siaran pers bersama, Pusako, Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) mengkritik putusan MK yang tidak tegas. MK tidak membatalkan peraturan-peraturan terkait remisi, tetapi mengeluarkan komentar-komentar lain di luar substansi permohonan dengan berbagai alasan.
Selain itu, MK dinilai semakin memperlihatkan ketiadaan sense of crisis terhadap kejahatan korupsi di Indonesia yang masih merajalela. Lembaga ini juga dinilai tidak memahami pemaknaan korupsi sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime.
Ketiga lembaga tersebut juga menilai MK keliru dalam memahami kondisi lembaga pemasyarakatan yang overcrowded saat ini. Sebab, penyebab overcrowded tidak ada hubungannya dengan narapidana kasus korupsi. Berdasarkan data pada Maret 2020, jumlah terpidana kasus korupsi hanya 0,7 persen atau sebanyak 1,906 orang dari total keseluruhan 270.445 penghuni penjara.