Aturan ”Presidential Threshold” Kembali Digugat, Kali Ini Giliran PKS
Meski PKS optimistis gugatannya ke MK akan dikabulkan, tidak demikian pandangan pengamat dari Perludem. Kans gugatan dikabulkan dinilai sangat kecil karena PKS ikut membentuk UU Pemilu.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Anggota dan simpatisan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengikuti puncak peringatan Milad Ke-20 PKS di Istora Senayan, Jakarta, Minggu (29/5/2022).
JAKARTA, KOMPAS - Partai Keadilan Sejahtera berencana mendaftarkan permohonan uji materi pasal yang mengatur syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden di Undang-Undang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi, hari ini, Rabu (6/7/2022). PKS optimistis gugatannya dikabulkan karena sudah mempelajari puluhan putusan gugatan serupa yang ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.
Kuasa hukum Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Zainudin Paru, mengatakan, permohonan uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ke Mahkamah Konstitusi akan didaftarkan langsung bersama Presiden PKS Ahmad Syaikhu dan Sekretaris Jenderal PKS Habib Aboe Bakar Al Habsyi. ”Kami akan secara resmi memasukkan permohonan ke MK itu bersama Presiden dan Sekjen PKS selaku pemohon I, sedangkan pemohon II Ketua Dewan Syura PKS Salim Segaf Al Jufri akan hadir pada sidang perdana,” ujarnya melalui keterangan tertulis, Selasa (5/7/2022).
Menurut dia, tim kuasa hukum telah mempelajari tidak kurang dari 30 putusan terkait permohonan uji materi terkait ambang batas pencalonan presiden. Ia pun optimistis permohonan yang akan mereka ajukan akan dikabulkan oleh MK. Sebab, mereka telah mengikuti alur petunjuk-petunjuk yang terdapat di putusan-putusan MK sebelumnya tersebut.
”Meski pasal yang diuji sama, yakni Pasal 222 UU Pemilu, tetapi posita, batu uji, argumentasi, dan petitum yang kami ajukan berbeda dengan permohonan-permohonan sebelumnya. Kami juga mengikuti alur petunjuk yang disampaikan oleh MK di dalam putusan sebelumnya,” ucap Zainudin.
Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu menyampaikan pidato pada pembukaan Rapimnas PKS di Jakarta, Senin (20/6/2022).
Ia menuturkan, pendaftaran permohonan pengujian syarat ambang batas pencalonan presiden sebesar minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional di pemilu sebelumnya merupakan bentuk tanggung jawab moral PKS. Sebagai salah satu partai peserta pemilu yang berhak mencalonkan calon presiden dan wakil presiden, PKS ingin syarat itu dihapuskan agar tidak lagi tercipta polarisasi di masyarakat Indonesia karena sulitnya mencalonkan capres-cawapres, seperti yang terjadi pada dua pemilu terakhir.
”Polarisasi itu timbul karena ketentuan dalam Pasal 222 UU Pemilu mempersempit adanya calon presiden dan wakil presiden alternatif. Tanggung jawab ini yang harus kami ambil dengan mekanisme judicial review, apalagi MK dalam putusan terakhirnya menyebut bahwa yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan ini adalah partai politik peserta pemilu sebelumnya,” ujar Zainudin.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, menilai peluang gugatan PKS untuk dikabulkan sangat kecil. Sebab, PKS tersebut termasuk dalam salah satu parpol parlemen yang membentuk UU Pemilu sehingga tidak memiliki kedudukan hukum.
”Sekalipun PKS termasuk salah satu parpol yang walk out, selain PAN, Demokrat, dan Gerindra, dalam pembahasan UU Pemilu, PKS termasuk salah satu parpol yang ikut membahasnya,” ujarnya.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi ( Perludem) Titi Anggraini (kedua dari kiri) berbincang dengan kuasa hukumnya, Fadli Ramadhanil, saat mengikuti sidang putusan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang (Pilkada) di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta, Rabu (26/2/2019).
Menurut Fadli, peluang dikabulkannya gugatan justru lebih besar jika diajukan oleh parpol nonparlemen yang ikut pemilu, tetapi tidak ikut membahas UU Pemilu. Mereka lebih punya basis argumen konstitusi karena tidak terlibat pembahasan dan tidak menjadi bagian dari pembentuk UU. Parpol nonparlemen terdampak langsung dari ketentuan syarat ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden karena punya suara di pemilu sebelumnya dan akan menjadi peserta Pemilu 2024, tetapi tidak bisa mengajukan pasangan calon presiden-wakil presiden.
”Parpol nonparlemen terhalang untuk mengajukan pasangan calon. Mereka mengalami kerugian konstitusional langsung karena sebagai peserta pemilu yang punya suara tidak bisa mengusung pasangan calon,” tutur Fadli.