Khilafatul Muslimin Punya Sistem Pendidikan dan Warga Negara Sendiri
Kelompok yang berdiri sejak 1997 itu memiliki 25 sekolah dan puluhan ribu warga negara yang dinilai melawan aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Polda Metro Jaya mengungkap sejumlah fakta baru terkait kehadiran kelompok masyarakat yang menamai diri Khilafatul Muslimin. Setelah menangkap pimpinan kelompok yang ideologinya bertentangan dengan Pancasila itu, polisi menemukan bahwa mereka memiliki sistem pendidikan tersendiri dan pengikut yang diakui sebagai warga negara.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Hengki Haryadi menyampaikan, kepolisian terus mendalami kasus ini, sejak laporan konvoi Khilafatul Muslimin di Jakarta Timur pada 29 Mei 2022 dan penetapan tersangka pada khalifah atau pimpinan tertinggi kelompok itu, Abdul Qadir Hasan Baraja, di Lampung, 7 Juni 2022.
”Kami juga telah menemukan delik baru, perbuatan melawan hukum baru, terkait dengan undang-undang sistem pendidikan nasional, di mana kegiatan mereka melanggar Undang-Undang (UU) tentang Sisdiknas dan UU tentang Pesantren,” ungkap Hengki dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (16/6/2022).
Pelanggaran itu terbukti karena kelompok yang berdiri sejak 1997 ini, menurut data sementara, punya 25 sekolah yang tersebar di sejumlah wilayah di Indonesia. Sekolah itu terdiri dari jenjang pendidikan dasar yang berlangsung hanya 3 tahun, pendidikan menengah pertama 2 tahun, menengah atas 2 tahun, dan perguruan tinggi 2 tahun.
Di perguruan tinggi, yang berlokasi di Bekasi di Jawa Barat dan satu daerah di Nusa Tenggara Barat, peserta didik akan mendapat gelar sarjana kekhalifahan Islam.
”Sekolah-sekolah ini diatur berbasis khilafah dan tidak pernah mengajarkan Pancasila sesuai UUD 1945. Kedua, diajarkan taat hanya pada khalifah, sedangkan pada pemerintah tidak wajib. Kemudian, diajarkan juga di sini, sistem yang final adalah khalifah, di luar khilafah tagut, setan, atau iblis,” lanjutnya.
Pada kesempatan sama, Ahmad Rusdi dari Kementerian Agama, serta Chandra Irawan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Riset Teknologi, mengonfirmasi bahwa sistem pendidikan yang dibangun Khilafatul Muslimin tidak sesuai dengan hukum di Indonesia.
Kelompok yang berkedok yayasan itu juga merekrut pengikut dan menjadikannya warga negara. Diperkirakan, ada sekitar 14.000 warga yang juga tersebar di seluruh Indonesia. Warga itu dibaiat oleh pimpinan wilayah, yang berstruktur dari negara hingga kecamatan. Setelah dibaiat, mereka wajib memberi infak Rp 1.000 per hari.
”Mereka juga dapat semacam KTP, dengan nomor induk warga. Warga-warga ini setelah dibaiat dikasih buku saku bertajuk Tegaknya Kembali Khilafatul Muslimin yang merujuk pada buku Darul Islam Kartosoewirjo,” imbuh Hengki.
Sejauh ini, polisi masih memetakan masyarakat yang telah dibaiat kelompok tersebut. Warga dewasa berasal dari beragam latar belakang profesi, mulai dari wiraswasta, petani, aparatur sipil negara (ASN), hingga dokter.
Aktivitas kelompok yang hanya tercatat sebagai yayasan, bukan organisasi masyarakat (ormas) ini, disebut tidak berbeda dengan jaringan kelompok ekstremis yang ada sebelumnya, seperti Negara Islam Indonesia (NII) atau dikenal juga Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (DI/TII), yang dipelopori Kartosoewirjo. Demikian juga dengan organisasi Jamaah Islamiah.
