Dari Guru, Ruang Perjumpaan Keberagaman Itu Diinisiasi di Sekolah
Dialog keberagaman mampu mencegah prasangka negatif terhadap perbedaan. Untuk menumbuhkan toleransi dalam diri siswa, guru perlu modalitas akan nilai-nilai keberagaman terlebih dulu.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F01%2F1a6e900d-3a50-4cb1-8071-445c84bc1a70_jpg.jpg)
Atraksi liong dan tanjidor ditampilkan di jalur pedestrian Taman Dukuh Atas, Jakarta, untuk memeriahkan tahun baru Imlek, Kamis (23/1/2020). Acara yang digelar di ruang publik tersebut dapat dinikmati warga Jakarta sebagai salah satu bentuk sikap saling menghargai keberagaman yang dimiliki bangsa Indonesia.
Perjumpaan dengan kelompok beragam mampu menepis stereotip dan prasangka. Dialog keberagaman mampu mencegah prasangka negatif terhadap perbedaan. Agar menumbuhkan toleransi dalam diri siswa, modal akan nilai-nilai keberagaman perlu dimiliki pengajar untuk selanjutnya ditanamkan pada anak didiknya.
Dengan kata lain, sekolah merupakan jembatan atas ruang-ruang perjumpaan dari berbagai latar belakang tradisi atau budaya. Dari gurulah, hal itu mulai dilakukan dan ditanamkan.
Hampir tiga minggu pada Desember 2020, Arif Jamali, guru Matematika SMA Negeri 5 Yogyakarta, mengikuti lokakarya daring ”Mengelola dan Memaknai Perbedaan” yang diselenggarkan oleh Institut Dialog Antar Iman di Indonesia (Institut DIAN/Interfidei) dengan Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Daerah Istimewa Yogyakarta. Tiga minggu yang membekas sepanjang hidup karena mengajarkan betapa pentingnya tidak memakai ”kacamata” pribadi dalam memandang perbedaan.
Indonesia pun tersusun dari beragam budaya. Siswa perlu selalu dikenalkan atau diajak berjumpa dengan keberagaman. (Delthawati Isti Ratnaningtyas)
Dalam sesi Udar Prasangka, panitia menghadirkan pemuka agama dari berbagai keyakinan. Dia dan guru peserta dari 15 satuan pendidikan di Daerah Istimewa Yogyakarta lainnya diperbolehkan bertanya apa pun yang selama ini jadi prasangka, bahkan hal paling sensitif sekalipun. Misalnya, kristenisasi.
”Kami tidak (diperkenankan) mendebat jawaban-jawaban yang dilontarkan. Kami diajari menggunakan ’kacamata’ mereka agar paham,” ujarnya, akhir Desember 2020.

Mural bertema toleransi beragama tergambar di dinding sebuah rumah di kawasan Meruyung, Depok, Jawa Barat, Sabtu (12/9/2020).
Meski SMA Negeri 5 Yogyakarta kini punya wakil kepala sekolah bidang kurikulum dan afeksi, Arif mengakui cara pandang kebanyakan warga terhadap toleransi masih ada yang kurang tepat. Sebagai contoh, toleransi disamakan dengan memutar lagu bernuasa Muslim di gereja. Padahal, cakupan definisi toleransi lebih luas dari itu.
Lokakarya itu juga menghadirkan sesi kunjungan virtual ke satuan pendidikan lain yang guru atau kepala sekolahnya jadi peserta. Arif berjumpa dengan keberagaman sekolah yang juga sama-sama belajar mengelola ruang dialog tentang materi toleransi.
Dari hasil mengikuti lokakarya, sebagai guru Matematika, Arif berusaha mengajar siswa lebih interaktif. Peserta didiknya diminta tidak malu menyampaikan kesulitan belajar hingga beropini. Dia juga meminta peserta didiknya membuat jurnal berisi catatan respons perbuatan terhadap peristiwa harian. Setiap bulan dikumpulkan ke guru sebagai bahan dialog.
Delthawati Isti Ratnaningtyas, guru Fisika SMA Piri 1 Yogyakarta, peserta lokakarya lainnya, pun memiliki pengalaman membekas. Pada hari pertama lokakarya, misalnya, peserta diberikan tes wawasan mengelola keberagaman yang hasilnya jadi bahan diskusi.
