Tingkat kesenjangan ekonomi yang tinggi menjadi kendala bagi perkembangan demokrasi. Dalam kerangka itu, politik uang merupakan subsidi yang mengalir ke kelompok-kelompok tertentu secara masif.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS
Baliho ajakan menolak politik uang bernada satire terpasang di sudut salah satu pasar di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, sehari menjelang pemungutan suara pemilihan kepala daerah serentak 2020, Selasa (8/12/2020). Pada 9 Desember, warga Banjarmasin akan memilih gubernur dan wali kota periode 2021-2024.
JAKARTA, KOMPAS — Politik uang dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia menjadi problem yang terus mengemuka. Oleh karena itu, reformasi sistem pemilu dipandang sebagai agenda yang paling mendesak diwujudkan untuk menanggulangi politik uang.
Hal itu mengemuka dalam Sekolah Demokrasi yang berlangsung selama 3 hari di Leiden, Belanda, dan ditutup pada Sabtu (25/6/2022). Sekolah Demokrasi tersebut diselenggarakan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), KITLV, Universitas DIponegoro, serta Perhimpunan Pelajar Indonesia Leiden dan ditutup dengan seminar bertajuk ”Mendorong Kelahiran Pemimpin Alternatif Hasil Pemilu 2024”.
Sebagaimana dikutip dalam keterangan tertulis, pada dasarnya semua pihak setuju dengan pemilu yang bebas dari politik uang, baik itu akademisi paling idealis maupun politisi yang paling konservatif. Namun, mereka tidak kuasa menolak karena adanya situasi berupa ”jebakan informalitas”, yakni situasi ketika politisi merasa khawatir tidak akan bisa menang pemilu tanpa politik uang.
Sementara, di sisi yang lain, masyarakat harus menerima dan bahkan ”meminta uang” kepada politisi. Sebab, pemilu menjadi satu-satunya kesempatan mereka bisa ikut mendapat insentif dari proses elektoral. Di pihak lain, pengusaha merasa harus memberi uang kepada politisi dalam pemilu karena khawatir bisnis mereka akan terkendala oleh kebijakan pemegang kekuasaan jika tidak melakukannya.
Ketua Dewan Pengurus LP3ES Didik J Rachbini mengatakan, politik uang yang berlangsung secara masif perlu dicegah. Hal itu dilakukan dengan penangkapan kepala daerah yang melakukan tindak korupsi, mulai dari tingkat kabupaten dan kota hingga tingkat provinsi, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Ketua Dewan Pengurus LP3ES Didik J Rachbini dalam diskusi sekaligus peluncuran buku bertajuk Kemunduran Demokrasi dan Resiliensi Masyarakat Sipil yang diselenggarakan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) secara daring, Minggu (20/3/2022).
Menurut Didik, tingkat kesenjangan ekonomi yang tinggi menjadi kendala bagi perkembangan demokrasi. Dalam kerangka itu, politik uang merupakan subsidi yang mengalir ke kelompok-kelompok tertentu secara masif sebagai bagian dari korupsi politik.
”Masuk ke lingkungan politik seperti arena perjudian, terjebak pada informality trap. Jika menjadi anggota parlemen, misalnya, tidak terkena kasus di KPK, itu sudah merupakan prestasi besar,” kata Didik.
Partai politik, kata Didik, dinilai juga merupakan sumber korupsi. Sebab, di sana terjadi praktik ”jual beli calon”, tetapi tidak terkena sanksi hukum. Terkait dengan hal itu, ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen dipertahankan karena dengan itu parpol dapat mengendalikan proses pemilihan para pejabat di eksekutif, seperti Gubernur Bank Indonesia, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, serta Ketua KPK.
Menurut peneliti KITLV Leiden, yang juga Guru Besar Universitas Amsterdam, Ward Berenschot, tantangan demokrasi di Indonesia masih berkisar pada tingginya tingkat korupsi, oligarki, dan partai politik. Beberapa masalah tersebut terkait erat dengan sistem elektoral yang diterapkan saat ini.
Partai politik, kata Didik, dinilai juga merupakan sumber korupsi. Sebab, di sana terjadi praktik ”jual beli calon ”, tetapi tidak terkena sanksi hukum.
Bagi mereka yang frustasi, bisa jadi akan memilih mengambil jalan pintas, yakni kembali ke era diktator masa lalu. Namun, seharusnya masalah tersebut dicari jalan keluarnya, termasuk untuk menghentikan praktik jual-beli suara dalam pemilu, salah satunya adalah dengan memperkuat wewenang dan anggaran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES Wijayanto dalam diskusi sekaligus peluncuran buku bertajuk Kemunduran Demokrasi dan Resiliensi Masyarakat Sipil yang diselenggarakan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) secara daring, Minggu (20/3/2022).
Direktur Media dan Demokrasi LP3ES yang juga Peneliti Tamu KITLV Leiden sekaligus pengajar dari Universitas Diponegoro, Wijayanto, berpandangan, kian dekat pemilu, yang tampak hanya kesibukan menggalang koalisi dan kampanye untuk mendongkrak popularitas dan elektabilitas. Sementara, diskusi substantif mengenai masalah publik justru jarang terdengar.
”Kita mengimbau agar pemilu menjadi festival gagasan di mana politisi saling beradu argumen tentang bagaimana mengatasi persoalan publik bangsa, seperti kerusakan alam, oligarki, kesenjangan sosial, represi terhadap ruang kebebasan sipil dan banyak hal mendasar lain demi kemajuan bangsa,” kata Wijayanto.
Oleh karena itu, menurut Wijayanto, tidak berlebihan jika Pemilu 2024 disebut sebagai pertaruhan keberlangsungan demokrasi. Sebab, saat ini tengah terjadi tren kemunduran demokrasi yang jika terus berlangsung akan mengarah kepada otoritarianisme. Hal itu ditunjukkan dari munculnya wacana perpanjangan masa jabatan presiden.
”Ketika konstitusi diingkari, maka yang akan terjadi adalah rentetan otoriterisme masif seperti yang telah terjadi pada era Orde Lama dan Orde Baru,” kata Wijayanto mengutip Herbeth Feith, seorang Indonesianis dari Australia.