Keluhan masyarakat dan para tetua adat terkait kasus dugaan korupsi di Kabupaten Keerom, Papua, dilaporkan ke Kantor Staf Presiden. Aparat hukum diminta mengusut dan menjatuhkan hukuman berat kepada koruptor.
Oleh
EDNA CAROLINE PATTISINA
·2 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Korupsi dan lemahnya penegakan hukum dinilai menjadi akar konflik di Papua. Tidak saja pembangunan jadi tersendat, rakyat Papua pun jadi tidak merasakan kehadiran negara.
Hal ini disampaikan John Djonga, rohaniwan Katolik, dalam kunjungannya ke Kantor Staf Presiden (KSP), Selasa (14/6/2022). John menyampaikan keluhan masyarakat dan para tetua adat terkait kasus dugaan korupsi di Kabupaten Keerom, Papua. John, yang didampingi warga Keerom, Ronald Apnawas, diterima oleh Yusuf Hakim Gumilang dan Theo Litaay, keduanya tenaga ahli madya Deputi V KSP.
Ronald mengatakan, banyak pembangunan seperti jalan yang terbengkalai. Di sisi lain, aparatur sipil negara bahkan tenaga kesehatan jadi kehilangan motivasi karena banyak tunjangan yang dipotong. Akibatnya, pemerintahan tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Masyarakat jadi merasa tidak ada kehadiran pemerintah pusat di Papua.
Pater John Jonga dan Ronald Apnawas menyampaikan temuan Badan Pemeriksa Keuangan dan pesan dari Dewan Adat Keerom terkait dugaan korupsi di Kabupaten Keerom Papua kepada Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Selasa (14/6/2022).
Dalam laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tertanggal 20 Mei 2022, yang ditandatangi Penanggung Jawab Pemeriksaan Arjuna Sakir, ditemukan ada kelemahan pengendalian intern dan ketidakpatuhan terhadap undang-undang. Selain ada kesalahan belanja anggaran sebesar Rp 6,32 miliar dalam laporan keuangan Kabupaten Keerom tahun 2021, juga ada kekurangan volume pekerjaan.
Yusuf yang menerima laporan tersebut mengatakan, pihaknya akan berkoordinasi dengan pejabat terkait. Adapun Theo melihat pentingnya masalah ini tidak saja karena nominalnya, tetapi juga karena lokasi Keerom yang berbatasan langsung dengan Papua Niugini.
John mengatakan, korupsi Papua terjadi di mana-mana. Untuk itu, aparat hukum harus tegas dan memberikan hukuman yang tegas kepada koruptor. Ia juga menyoroti masalah perbatasan di mana ketika ada masalah, masyarakat Keerom bisa saja lari ke negara tetangga. ”Oknum pemerintah yang sering jadi sebab ketidakadilan,” ujarnya.
Ronald mengatakan, akibat korupsi ini, masyarakat jadi tidak merasakan fasilitas kesehatan dan pendidikan dari pemerintah. Ia mencontohkan, ada dugaan korupsi terkait dengan ketersediaan obat. Akibatnya, masyarakat yang sakit jadi sulit berobat.
Ketua Umum Dewan Adat Keerom Servasius Servo Tuamis yang menitipkan tuntutannya menulis tentang persoalan ruas jalan dari Tefalma sampai Towe Hitam. Mereka juga mempertanyakan insentif untuk tenaga kesehatan yang tidak kunjung turun untuk tahun 2021.
”Katanya ada refocussing anggaran untuk Covid, tetapi nakes (tenaga kesehatan) masih tidak dibayar,” tulis Servasius.