Korupsi yang Rugikan Rakyat dan Suara Lirih dari Keerom, Papua...
Korupsi yang tidak ditindak di Kabupaten Keerom bisa menjadi api dalam sekam ketidakpuasan masyarakat.
Kabupaten Keerom adalah kabupaten yang letaknya paling timur dan utara di Provinsi Papua, alias berbatasan dengan Papua Nugini. Dengan jumlah warga 64.136 jiwa sesuai data Badan Pusat Statistik atau BPS per 2020, kabupaten ini jauh dari keriuhan dan perhatian pemerintah.
Adanya dugaan korupsi, secara langsung merugikan rakyat Keerom. Diperlukan perhatian serius pemerintah untuk melaksanakan penegakan hukum. Tujuannya, agar agenda-agenda pembangunan bisa benar-benar terlaksana. Ketika tidak ada penegakan hukum, masyarakat Keerom jadi bertanya-tanya tentang keseriusan pemerintah.
Turun tangannya pemerintah juga bisa mencegah konflik, mengingat banyak ketidakpuasan masyarakat bisa berbeda-beda bentuk ekspresinya. Tentunya pihak yang punya kepentingan tidak akan tinggal diam. Sengkarut korupsi ini tidak hanya terjadi di satu tempat, tetapi menjadi pola yang berulang di daerah-daerah lain.
Laporan BPK
Sejatinya, Badan Pemeriksa Keuangan telah dengan jelas mencatat berbagai penyelewengan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemda Kabupaten Keerom tahun anggaran 2019. Salah satunya, kelebihan pembayaran sebesar Rp 6,41 milyar terkait pembangunan dua ruas jalan yaitu jalan Tepanma-Towe Hitam senilai Rp 4 milyar. Pengawas pekerjaan telah menyatakan bahwa jalan hanya dibangun 70,12 persen. Namun, pembayaran telah dilakukan 80 persen. Selisihnya yaitu 9,88 persen bernilai Rp 4 milyar. Yang kedua, Jalan Ruas Transenggi-Yamas-Molof. Hasil kerja fisik dinilai 10,85 persen lebih rendah daripada yang dibayarkan sehingga menimbulkan kelebihan bayar sekitar Rp 2,337 milyar.
Baca Juga: Korupsi Dinilai Jadi Akar Konflik Papua
Ketua Umum Dewan Adat Keerom Servasius Servo Tuamis mempertanyakan jalan ini dalam pernyataan sikapnya 29 Maret 2022 lalu. Ia juga mempertanyakan tentang ada tidaknya insentif tenaga kerja di Keerom. Pasalnya, para tenaga kerja itu kemudian meninggalkan posnya. “Kami dengar ada refocusing anggaran untuk kesehatan dan pemulihan ekonomi, tapi kenapa nakes (tenaga kesehatan) belum dibayar,” katanya.
“Kami dengar ada refocusing anggaran untuk kesehatan dan pemulihan ekonomi, tapi kenapa nakes (tenaga kesehatan) belum dibayar”
Rohaniawan Pater John Jonga yang mengadukan dugaan korupsi ini ke Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko agar menyoroti tindakan pemda Keerom yang membayar pembangunan ruas jalan, tanpa jaminan hasil. Hal ini dinilainya bersifat sistematis dan merugikan masyarakat karena tidak saja jalan tidak selesai. Namun, ada juga uang yang dikeluarkan secara tidak jelas.
Yusuf Hakim Gumilang, staf ahli madya Deputi V KSP yang menerima laporan tersebut mengatakan, pihaknya akan berkoordinasi dengan pejabat terkait. Adapun Theo Litaay, staf ahli madya KSP melihat pentingnya masalah ini tidak saja karena nominalnya, tetapi juga karena lokasi Keerom yang berbatasan langsung dengan Papua Niugini.