”Setiap peserta dalam satu kelompok diminta berbagi pengalaman pribadi memandang keberagaman. Pengalaman ini bisa dikatakan perjumpaan menghadapi perbedaan pola pikir. Akan tetapi, sesi yang paling menarik adalah Udar Prasangka karena memang saya diketemukan dengan berbagai pemuka agama,” katanya.
Baca juga : Siswa Non-Muslim di SMK Negeri 2 Padang Mulai Lepas Jilbab
Menurut Delthawati, SMA Piri 1 Yogyakarta telah berusaha menghadirkan perjumpaan terhadap perbedaan tradisi. Sesama guru ataupun siswa diminta saling menghargai latar belakang tradisi. Misalnya, guru beragama Islam diperbolehkan tidak memakai kerudung, guru Bahasa Jepang berlatar belakang agama Kristen, dan siswa non-Muslim difasilitasi pendidikan agama sesuai keyakinannya.

Setelah mengikuti lokakarya, dia mengaku menjadi lebih terbuka mengenai toleransi terhadap keberagaman. Sikap baru ini dia terapkan saat mengajar. Dia menjadi berusaha menyelipkan produk budaya Nusantara ke dalam mata pelajaran Fisika agar anak mengenal dulu bahwa keragaman itu nyata. Misalnya, materi gerak parabola pada tradisi lompat batu.
”Setiap agama punya tradisi yang panjang. Indonesia pun tersusun dari beragam budaya. Siswa perlu selalu dikenalkan atau diajak berjumpa dengan keberagaman,” imbuhnya.
Di luar lokakarya, seperti yang Institut DIAN/Interfidei lakukan, berkembang pula program bersifat moderasi beragama menyasar kepada guru. Meski tujuan utamanya mencegah radikalisme, program itu membuka mata mereka pentingnya jadi pendidik yang punya nilai toleransi terhadap keberagaman. Sebutlah Nining Ratnaningsih, guru SMA Negeri 6 Tangerang Selatan, di Banten, yang jadi salah satu peserta pendampingan program ”Sekolah Damai” dari Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia dan The Asia Foundation pada 2019.
Baca juga : Kemendikbud Sesalkan Praktik Intoleransi di SMKN 2 Padang
Nining yang juga pembina Rohani Islam (Rohis) mulanya khawatir ikut program itu. Dia berprasangka, Rohis sudah disusupi radikalisme sehingga siswa terpapar. Namun, kecurigaannya segera sirna karena program ”Sekolah Damai” membuatnya sadar ada cara pandangnya yang kurang pas.
”Ketika saya mengajar agama Islam, saya mesti punya paham inklusif, Islam yang terbuka, dan toleran terhadap keyakinan orang lain. Siswa diajak interaktif dan berdialog mengenai keragaman. Kalau ada isu jihad agama tertentu, saya jelaskan bahwa jihad yang benar adalah melawan kebodohan,” katanya.
Nining menceritakan, saat ini SMA Negeri 6 Tangerang Selatan punya budaya religius. Budaya ini terdiri dari sembilan sikap yang mesti dimiliki guru dan siswa, antara lain, antiradikalisme, silahturahmi, dan saling menghargai. Kegiatan rohani kini diperluas menyasar ke berbagai agama yang dipunyai siswa.

Selain memperindah dinding kota, mural bisa menjadi media untuk menebarkan semangat keindonesiaan dan memperkokoh persatuan dalam keberagaman, seperti yang ditemui di kawasan Pejompongan, Jakarta, Senin (3/2/2020). Merawat keindonesiaan berarti menghargai keberagaman, perbedaan, toleransi, dan juga menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi.
Berawal konflik
Cerita lainnya dari Zeth Sinay, guru SMA Negeri Siwalima Ambon di Maluku. Pengalaman pahit hidup di tengah konflik sosial 1999-2004 membuat dia sadar betapa pentingnya perjumpaan dan dialog keberagaman tercipta di sekolah. SMA Negeri Siwalima pun berdiri karena ingin menjadi sekolah yang mewadahi rekonsiliasi konflik.
