Ruang Perjumpaan yang Meluruhkan Prasangka
Cara paling jitu untuk memupus prasangka dari mereka yang berbeda keyakinan adalah dengan membuka ruang-ruang perjumpaan. Dengan saling mengenal, pemahaman dan empati dapat dibangun.
Muadz Mutakhir (24) ingat betul, tangannya tidak langsung terulur ketika seorang umat di sebuah gereja meminjamkan kepadanya sebuah kitab suci agama Kristen atau Alkitab dalam sebuah kebaktian hari Minggu. Hati dan pikiran Muadz bergejolak. Ia tak menyangka akan menghadapi situasi itu.
”Saya kemudian menerima kitab suci itu sambil istigfar terus-menerus. Sungguh, bagi saya pribadi, itu pengalaman yang sangat membekas,” ujar Muadz sambil tersenyum saat ditemui, Minggu (19/6/2022).
Muadz kala itu adalah santri senior di Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Mizan, Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Ponpes Al-Mizan sering mendapat kunjungan dari umat beragama lain, khususnya untuk mengenal Islam secara lebih dalam.
Pada 2019, Muadz mendapat teman sekamar seorang calon pendeta dari sekolah tinggi teologi di Jakarta yang live-in di Ponpes Al-Mizan selama tiga bulan yang bernama Cornelius. Cornelius mengikuti seluruh kegiatan di ponpes layaknya seorang santri, termasuk berpuasa saat Ramadhan.
Dari interaksi itu, Muadz ingin tahu lebih jauh mengenai umat Kristen. Sebab, ia pernah mendengar ketika ibadah hari Minggu khotbah kepada umat hanya mengenai kebencian terhadap umat Islam. Ia ingin membuktikan itu dengan ikut Cornelius ke acara kebaktian hari Minggu.
Baca juga: Perluas Ruang Perjumpaan Dalam Kebinekaan
Pada saat itulah, ia mengalami sendiri masuk ke sebuah gereja, mengikuti kebaktian, dan yang paling mengesankan baginya adalah mendapat pinjaman Alkitab. Dari pertemanan dan diskusi itu, segala prasangka Muadz luruh dengan sendirinya. Pengalamannya itu diteguhkan oleh pimpinan Ponpes Al-Mizan, KH Maman Imanulhaq.
”Di Ponpes Al-Mizan, saya bertemu beragam orang. Di sini pula, saya bertemu umat dari agama yang berbeda. Saya semakin melihat bahwa Indonesia itu beragam,” kata Muadz.
Selain kegiatan live-in, Ponpes Al-Mizan sering mendapatkan kunjungan dari sejumlah kelompok beragama lain. Ponpes Al-Mizan juga rutin mengadakan Festival Al-Mizan dan tadarus budaya dengan mengundang kelompok masyarakat dari berbagai keyakinan.
Anggapan bahwa mereka yang berbeda adalah musuh merupakan akibat dari ketidaktahuan. Tanpa sikap terbuka untuk berdialog dengan mereka yang berbeda, tidak akan muncul rasa saling menghargai dan menghormati.
Maman menuturkan, di masa mudanya, pandangannya terhadap umat beragama lain juga sempit. Namun, setelah Reformasi tahun 1998, matanya terbuka. Ia menyaksikan diskriminasi dan persekusi terhadap umat beragama lain. Dari situ, baik secara pribadi maupun melalui Ponpes Al-Mizan, Maman mulai gencar memperjuangkan keberagaman dan kebinekaan.
Menurut Maman, anggapan bahwa mereka yang berbeda adalah musuh merupakan akibat dari ketidaktahuan. Tanpa sikap terbuka untuk berdialog dengan mereka yang berbeda, tidak akan muncul rasa saling menghargai dan menghormati. Untuk mengikis ketidaktahuan itulah, dibuka kesempatan dan ruang untuk saling berjumpa.
”Itulah yang diajarkan kepada anak-anak di ponpes ini, yaitu toleransi dan moderasi beragama,” ucapnya.
