Pemerintah Inginkan Pembahasan Terbatas Hanya di 14 Isu Krusial
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyebutkan, pembahasan terhadap RKUHP hanya pada beberapa ”pending issue” yang selama ini sebenarnya sudah disosialisasikan.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menegaskan, pembahasan ulang sejumlah pasal di Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana hanya terbatas pada beberapa isu yang tertunda dalam proses pembahasan tahun 2019. Pemerintah dan DPR hanya fokus pada 14 isu krusial yang dipersoalkan sejumlah kalangan saat itu.
Namun, sebaliknya, Aliansi Nasional Reformasi KUHP masih menengarai sejumlah pasal bermasalah di luar 14 isu krusial tersebut. Sejumlah pasal tersebut ditengarai berbahaya bagi demokrasi, terutama terkait dengan kebebasan berpendapat dan berekspresi. Apalagi, hingga saat ini pemerintah belum bersedia membuka draf terakhir RKUHP setelah sosialisasi tahun 2021.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, ditemui seusai Rapat Kerja Nasional (Rakernas) II Tahun 2022 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di Sekolah Partai, Jakarta, Selasa (21/6/2022), mengatakan, berdasarkan informasi yang ia terima, pimpinan DPR sudah memberi tahu kepada Presiden Joko Widodo bahwa RKUHP akan dibawa ke rapat paripuna. Namun, bukan berarti RKUHP langsung disahkan, melainkan karena status RUU tersebut adalah carry over dari DPR periode sebelumnya.
”Itu, kan, tinggal carry over. Nanti dibahas lagi (RKUHP), tidak langsung ketok di paripurna,” ujar Yasonna.
Pembahasan ulang itu, menurut Yasonna, hanya pada beberapa pending issue yang selama ini sebenarnya sudah disosialisasikan. Namun, ia tak menjelaskan detail beberapa isu yang tertunda tersebut. ”Iya (bahas ulang), hanya beberapa isu saja itu,” katanya.
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia juga menggelar aksi untuk menolak sejumlah pasal yang mengancam kebebasan berekspresi di RKUHP. Koordinator Bidang Sosial Politik BEM UI, Melky Sedek Huang, saat dihubungi mengungkapkan, pihaknya mendesak pemerintah untuk segera membuka draf RKUHP versi mutakhir.
Pihaknya memberi waktu 7 x 24 jam bagi pemerintah untuk melakukan hal itu. Apabila hal itu tak dipenuhi, para mahasiswa berjanji akan berunjuk rasa dengan massa yang lebih luas lagi. Konsolidasi di berbagai kalangan sudah dilakukan sejak beberapa pekan lalu dan akan terus digalang hingga tujuan yang diperjuangkan mereka tercapai.
Selain membuka draf, Melky juga meminta pemerintah dan DPR untuk menghapus pasal-pasal bermasalah yang ada di RKUHP. Di antaranya Pasal 273 RKUHP yang mengatur ancaman pidana bagi setiap orang yang tanpa pemberitahuan lebih dulu kepada aparat yang berwenang melakukan pawai, unjuk rasa, demonstrasi di tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, dan huru-hara.
Ada pula pasal-pasal lain, seperti penghinaan terhadap presiden/wakil presiden, penghinaan terhadap kekuasaan yang sah dan lembaga-lembaga negara, dan lainnya.
Secara terpisah, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Nasir Djamil, berharap pemerintah dan DPR kembali membuka pembahasan di luar 14 isu yang diperbarui, termasuk terkait dengan pasal tentang penghinaan. Sebab, pasal tersebut dinilai masih kontroversi dan mengundang reaksi kontra dari publik. Masyarakat sipil perlu diberikan ruang lagi untuk memberikan masukan sebagai bentuk partisipasi dalam pembentukan UU.
”Saya berharap agar pemerintah dan DPR membuka kembali pintu untuk masyarakat sipil memberikan masukan-masukan terkait dengan perubahan KUHP. Makin banyak yang memberikan masukan, maka potensi untuk menjadi lebih baik jadi lebih besar. Jadi, bukan kita tidak menghargai kerja-kerja DPR periode 2014-2019, tetapi untuk lebih mematangkan KUHP,” ujarnya.
Penolakan yang masih muncul di masyarakat, menurut Nasir, menunjukkan ada kekhawatiran publik. Situasi ini dikhawatirkan bisa mengancam kebebasan berekspresi dan kebebasan masyarakat sipil yang berdampak pada kualitas demokrasi di Indonesia.
Menurut dia, pasal tentang penghinaan yang berujung pada pidana berpotensi menjadi pasal karet. Meskipun sudah diubah menjadi delik aduan, pasal tersebut semestinya hilang karena sudah pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
”Pasal ini sebenarnya menguji kenegarawanan seorang Presiden. Tetapi, seperti ’main judi’ karena sangat bergantung dengan sikap Presiden. Bahkan, jika sudah melapor ke aparat penegak hukum yang merupakan bawahan Presiden, independensinya bisa dipertanyakan,” ujar Nasir.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhammad Isnur mengungkapkan, banyak pasal yang berbahaya terhadap demokrasi dan perkembangannya belakangan ini. Pembentuk undang-undang seharusnya mengingat bagaimana masyarakat sipil menguji materi pasal penghinaan presiden/wapres dan dikabulkan oleh MK, tetapi kini dihidupkan kembali di dalam RKUHP. Demikian pula dengan pasal-pasal penodaan agama yang dinilai sangat mudah mengkriminalkan warga negara.
”Pasal yang kita tolak dan tidak kita sukai serta berbahaya bagi masyarakat muncul,” katanya.
Pada dasarnya, Aliansi sepakat dengan tujuan diperbaharuinya KUHP, yakni agar diperoleh hukum pidana nasional yang bukan merupakan warisan kolonial. Namun, substansi yang diatur di dalam RKUHP tersebut harus dipastikan sesuai dengan tujuan tersebut sehingga RKUHP menjawab kebutuhan masyarakat.