Gonjang-ganjing yang terjadi belakangan di Mahkamah Konstitusi kontroversi mundur tidaknya Ketua MK Anwar Usman dan Wakil Ketua MK Aswanto, belum terbentuknya Majelis Kehormatan MK,indikasikan MK tak sedang baik-baik.
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·4 menit baca
Di antara lembaga negara, posisi Mahkamah Konsitusi (MK) terpandang. Dalam desain konstitusi, hakim MK dikonstruksikan sebagai negarawan yang menguasai konstitusi. Karena itulah, guru besar sosiologi hukum Prof Dr Satjipto Rahardjo SH menyebut sembilan hakim konstitusi itu ucapannya ibarat idu geni (ludah api). Apa yang telah diputuskan sembilan hakim itu, seluruh bangsa ini harus nurut dan manut.
Dikawal hakim berintegritas berkaliber negarawan, MK masih bisa menjalankan perannya sebagai penjaga konstitusi dan penjaga ideologi negara. Namun sejarah mencatat, negarawan yang menguasai konstitusi adalah manusia biasa, yang bisa saja menyalahgunakan kekuasaannya. Maka jadilah peristiwa tahun 2013 saat Akil Mochtar, Ketua MK, ditangkap KPK karena memperdagangkan perkara. Kemudian tahun 2014, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar juga ditangkap KPK.
Gonjang-ganjing yang terjadi belakangan di MK -- kontroversi mundur tidaknya Ketua MK Anwar Usman dan Wakil Ketua MK Aswanto, belum terbentuknya Majelis Kehormatan MK -- mengindikasikan lembaga ini tidak sedang baik-baik saja. Terasa ada ”rivalitas” sunyi di kalangan hakim konstitusi.
Melalui uji formil dan uji materiil UU No 7/2020 tentang Perubahan Ketiga UU MK, MK ditempatkan dalam posisi sulit. Dia harus mengadili perkara yang menyangkut dirinya sendiri. Meskipun dalam pertimbangannya berbasiskan argumen hukum, namun terasa ada persaingan tersembunyi hakim MK. Uji materi ini seakan menabrak dengan asas hukum, nemo judex idoneus in propria causa, yang berarti ”tidak seorangpun dapat menjadi hakim dalam perkara dirinya sendiri.”
"Namun sejarah mencatat, negarawan yang menguasai konstitusi adalah manusia biasa, yang bisa saja menyalahgunakan kekuasaannya. Maka jadilah peristiwa tahun 2013 saat Akil Mochtar, Ketua MK, ditangkap KPK karena memperdagangkan perkara. Kemudian tahun 2014, Hakim Konstitusi Patrialis Akbar juga ditangkap KPK"
Pangkal masalahnya adalah UU No 7/2020 yang disahkan 1 September 2020. Rapat Paripurna DPR menyetujui perubahan atas UU MK. Masa jabatan hakim konstitusi diperpanjang hingga 70 tahun atau paling lama menjabat 15 tahun. Jabatan ketua MK dan wakil ketua MK yang menjabat juga dianggap sesuai dengan Perubahan UU MK.
Saat perubahan RUU dibahas, perdebatan publik tak banyak, meski kritik tajam dialamatkan. Revisi UU MK yang dilakukan pemerintah dan DPR hanyalah akan memperkuat tren kekuasaan yuristokrasi atau kekuatan yudikatif untuk memutuskan sengketa politik. Sebagaimana dikutip Kompas, Rabu 2 September 2020, pakar hukum Feri Amsari mengingatkan, jika masa jabatan hakim begitu panjang dan miskin pengawasan akan menimbulkan hakim berkuasa penuh. Fenomena yuristokrasi akan memudahkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi!
Waktu berjalan. Potensi dugaan pelanggaran etik oleh hakim konstitusi mulai muncul ke permukaan. Pernikahan Ketua MK Anwar Usman dengan adik Presiden Joko Widodo memunculkan prasangka itu. Pernikahan memang hak asasi manusia. Namun, potensi konflik kepentingan bisa saja terjadi. Pengujian undang-undang, sengketa lembaga negara adalah domain MK.
Sayangnya potensi dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi tak punya saluran penyelesaian. UU No 7/2020 yang mengharuskan dibentuknya Majelis Kehormatan MK tak kunjung dibuat. Jadilah MK sebagai mahkamah tanpa pengawasan atas dugaan pelanggaran etik. UU No 7/2020 menyebutkan, Majelis Kehormatan MK terdiri dari satu orang hakim konstitusi, satu orang anggota Komisi Yudisial (KY), dan satu orang akademisi berlatar belakang hukum.
Hingga 25 Juni 2022, Majelis Kehormatan MK tak pernah terbentuk! Dalam perkembangan terbaru, melalui putusan uji materiil No 56/PUU/XX-2022, MK mencoret kehadiran KY sebagai anggota Majelis Kehormatan MK. MK mengoreksi kehadiran anggota KY dan mengganti dengan satu orang tokoh masyarakat yang memiliki integritas tinggi yang memahami hukum dan konstitusi serta tidak menjadi anggota parpol mana pun.
Baca Juga: Mahkamah Konstitusi, Tak Sebatas Penjaga KonstitusiKoreksi itu menandakan MK bisa sekehendak hati memilih siapa orang yang berhak mengawasinya. Mengapa MK membuang anggota KY tapi tidak membuang unsur hakim konstitusi sebagai Majelis Kehormatan MK. Konflik kepentingan jelas ada di sana. Hanya seorang hakim konstitusi yang melakukan dissenting opinion, yakni Saldi Isra.
"Putusan MK soal masa jabatan hakim konstitusi justru mempertontonkan bagaimana hakim konstitusi itu sedang mempertahankan argumennya untuk merebut posisi Ketua MK dalam sembilan bulan ke depan"
Gonjang-ganjing di MK tampak dari kekisruhan soal tafsir pasal soal masa jabatan hakim konstitusi dan masa jabatan ketua MK. Hakim konstitusi memutuskan jabatan Ketua MK harus dipilih ulang dalam waktu sembilan bulan. Putusan MK soal masa jabatan hakim konstitusi justru mempertontonkan bagaimana hakim konstitusi itu sedang mempertahankan argumennya untuk merebut posisi Ketua MK dalam sembilan bulan ke depan.
Kondisi ini sepantasnya diselesaikan menyongsong tahun politik bersamaan dengan pembentukan Majelis Kehormatan MK. ”Pergolakan” atau ”perkubuan” untuk memperebutkan posisi Ketua MK dan Wakil Ketua MK bakal menguji atribut bahwa hakim konstutisi adalah negawaran yang menguasai konsitusi. Hadirnya Majelis Kehormatan MK menjadi urgen karena sebuah kekuasaan tanpa batas berpotensi disalahgunakan.