John Jonga mengatakan, aparat penegak hukum diharapkan segera bertindak. Sementara, Servasius menuntut agar DPRD Keerom membentuk pansus dan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk turun tangan. Permasalahan korupsi ini tidak saja menimbulkan akibat secara fisik, tetapi juga membuat masyarakat merasa pemerintah tidak hadir di Papua.
Hal-hal yang menjadi kebutuhan mendasar seperti pelayanan kesehatan juga tidak terpenuhi di berbagai lini. Tidak saja tenaga kesehatan tidak dibayar sebagaimana mestinya. Akan tetapi, penyediaan obat untuk masyarakat jadi terhambat. “Obat sudah dikirim ke RSUD, kemudian ditarik lagi, jadi tidak ada obat,” kata John.
Dalam laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tertanggal 20 Mei 2022, yang ditandatangani Penanggung Jawab Pemeriksaan Arjuna Sakir, ditemukan ada kelemahan pengendalian intern dan ketidakpatuhan terhadap undang-undang. Selain ada kesalahan belanja anggaran sebesar Rp 6,32 miliar dalam laporan keuangan Kabupaten Keerom tahun 2021, juga ada kekurangan volume pekerjaan.
Saat dikonfirmasi tentang hal ini, Bupati Keerom Piter Gusbager saat dikontak via pesan singkat di teleponnya, tidak memberi jawaban. Sementara, Trisiswanda Indra mempertanyakan informasi dugaan korupsi tersebut diperoleh dari siapa. Ia juga menolak berkomentar. “Sebaiknya ke kepala inspekorat,” katanya.
Akar konflik
Sebagaimana disampaikan oleh John Djonga saat berkunjung ke KSP, pekan lalu, korupsi dan lemahnya penegakan hukum dinilai menjadi akar konflik di Papua. Tidak saja pembangunan jadi tersendat, rakyat Papua pun jadi tidak merasakan kehadiran negara.
Menurut John, banyak pembangunan seperti jalan yang terbengkalai. Di sisi lain, aparatur sipil negara bahkan tenaga kesehatan jadi kehilangan motivasi karena banyak tunjangan yang dipotong. Akibatnya, pemerintahan tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Masyarakat jadi merasa tidak ada kehadiran pemerintah pusat di Papua.
Disebutkan lagi oleh John, korupsi Papua terjadi di mana-mana. Untuk itu, aparat hukum harus tegas dan memberikan hukuman yang tegas kepada koruptor. Ia juga menyoroti masalah perbatasan di mana ketika ada masalah, masyarakat Keerom bisa saja lari ke negara tetangga. ”Oknum pemerintah yang sering jadi sebab ketidakadilan,” ujarnya.
Baca juga:
Resolusi Konflik Papua
Sengkarut korupsi dan minimnya penegakan hukum di Keerom menjadi salah satu contoh ruwetnya sistem administrasi pemerintahan di Papua. Berbagai hal menjadi penyebab mulai dari lemahnya kontrol, rendahnya kapasitas SDM, hingga masalah politik seperti ancaman konflik dan separatisme. Hal ini ditambah dengan masalah sosial seperti masalah tanah ulayat, hak-hak ASN yang tidak dibayar penuh, hingga SDM lokal Papua yang belum banyak mendapatkan kesempatan dibandingkan pendatang. Masalah-masalah ini kerap tertimbun di daerah, tidak saja karena akses informasi dan jaringan tetapi juga ada kerja sama elit yang punya kepentingan.
Kerap kali isu korupsi menyeruak ke Jakarta, yang biasanya terjadi pengalihan isu, yaitu tiba-tiba bendera bintang kejora yang berkibar di Keerom. Pemerintah kemudian buru-buru merespons dengan pendekatan keamanan. Padahal, ada lapisan-lapisan masalah yang harus diselesaikan sejak awal, yaitu korupsi yang kerap terjadi Tanah Papua selalu di"belokkan" dengan pengibaran bendera bintang kejora. Itulah yang biasanya disuarakan masyarakat dengan nada lirih agar tak hanya keamanan yang ditegakkan tetapi juga korupsi.