Sertifikat Tanah Pun Menembus Tiang Pancang Rumah di Lautan
Tempat hidup warga Suku Bajo di Kampung Mola, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, yang ada di atas laut kini diakui negara lewat penerbitan sertifikat HGB. Sertifikat itu pun dapat digunakan untuk menjangkau modal usaha.
Senyum lebar menghiasai raut wajah Dedi Iskandar (31) yang duduk bersantai di teras rumahnya. Di Rabu (8/6/2022) siang yang terik, warga Kampung Mola, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara itu tengah beristirahat usai melaut.
Rumah panggung dari kayu, khas rumah tradisional nelayan yang bermukim di perairan pantai, yang didirikannya lima tahun silam itu kini makin nyaman dihuni karena lahan tempat rumah itu berdiri telah diterbirkan sertifikat oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional. Ia bersyukur karena area perairan yang ia gunakan untuk membangun rumahnya itu bisa memperoleh sertifikat tanah seperti rumah di daratan.
"Tidak terbayangkan sama sekali bisa mendapatkan sertifikat tanah. Tetapi, saya belum tahu sertifikatnya mau dibuat apa, yang jelas saya sekarang lebih tenang untuk tinggal di rumah ini karena ada legalitasnya," kata Dedi, salah satu penerima sertifikat tanah di Kampung Mola.
Sertifikat tanah yang diperoleh Dedi itu merupakan satu dari 525 Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang dibagikan secara simbolis oleh Presiden Joko Widodo bersama Kementerian ATR/BPN kepada warga Kampung Mola yang umumnya bermukim di atas perairan sebelah barat Pulau Wangi-Wangi, pada Kamis (9/6). Di kesempatan itu, Presiden juga menyerahkan sertifikat atas 10 pulau terluar kepada Kementerian Perhubungan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Penerbitan sertifikat ini merupakan bagian dari Reforma Agraria, sesuai Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018, yang tujuannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sekaligus menjaga kedaulatan negara di pulau-pulau terluar Indonesia.
Baca juga: Ego Sektoral Hambat Reforma Agraria
Tak seperti rumah di daratan, rumah Dedi dan ratusan rumah di sekitarnya tak memiliki halaman karena berdiri di atas laut. Perahu kayu yang digunakan untuk mencari ikan, mata pencaharian utama warga setempat, bersandar di bawah rumah. Laut yang jernih dan terjaga kelestariannya menjadi pemandangan di muka rumah mereka sehari-hari.
Lima tahun lalu, bangunan rumah seluas 70 meter persegi itu pada mulanya berupa karamba. Mertuanya meminta Dedi membangun rumah di area tersebut. Pada 2017, ia mulai menabung dan mengumpulkan bahan bangunan untuk mendirikan rumah yang kini ditinggali bersama istri dan tiga anaknya.
Pada mulanya, ia membangun tiang beton yang menancap di dasar pantai sedalam dua meter sebagai tiang panggung untuk menopang bangunan rumah kayu di atasnya. Menurutnya, tiang beton lebih kuat menahan gulungan ombak laut yang senantiasa menerpa, dibandingkan tiang kayu seperti pada rumah warga Kampung Mola pada umumnya.
Hasyim sudah memiliki rencana menggunakan sertifikat tanah yang diperolehnya sebagai agunan di bank untuk memperoleh modal budidaya perikanan.
Agunan modal usaha
Jika Dedi belum tahu sertifikat tanah yang diperoleh akan digunakan untuk apa, lainnya halnya Hasyim, warga Kampung Mola lainnya. Hasyim sudah memiliki rencana menggunakan sertifikat tanah yang diperolehnya sebagai agunan di bank untuk memperoleh modal budidaya perikanan. Saat ini, ia sudah mulai membuat karamba di bagian bawah dan samping rumahnya, tepatnya di sela-sela tiang pancang yang menancap di dasar pantai.
Budidaya perikanan itu, menurutnya, sebagai antisipasi jika ia tak bisa melaut akibat musim angin kencang dan gelombang tinggi. Dengan demikian, perekonomian keluarganya bisa terjaga, tanpa harus berutang kepada orang lain.
Lihat juga: Nelayan Keluhkan Soal Sertifikat Tanah, Jokowi Telepon Sofyan Djalil
Kepala Desa Mola Nelayan Bakti, Derdy mengungkapkan, selama ini warga yang bermukim di atas perairan pesimistis bisa mendapatkan sertifikat tanah dibandingkan warga yang bermukim di daratan. Walaupun daratan yang dimukimi warga di Kampung Mola itu pun merupakan hasil pengurukan, area perairan yang ditimbun dengan batu karang dan pasir selama puluhan tahun. “Apalagi, selama ini, sertifikat tanah hanya terbit untuk rumah di darat. Tapi, kini, masyarakat di rumah tancap di atas laut juga bisa mendapatkan sertifikat tanah,” ucapnya.
Menurut Derdy, syarat mendapatkan sertifikat tanah lewat program Reforma Agraria itu cukup mudah. Salah satu keluarga penghuni rumah cukup menyerahkan salinan kartu tanda penduduk elektronik dan kartu keluarga. Pada umumnya, satu rumah di Kampung Mola dihuni dua sampai empat keluarga. Sejauh ini, tak ditemukan konflik untuk menetapkan keluarga yang bisa mengajukan sertifikat.
Kemudian, mereka membayar biaya administrasi Rp 150.000 untuk mendaftar sebagai peserta Pendaftaran Tanah Sertifikasi Lengkap (PTSL). Besaran biaya itu sesuai kesepakatan warga dengan perangkat desa.