SMA Negeri Siwalima mengakomodasi siswa dari seluruh Maluku, punya prestasi, tetapi punya keterbatasan ekonomi. Seluruh siswa mesti tinggal di asrama.
Penentuan kamar mereka diatur agar tidak ada homogen. Misalnya, satu kamar diisi oleh siswa dari beda agama, asal sekolah, dan kabupaten/kota.
Ketentuan asrama dan sekolah melarang senioritas dan yunioritas di kalangan guru ataupun siswa. Hal tersebut bertujuan menciptakan pemahaman terhadap keberagaman.
Baca juga : Bongkar Persoalan Intoleransi di Sekolah
Siswa berbeda latar belakang tradisi dan agama mesti saling menghargai. Sebagai contoh, saat perayaan peneguhan katekisasi siswa beragama Kristen, siswa Muslim boleh menjadi peserta marching band mengiringi prosesi peneguhan hingga ke gereja.
Tahun 2011 saat kembali terjadi konflik sosial. Trauma kenangan pahit mencuat kembali pada diri Sinay, guru, dan orangtua. ”Anak-anak diperbolehkan pulang ke rumah masing-masing. Namun, ada seorang anak beragama Islam malah menangis tak mau pulang karena takut guru dan teman-temannya non-Muslim yang bertahan justru jadi sasaran konflik,” kenang Sinay, Senin (25/1/2021), dihubungi dari Jakarta.
Kepala SD Negeri 2 Masohi, Maluku, Hermina Hursepuny memandang pentingnya menanamkan nilai-nilai keberagaman sejak anak usia dini. Di sekolah yang dia pimpin, sudah ada budaya dialog rutin. Setiap anak punya hak menceritakan refleksi kehidupan sehari-hari di depan kelas lalu anak lainnya memberi tanggapan.
Syaratnya, siswa bersangkutan tidak boleh menyampaikan pandangan menghakimi. ”Budaya seperti itu sekaligus melatih anak nilai-nilai kejujuran dan ketulusan,” ujar Hermina.
Di luar itu, program pendidikan keberagaman berwujud berbuka puasa bersama siswa Muslim dan non-Muslim. Siswa biasanya membawa bekal dari rumah masing-masing. Hal senada juga dilakukan saat peringatan hari raya Natal yang memungkinkan semua siswa lintas agama makan bersama.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F02%2F53102e51-6ebd-4c89-bed0-e3f85b2a3df9_jpg.jpg)
Pertunjukan liong membuka festival Cap Go Meh 2571 yang diselenggarakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di kawasan pecinan Pancoran, Glodok, Jakarta Barat, Sabtu (8/2/2020). Festival yang menampilkan berbagai kesenian tersebut memberikan semangat keberagaman dalam masyarakat yang turut memeriahkan Cap Go Meh atau hari ke-15 dalam perayaan tahun baru Imlek.
Kesadaran pribadi
Guru Geografi SMA Islam Al-Izhar Pondok Labu, Jakarta, Komar, menyebut kesadaran bahwa Indonesia tersusun atas keberagaman budaya selalu ditanamkan kepada dirinya dan peserta didik. ”Tanpa visi keragaman di sekolah tidak mungkin Indonesia bisa bertahan sebagai bangsa besar,” katanya.
Untuk mencegah intoleransi dan menumbuhkan empati terhadap perbedaan, Komar membuat ”Permainan Mayoritas dan Minoritas” pada materi Keragaman Budaya Nusantara, pelajaran Geografi kelas XI. Pembelajaran ini diawali dengan menyaksikan video ”Atas Nama Percaya” yang mengisahkan para penganut kepercayaan lokal Merapu di Sumba sering distigma negatif. Mereka kerap diperlakukan tidak adil oleh negara, bahkan dipersekusi di tanah leluhurnya.
Setelah itu, setiap siswa menerima satu lembaran berisi kondisi kelompok agama, baik mayoritas maupun minoritas. Setiap anak harus membaca cermat dan menghayati peran. Mereka turun ke lapangan, berada sejajar di tengah lapangan menghadap satu pohon atau tiang yang sudah ditempel kertas bertuliskan ”Keadilan”. Kemudian, anak diminta menyampaikan refleksi atas permainan peran tersebut.