Wawan Ridwan, Direktur Pembinaan Kemampuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), mengatakan, hal ini terlihat jelas dari sistem organisasi mereka yang memiliki susunan pemerintahan.
”Organisasi ini didirikan Baraja tahun 1997, sudah 25 tahun, artinya sudah sekian lama. Bisa kita bayangkan kekuatan yang dibangun. Kalau dibiarkan, bisa berbahaya. Tipe pergerakan mereka adalah mengandalkan dakwah persuasif untuk raih hati publik,” ungkap Wawan.
Bukti-bukti itu juga didapat polisi dari temuan sejumlah buku hingga majalah yang diterbitkan kelompok Khilafatul Muslimin. Kemudian, kelompok itu juga kerap menebarkan syiar melalui dunia maya dalam bentuk video dan artikel daring.
”Terkait video yang kami sita, mereka bilang Pancasila dan UUD 1945 tidak akan bertahan lama, Islam tidak mengenal toleransi, kiai-kiai di zaman demokrasi banyak bohongnya. Kemudian, demokrasi harus dengan senjata,” papar Hengki.
Bukti lain yang disita polisi, di antaranya, empat brankas berisi uang tunai Rp 2,3 miliar dari kantor pusat Khilafatul Muslimin di Lampung. Kemudian, catatan keuangan dan 21 buku rekening tabungan yang kini telah dibekukan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Selain, Abdul Qadir Hasan Baraja, polisi juga menangkap AA, IN, F, dan SW di Lampung, Medan, dan Bekasi. Terakhir, polisi menangkap tersangka berinisial AS, selaku menteri pendidikan, di Mojokerto, Jawa Timur.
Kejahatan tersebut bergerak di bawah bayangan dan kegelapan, berada di sudut gelap sisi kehidupan yang tidak terawasi, berlindung dan berbaur dalam praktik-praktik sosial, politik, ekonomi, keagamaan, dan kemasyarakatan yang dikenal sebagai hidden crimes atau invisible crimes. (Fadil Imran)
Keenam tersangka dijerat dengan Pasal 59 Ayat 4 juncto Pasal 82 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat (Ormas). Kemudian, Pasal 14 Ayat 1 dan 2, dan atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Mereka terancam hukuman penjara minimal lima tahun dan maksimal 20 tahun penjara.
Kejahatan tersembunyi
Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Fadil Imran menyebut, gerakan kelompok seperti Khilafatul Muslimin sebagai kejahatan yang tersembunyi atau
invisible crimes
. Khilafatul Muslimin terbukti menyembunyikan aksi pelanggaran hukum terkait melawan ideologi negara.
”Kejahatan tersebut bergerak di bawah bayangan dan kegelapan, berada di sudut gelap sisi kehidupan yang tidak terawasi, berlindung dan berbaur dalam praktik-praktik sosial, politik, ekonomi, keagamaan, dan kemasyarakatan yang dikenal sebagai hidden crimes atau invisible crimes,” ujar Fadil.
Gerakan yang bukan sekadar pelanggaran hukum pidana konvensional itu membuat korbannya tidak tahu bahwa mereka melanggar. Pendekatan itu juga disebut populisme, yaitu ideologi yang bisa memanfaatkan kelengahan dan ketidaktahuan masyarakat.
Untuk mencegah gerakan Khilafatul Muslimin terus meluas dan menguat, Fadil memerintahkan jajarannya untuk berkoordinasi dengan direktur di polda-polda lain, terutama yang sedang menangani kasus serupa.
Panglima Kodam Jaya Mayor Jenderal Untung Budiharto juga ikut mendukung upaya kepolisian dalam memberantas gerakan kelompok tersebut. ”Organisasi ini melanggar hukum dan melakukan propaganda untuk mengajak masyarakat lain mengikuti faham mereka. Tugas kita bersama menghindarkan mereka terjerumus pada paham ini,” ujarnya.