Namun, lanjut Maman, hal itu bukan tanpa tantangan. Ia dicap sebagai seorang kiai ”liberal”, demikian pula terhadap Ponpes Al-Mizan. Meski demikian, Maman tidak khawatir. Sebaliknya, banyak orangtua santri justru ingin agar anak-anaknya, selain menjadi pribadi yang religius, juga menjadi pribadi yang ramah dan bersikap terbuka terhadap keberagaman.
Sikap dan cara yang dipilih Maman ini awalnya juga mengagetkan Suwarno (50), pengajar sejak 2002. Bagi Suwarno, yang mengaku pernah menganut pemahaman ”kanan”, sikap dan cara yang diambil Maman dinilainya melampaui apa yang ia pahami. Namun, semakin lama, Suwarno akhirnya bisa memahami cara dan sikap Maman yang tampak melalui berbagai kegiatan di Ponpes Al-Mizan. ”Di sini bukan liberal, tetapi plural,” kata Suwarno.
Pengalaman perjumpaan juga dialami Itrin Diana Mozez (17), pelajar asal Sumba, Nusa Tenggara Timur. Pengalamannya mengikuti pertukaran pelajar dari Komunitas SabangMerauke mengubah persepsinya terhadap pemeluk agama lain. Sebelumnya, Itrin menyimpan prasangka terhadap umat Islam. Sebagai pemeluk Kristen Protestan, prasangka itu tercipta karena dia terpapar berita rangkaian teror bom di gereja yang dilakukan kelompok teroris.
Baca juga: Dari Guru, Ruang Perjumpaan Keberagaman Itu Diinisiasi di Sekolah
”Saking takutnya, bahkan sebelum berangkat ke Jakarta untuk program pertukaran pelajar, aku berharap tidak dapat orangtua asuh orang Muslim. Aku berharap dapat dari agama lain,” ujar Itrin, Senin (20/6).
Saat mengikuti Program Seribu Anak Bangsa Merantau untuk Kembali atau disingkat SabangMerauke tahun 2019, usia Itrin masih 15 tahun. SabangMerauke adalah program pertukaran pelajar antardaerah yang bertujuan menanamkan toleransi, pendidikan, dan keindonesiaan. Dengan tinggal di keluarga angkat yang berbeda latar belakang agama, budaya, atau suku selama 2-3 minggu, para peserta yang semuanya adalah pelajar diharapkan dapat mengalami dan merasakan langsung toleransi.
SabangMerauke adalah komunitas yang dirintis Aichiro Suryo Prabowo, Ayu Kartika Dewi, dan Dyah Widiastuti. SabangMerauke dideklarasikan di Jakarta, Bogor, dan Tanjung Pinang pada 28 Oktober 2012.
Tembok prasangka
Itrin yang sekarang duduk di kelas XI SMAN 1 Waingapu merasa mendapat pelajaran toleransi saat hidup bersama pemeluk agama lain selama tiga minggu. Seluruh tembok prasangka yang dia bawa dari kampung halaman runtuh. Dia merasakan keluarga yang hangat dan saling menghargai perbedaan agama saat tinggal di rumah pasangan Indri-Abraham di Bintaro, Tangerang Selatan, Banten. Keluarga angkatnya itu beragama Islam.
”Dari situ pandanganku soal pemeluk Islam berubah. Oh, ternyata yang jahat dan suka mengebom gereja itu hanya oknum. Masih banyak orang Islam yang baik dan menghargai agama lain seperti keluarga angkatku,” tuturnya.
Itrin menceritakan, sejak awal tiba di Jakarta, orangtua angkatnya begitu peduli dan menghargainya. Itrin ditanya, untuk beribadah, apa saja hal-hal yang dia butuhkan. Orangtuanya juga mencarikan informasi gereja terdekat agar Itrin mudah beribadah selama mengikuti program tinggal bersama. Saat beribadah mingguan ke gereja, asisten rumah tangga (ART) keluarga angkatnya ikut menemani.
”Sejak lahir, saya paling jauh pergi ke rumah keluarga di Kupang, NTT. Di sana, suara azan tak selantang seperti di Jakarta. Ini pengalaman baru untuk saya, yang mengubah pandangan saya tentang agama lain,” ungkap Itrin.