”Pandemi Covid-19 bukan penghalang menghadirkan ruang-ruang perjumpaan tentang keberagaman. Saya memodifikasi permainan itu dengan media daring. Saya juga merambah ke produk keragaman budaya lainnya,” tutur Komar.

Siswa menggunakan pakaian adat Bali saat parade Culture Day di Sekolah Pembangunan Jaya Sidoarjo, Jawa Timur, Sabtu (15/2/2020). Selain untuk belajar menghargai keberagaman, kegiatan yang diisi dengan parade pakaian adat Nusantara, pertunjukan barongsai, serta pentas seni ini dilakukan untuk menumbuhkan semangat cinta budaya Indonesia.
Aktor penting
Direktur Eksekutif Institut DIAN/Interfidei Elga J Sarapung menjelaskan, lokakarya ”Mengelola dan Memaknai Perbedaan” mulai diadakan sejak 2004. Meski lokakarya dirasa terlambat dilakukan, dia menilai guru adalah aktor penting untuk memberikan contoh menghargai perbedaan dan nilai keindonesiaan.
Lokakarya biasanya diawali dengan memberikan kesempatan peserta bercerita pengalaman hidup mereka selama bergaul dan berinteraksi dengan orang yang berbeda. Setelah itu, panitia mengajak mereka menceritakan pelajaran yang dipetik hingga cara pandang terhadap keberagaman.
Sejak 2018, Elga mengemukakan, pesertanya berasal dari semua guru bidang mata pelajaran. Ini disebabkan semakin berkembangnya gerakan-gerakan intoleran yang menyasar ke sekolah. Kondisi itu bukan hanya tanggung jawab guru pendidikan agama ataupun pendidikan pancasila dan kewarganegaraan, melainkan semua mata pelajaran, kepala sekolah, dan yayasan.
”Kebanyakan sekolah masih miskin pemahaman tentang keberagaman dalam kehidupan bersama. Mereka sebatas menjalankan tugas sesuai sistem yang sudah ada. Itulah yang membuat guru menjadi sempit pengalaman perjumpaan terhadap perbedaan,” kata Elga.
Baca juga : Intoleransi Membayangi Dunia Pendidikan
Riset Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, tahun 2017 menunjukkan, 51,1 persen siswa memiliki pandangan yang kurang toleran. Sebanyak 50,1 persen di antaranya mengaku memperoleh pengetahuan keagamaan dari media sosial. Buku menjadi sumber rujukan pengetahuan keagamaan kedua terbanyak. Namun, buku teks Pendidikan Agama Islam di sekolah juga kurang kuat menekankan penghargaan kepada perbedaan dan dialog keberagaman.
Setahun kemudian, PPIM UIN Syarif Hidayatullah kembali mengeluarkan laporan survei bertemakan ”Pelita yang Meredup: Potret Keberagaman Guru di Indonesia (2018)”. Salah satu temuan menarik, misalnya, sebanyak 21 persen guru yang disurvei tidak setuju bahwa tetangga yang berbeda agama boleh mengadakan acara keagamaan. Lalu, 56 persen guru tidak setuju bahwa non-Muslim boleh mendirikan sekolah berbasis agama di sekitar mereka. Sampel survei adalah 2.237 guru Muslim di semua jenjang (Kompas, 26/12/2020).
Guru Besar Politik Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Noorhaidi Hasan memandang, generasi muda mudah gamang dan khawatir terhadap masa depan. Akibatnya, mereka gampang terpapar narasi intoleran. Fondasi keberagaman mesti selalu ditanamkan oleh dunia pendidikan.
Menurut dia, tantangan kebinekaan di Indonesia pascareformasi bukan hal sederhana. Hal ini salah satunya terlihat dari masih tingginya tingkat intoleransi di masyarakat umum dan guru.
”Kami pernah riset tahun 2014 yang hasilnya tingkat intoleransi mencapai lebih dari 80 persen. Ini ancaman nyata, sementara saat bersamaan Indonesia menghadapi ancaman radikalisme, kemiskinan, dan masalah sosial lainnya. Dunia pendidikan punya tanggung jawab besar ikut mengatasi,” imbuhnya.