Pengadilan Dinilai Gagal Beri Terobosan Penegakan HAM
Pengadilan yang seharusnya mencari keadilan substantif malah mengafirmasi impunitas terhadap para pelanggar HAM masa lalu. Ini terlihat dari ditolaknya gugatan pengangkatan Mayjen Untung Budiharto sebagai Pangdam Jaya.
Oleh
EDNA CAROLINE PATTISINA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengadilan dinilai tidak mampu membuat terobosan progresif dalam menegakkan keadilan substansial untuk kasus pelanggaran hak asasi manusia. Bahkan, pengadilan dinilai melanggengkan impunitas.
Hal ini disampaikan beberapa organisasi masyarakat sipil, Jumat (17/6/2022), menyikapi putusan majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara DKI Jakarta yang menolak gugatan perlawanan atas pengangkatan Mayjen Untung Budiharto sebagai Pangdam Jaya, yang terdaftar dalam perkara nomor 87/PLW/2022/PTUN.JKT, Kamis (16/6/2022).
Sebelumnya, Pengadilan Militer Tinggi II Jakarta juga menolak gugatan bahkan tanpa melalui proses pengadilan dengan alasan belum adanya Peraturan Pemerintah tentang Hukum Acara Tata Usaha Militer. Kedua gugatan itu diajukan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM 1998-1999 karena Untung termasuk dalam daftar anggota Tim Mawar yang menculik sejumlah aktivis pada 1998. Bahkan, ia pernah divonis bersalah oleh pengadilan.
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani mengatakan, PTUN harusnya membuat penemuan hukum. Alasan-alasan prosedural bahwa belum ada aturannya justru seharusnya menjadi jalan bagi pengadilan untuk membuat penemuan hukum. ”Di Pengadilan Militer bahkan hanya dikasih kertas berkas, lalu ditolak tanpa proses,” ujarnya.
Julius merujuk Pasal 10 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa majelis hakim tidak boleh menolak perkara dengan kondisi hukum apa pun. Justru ketika tidak ada aturannya, pengadilan bisa membuat interpretasi atau konstruksi hukum.
Muhamad Isnur dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mengatakan, keputusan pengadilan itu justru melanggengkan impunitas. ”Seharusnya pengadilan bisa mengevaluasi praktik-praktik yang dilakukan pemerintah dan eksekutif,” kata Julius.
Hal senada disampaikan Arif Maulana dari LBH Jakarta. Menurut dia, putusan ini menunjukkan bahwa pengadilan gagal untuk bisa menangkap dan menggali rasa keadilan di masyarakat. Arif juga menyoroti kekosongan hukum ketika pengadilan militer belum memiliki peraturan pelaksana yang menjadi hukum acara untuk penanganan kasus-kasus administratif atau berkaitan dengan hak warga negara yang memperjuangkan hak-haknya di bidang militer.
”Yudikatif gagal menjadi lembaga koreksi. Malah pengadilan mengafirmasi bahwa impunitas bagi para pelaku pelanggaran HAM,” kata Arif.
Alghiffari, kuasa hukum dari para korban pelanggaran HAM 1998-1999, mengatakan, PTUN dan peradilan militer tidak berani mendobrak kebuntuan dan menempuh langkah hukum progresif, terutama untuk korban-korban pelanggaran HAM.
Alghiffari menilai, justru perlu dimasukan ke dalam UU bahwa pengadilan tata usaha militer harus ada di bawah PTUN. ”Dengan demikian, masyarakat bisa menggugat militer lewat satu pintu, yaitu PTUN,” katanya.
Untung dilantik menjadi Pangdam Jaya pada 4 Januari 2022. Saat dipertanyakan soal pengangkatan itu, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa sempat memberi jawaban. Andika mengatakan, pemecatan Untung dari ABRI karena keterlibatannya dalam Tim Mawar telah dianulir berdasarkan putusan pengadilan pada tahun 2000. Menurut dia, Untung telah tuntas dari sisi hukum karena ia telah menjalani putusan pengadilan.