Program Director SabangMerauke Wildan Mahendra menuturkan, sejak pandemi Covid-19, untuk sementara program pertukaran pelajar antardaerah dihentikan dan diganti dengan kegiatan daring. Saat ini, kegiatan yang paling dekat adalah Kemenkeu Satu Negeri yang merupakan kerja sama dengan Kementerian Keuangan. Program itu diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan empati dalam memahami keragaman dan toleransi di Indonesia. Kegiatan itu akan diikuti pelajar SMP atau sederajat yang berusia 13-15 tahun dari seluruh Indonesia. Menurut rencana, akan ada delapan kali pertemuan secara daring pada 24 Juni-8 Juli 2022.
Gerakan akar rumput lain yang muncul untuk menciptakan ruang perjumpaan yang menyatukan perbedaan berasal dari Komunitas Generasi Literat. Gerakan ini diinisiasi oleh Milastri Muzakkar (35), perempuan aktivis yang sejak 2015 aktif dalam gerakan literasi. Awalnya, gerakan literasi itu dimulai dari komunitas Perpustakaan Taman di Gorontalo yang berkembang menjadi komunitas sukarelawan Generasi Literat.
Milastri menyebutkan, sejak 2017, Generasi Literat hadir dan menciptakan ruang perjumpaan untuk meningkatkan toleransi dan kebinekaan di berbagai elemen masyarakat. Sasaran program ini adalah narapidana anak di lembaga pembinaan khusus anak (LPKA), remaja dan anak berkebutuhan khusus, komunitas pelajar lintas iman dan kepercayaan, orangtua dan guru, serta media untuk kampanye literasi secara daring di media sosial.
”Sekarang, jumlah relawan di Generasi Literat mencapai 600 orang di seluruh Indonesia. Mereka bertugas meningkatkan kapasitas (capacity building) untuk meningkatkan toleransi dan kebinekaan,” kata Milastri.
Dia menyebutkan, sebelum dipertemukan dalam satu forum literasi, banyak peserta yang membawa prasangkanya masing-masing. Misalnya, saat dia mengadakan acara untuk meningkatkan empati dan perlindungan HAM terhadap kelompok transpuan.
Saat itu, dia mengajukan pertanyaan kepada peserta. Ternyata, banyak yang merasa jijik, takut, hingga merasa bahwa transpuan layak diacungi pistol. Prasangka itu muncul karena mereka tak pernah berinteraksi langsung dengan transpuan. Setelah diberi ruang bertemu, pelan-pelan bangunan prasangka itu roboh. Muncul empati sehingga mereka mau menghargai kelompok yang berbeda.
”Dari ruang perjumpaan, perkenalan, mereka belajar menghargai perbedaan. Tidak perlu suka dengan hal itu, tetapi mereka harus menghargai sesuatu yang berbeda. Contohnya, ya, kelompok minoritas transpuan tadi,” paparnya.
Cara membangun empati itu salah satunya adalah dengan mempertemukan mereka yang berbeda-beda latar belakang dalam satu forum, membuat mereka menjadi pendengar aktif, dan menyelesaikan konflik yang muncul saat perbedaan itu disatukan.
Akhir Juni ini, Milastri akan menggelar rangkaian kelas ”literasi damai” di Aceh. Program ini menyasar generasi Z atau pelajar setingkat SMP, SMA, dan mahasiswa. Program berisi materi peningkatan kapasitas selama empat hari di kelas. Tema besar yang diusung adalah semangat refleksi 11 tahun perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Indonesia di Helsinki, Finlandia.
Menurut Milastri, acara literasi damai itu akan menjadi ruang perjumpaan bagi pelajar dari berbagai latar belakang agama, suku, dan jender. Melalui ruang perjumpaan itu, diharapkan generasi Z dapat mengenal berbagai perbedaan yang ada di masyarakat. Setelah mengenal perbedaan itu, diharapkan tumbuh rasa empati. Empati membuat orang saling menghargai sehingga muncul toleransi.
”Cara membangun empati itu salah satunya adalah dengan mempertemukan mereka yang berbeda-beda latar belakang dalam satu forum, membuat mereka menjadi pendengar aktif, dan menyelesaikan konflik yang muncul saat perbedaan itu disatukan,” ucap Milastri.
