JAKARTA, KOMPAS – Upaya untuk membuka dan memperluas ruang-ruang perjumpaan antarkelompok yang berbeda latar belakang, keyakinan, dan agama, serta bentuk identitas lainnya, terus digalang oleh masyarakat sipil. Kelompok generasi muda diyakini bisa menjadi lokomotif dalam persemaian benih-benih pemahaman akan kebinekaan, mengikis intoleransi, dan mengeratkan kohesi sosial.
Tergerak oleh keyakinan tersebut, sebuah tim kecil yang terdiri atas gabungan aktivis Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Forum Bhinneka Nusantara, Sekolah Damai Indonesia, Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (SEJUK), Demokrasi.id dan Narasi Damai Nusantara, mengadakan program “Peace Train” (kereta perdamaian) yang digelar di Malang, Jawa Timur, sejak 24 Agustus 2018 hingga Senin (27/8/2018) ini.
Khoirul Anam, panitia dari Narasi Damai Nusantara, mengatakan, dalam program ini sebanyak 50 pemuda dari berbagai daerah mengunjungi tempat-tempat ibadah dan pusat kebudayaan di Malang. Tujuannya mengenalkan mereka pada keragaman agama, keyakinan, dan budaya di Tanah Air. Program tersebut dinamai “Peace Train” karena peserta yang semua berusia 18-30 tahun itu berangkat dari beberapa titik menggunakan kereta api menuju ke lokasi.
“Kami ingin membuka ruang-ruang perjumpaan bagi generasi muda, sehingga mereka bisa belajar langsung dari tangan pertama tentang agama, keyakinan, dan budaya yang berbeda. Ruang-ruang perjumpaan itu saat ini yang sangat dibutuhkan oleh bangsa kita untuk mengatasi kian maraknya intoleransi, dan kekerasan atas nama agama,” kata Anam, saat dihubungi dari Jakarta, Minggu.
“Peace Train” kali ini merupakan program keenam yang digelar oleh panitia gabungan dari berbagai masyarakat sipil tersebut. Dari setiap program, panitia menyasar kalangan muda yang dinilai potensial menyebarkan benih-benih toleransi kepada orang lain atau kelompok sebaya. Maraknya intoleransi dan radikalisme di kalangan anak muda menjadi salah satu pertimbangan program ini menyasar mereka.
“Mereka ini ingin bertemu dengan orang dari latar belakang agama dan budaya yang berbeda, tetapi mereka tidak punya akses untuk melakukan itu, sedangkan kami memilikinya. Kami berusaha memfasilitasi ruang perjumpaan itu. Di luar sana, kami meyakini masih banyak anak-anak muda yang ingin tahu soal budaya dan agama yang berbeda-beda. Mereka ini perlu difasilitasi dengan lebih banyak ruang-ruang perjumpaan serupa dengan kelompok yang berbeda,” katanya.
Dalam program kali ini, peserta berkunjung ke beberapa tempat ibadah serta komunitas agama dan kepercayaan, antara lain Vihara Dhammadipa Arama, Gereja Katolik Paroki St. Albertus de Trapani, GKJW Jemaat Sukun, Ponpes Al Hidayah, Pura Luhur Giri Arjuno, Klenteng Kwan Im Tong, dan Sanggar Busana Sapta Darma Batu. Di tempat kunjungan, peserta berdiskusi dengan tokoh-tokoh agama atau pemeluk keyakinan yang berbeda. Dari pertemuan itu diharapkan bisa tumbuh pemahaman, pengertian, dan penghargaan satu sama lain.
Prem Singh (19), peserta dari Universitas Tarumanegara, Jakarta, mengatakan, dirinya ingin mengenal lebih dalam teman-temannya dari latar belakang, agama, dan keyakinan yang berbeda. Hal senada diungkapkan oleh Retheo Siswadi (20), yang selama ini tinggal dan menimba ilmu di Amerika Serikat.
“Saya memanfaatkan waktu libur untuk ikut kegiatan ini supaya lebih mengenal Indonesia. Di Amerika, saya tidak bisa banyak mengenal keragaman Indonesia, sebab orang-orang di sana lebih banyak membicarakan tentang Bali ketika ditanyai soal Indonesia,” kata Retheo.
Ada harapan
Peneliti Wahid Foundation Alamsyah M Djafar mengatakan, masih ada harapan akan terhadap sikap toleran di Indonesia. Intoleransi dan radikalisme memang muncul sebagai ancaman dalam kehidupan berbangsa, tetapi bukan berarti sikap toleran itu akan hilang. Hasil kajian dari Wahid Foundation, tahun 2017, menunjukkan munculnya paktik-praktik baik yang ditumbuhkan secara luas oleh masyarakat. Bentuk praktik-praktik baik itu antara lain sikap toleran, promosi keragaman, kebijakan nondiskriminasi, advokasi keyakinan, serta pencegahan konflik.
“Praktik toleransi yang banyak diinisiasi oleh warga menjadi salah satu indikator sebagian besar bangsa Indonesia masih meyakini perbedaan latar belakang bukan masalah. Banyaknya kearifan lokal Indonesia bisa menjadi modal sosial untuk tumbuh suburnya praktik toleransi,” katanya.
Upaya memperluas ruang-ruang perjumpaan dengan golongan dari berbagai latar belakang yang digagas oleh kelompok masyarakat sipil pun dipandang sebagai bentuk praktik baik. Wahid Foundation mencatat, aktor non-negara, yakni warga lintas agama, merupakan kelompok yang paling banyak melakukan praktik baik dalam kehidupan beragama.
“Praktik-praktik baik oleh masyarakat ini bisa menjadi simpul perlawanan terhadap intoleransi. Intoleransi sekecil apapun harus diwaspadai, sebab kerap kali intoleransi menjadi benih dari radikalisme, bahkan terorisme,” kata Alamsyah.