Biaya tersebut untuk membiayai proses pra sertifikasi yang dilakukan oleh perangkat desa, seperti penyediaan patok batas tanah, materai, dan penggandaan dokumen. Hal ini sudah diatur melalui Surat Keputusan Bersama tiga menteri yakni Menteri Dalam Negeri, Menteri ATR/BPN, dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.
Sekitar satu bulan, sejak syarat-syarat diserahkan, warga bisa menerima sertifikat HGB atas lahan rumah mereka. Luas lahan yang diterbitkan sertifikat berkisar 50 hingga 100 meter persegi.
Baca juga: Penyelesaian Konflik Lahan, Bukan Sekadar Bagi-bagi Sertifikat Tanah
Sebelumnya, menurut Derdy, warga hanya dapat mengakses pinjaman modal ke bank dengan menggunakan surat keterangan tinggal kepemilikan lokasi dari pemerintah desa. Dengan surat itu, pinjaman modal yang diperoleh terbatas Rp 10 juta. “Dengan adanya sertifikat, pinjaman modal bisa lebih besar,” ucapnya.
Di atas laut
Derdy menuturkan, rumah di atas laut di Kampung Mola pertama kali didirikan pada 1958 oleh warga Suku Bajo. Kala itu, ada pergolakan antarsuku yang tinggal di daratan, antara masyarakat Kaledupa dengan Mantigola. Konflik itu membuat Suku Bajo yang tinggal di kawasan itu menjadi tidak nyaman sehingga memilih menyingkir ke area perairan sebelah barat Pulau Wangi-Wangi, yang kini menjadi Kampung Mola.
Untuk menempati area itu, warga Suku Bajo meminta izin ke masyarakat Mandati yang kala itu menguasai kawasan itu. Untuk menempatinya, warga Suku Bajo diharuskan memberikan perahu layar kepada masyarakat Mandati untuk berdagang ke Pulau Jawa.
Derdy menuturkan, rumah di atas laut di Kampung Mola pertama kali didirikan pada 1958 oleh warga Suku Bajo.
Hingga 1960-an, makin banyak warga yang mendirikan rumah di area tersebut. Mereka menimbun batu karang untuk memperkuat pondasi rumah yang terbuat dari kayu. Hingga puluhan tahun kemudian, area daratan di kawasan yang semula perairan itu kian meluas, begitu pula jumlah rumah yang dibangun di atasnya. Kampung Mola yang semula hanya satu desa. kini jadi lima desa.
Sekalipun bisa mendirikan rumah di atas lautan, ada aturan dari desa untuk mengatur pembangunan rumah. Rata-rata panjang rumah sepanjang 10 meter dan menghadap sisi yang sama sehingga bentuk permukimannya teratur. Jika dilihat dari atas, tata letak rumah-rumah di Kampung Mola berjajar rapi dan seragam. "Sejak 2014 mulai banyak warga yang mengganti pondasi kayu menjadi beton karena dianggap lebih kuat dan awet," tuturnya.
Sebagai warga yang sama-sama dari Suku Bajo, mereka bergotong royong membangun fasilitas umum. Untuk membangun jalan. misalnya, warga iuran Rp 200.000 per keluarga untuk meningkatkan jalan yang awalnya dari bambu menjadi beton. Kendaraan seperti sepeda motor dan mobil pun kini bisa masuk ke area daratan di perkampungan tersebut.
Baca juga: Presiden Bagikan 124.120 Sertifikat, 5.512 di Antaranya Hasil Penyelesaian Sengketa
Tiang jadi batas
Kepala Kantor Wilayah BPN Sulawesi Tenggara Andi Renald mengungkapkan, rumah yang bisa mendapatkan sertifikat HGB adalah rumah dengan tiang tertancap di dasar pantai. Tiang itu dijadikan sebagai batas untuk mengukur luas tanah yang diakui di sertifikat. Namun, sertifikat yang dimiliki tidak boleh dipindahtangankan atau dijual.
Ia menyebut, sertifikat di Kampung Mola sebagai yang pertama diterbitkan bagi permukiman di atas laut, dan akan dijadikan percontohan.
Menteri ATR/ Kepala BPN Sofyan Djalil mengatakan, Sertifikat HGB yang diberikan kepada warga Kampung Mola itu berlaku 30 tahun dan bisa diperpanjang seperti HGB yang lain. Jika nanti ada perubahan pada Undang-undang Agraria, tak menutup kemungkinan diberikan Sertifikat Hak Milik di atas perairan.
Sofyan berharap, pemberian sertifikat ini bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kampung Mola yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan. Sebelum memiliki sertifikat, warga Kampung Mola tak bisa mengakses kredit usaha rakyat, salah satu program pemerintah, yang alokasinya mencapai Rp 200 triliun. Pinjaman modal itu bisa digunakan untuk mengembangkan usaha perikanan, termasuk membuat kapal dan membeli peralatan untuk melaut.
Sofyan menegaskan, pemberian sertifikat bagi masyarakat yang tinggal di atas laut tidak akan berhenti di Kampung Mola. Masih ada masyarakat lain yang tersebar di 23 provinsi yang tinggal di atas air seperti warga dari Suku Bajo.
Pemberian sertifikat serupa tentunya dinanti oleh masyarakat pesisir lainnya yang tinggal di berbagai wilayah di Indonesia. Jika mengakui nenek moyang kita pelaut, sudah sepatutnya tempat hidup generasi penerusnya diakui dan hak-haknya dipenuhi…