Dialog lintas iman di akar rumput juga dilakukan lembaga swadaya masyarakat Percik yang berpusat di Salatiga, Jawa Tengah. Bersama dengan Pondok Pesantren Edi Mancoro dan Sinode GKJ, dibangun sarasehan lintas iman bertajuk Sobat. Menurut Ketua Yayasan Percik Pradjarta Dirdjosanjoto, Sobat adalah sebuah gerakan yang cair dan saat ini sudah memiliki 32 simpul yang tersebar di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta.
Yang dimaksud dengan cair adalah baik anggota maupun tema yang dibicarakan bersifat dinamis, tergantung dari situasi atau isu yang berkembang di masyarakat. Belum lama ini, gerakan Sobat melakukan pertemuan di Wonosobo, Jawa Tengah, yang membahas pandemi Covid-19.
”Sobat itu sebetulnya pertemuan yang berprinsip sinten remen. Jadi merdeka penuh. Pengikutnya di awal hanya umat Islam dan Kristen, sekarang sudah beragam,” ujar Pradjarta.
Menurut Pradjarta, pada prinsipnya, yang dilakukan Sobat tidak jauh dari persoalan bersama dan mencari penyelesaian bersama pada aras lokal. Sebab, pada aras lokal, dinamika kehidupan itu nyata dan dekat dengan kebutuhan peserta. Dalam perjalanan Sobat selama 20 tahun ini, dibuat segmentasi gerakan agar lebih relevan dengan peserta, seperti gerakan Kata Hawa, yakni gerakan yang mewadahi perempuan lintas iman. Untuk orang muda, dibuat wadah Sobat bagi kaum muda untuk mewadahi peserta muda.
Mencari persamaan
Upaya akar rumput membuka ruang perjumpaan lintas identitas merupakan harapan di tengah kasus intoleran, termasuk di kalangan orang muda. Riset Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang dirilis Maret 2021 menyebutkan, 30,16 persen mahasiswa Indonesia memiliki sikap toleransi beragama yang rendah atau intoleran.
Untuk menegaskan persamaan, sebenarnya jalannya adalah dengan berinteraksi. Orang lebih banyak mengenal titik persamaan dengan yang lain kalau terjadi ruang-ruang perjumpaan.
Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Yudi Latif, berpandangan, interaksi di antara mereka yang berbeda, termasuk perbedaan keyakinan, semakin diperlukan untuk mengikis kecurigaan. Terlebih, saat ini telah terjadi pengirisan ruang publik menjadi enklave-enklave, seperti permukiman eksklusif, sekolah eksklusif, dan grup Whatsapp yang eksklusif. Dalam situasi demikian, upaya membangun ruang perjumpaan secara langsung menjadi semakin dibutuhkan.
”Untuk menegaskan persamaan, sebenarnya jalannya adalah dengan berinteraksi. Orang lebih banyak mengenal titik persamaan dengan yang lain kalau terjadi ruang-ruang perjumpaan,” ucap Yudi.
Sebenarnya, lanjutnya, empati terhadap yang berbeda juga dapat dibangun melalui literasi. Namun, karena tingkat literasi di masyarakat masih rendah sementara budaya lisan kuat, perjumpaan menjadi penting untuk mengompensasi rendahnya literasi itu.
Yang dikhawatirkan, kata Yudi, adalah ketika literasi rendah, sementara ruang perjumpaan antar-keberagaman juga rendah. Dan, itulah yang kini menjadi tantangan di Indonesia karena tingkat literasi tidak kunjung membaik, sementara ruang perjumpaan menyempit karena orang lebih banyak menghabiskan waktu di jaring maya.
”Media sosial itu mengarah pada impersonalitas karena tidak bisa melihat gestur orang, tidak tahu mimik orang. Apakah orang merasa nyaman atau tidak. Maka, media sosial bisa sangat kasar karena dia berhadapan dengan mesin. Orang berhadapan dengan budaya impersonal,” ungkapnya.
Dalam situasi dan kondisi tersebut, perjumpaan secara riil sebagaimana dialami Muadz dan Itrin menjadi sangat penting. Dengan berjumpa secara langsung, masing-masing bisa belajar untuk berempati kepada sesama yang berbeda.