Pemberian nama terhadap anak kini perlu mematuhi aturan pemerintah lewat Permendagri No 73/2022. Di antaranya harus dua kata dan tidak boleh bermakna negatif. Lantas, siapa yang bisa menilai itu tak bermakna negatif?
Oleh
IQBAL BASYARI
·5 menit baca
Sebulan terakhir, pemerintah mulai mengatur nama warga. Melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencatatan Nama pada Dokumen Kependudukan, pencatatan nama pada dokumen kependudukan harus memenuhi tiga persyaratan. Syarat pertama adalah mudah dibaca, tidak bermakna negatif, dan tidak multitafsir. Kedua, jumlah huruf paling banyak 60 huruf termasuk spasi. Terakhir, jumlah kata paling sedikit dua kata.
Permendagri ini mulai berlaku sejak 21 April setelah ditandatangani oleh Mendagri Tito Karnavian pada 11 April lalu. Dalam pertimbangannya disebutkan, pencatatan nama pada dokumen kependudukan diperlukan setiap penduduk sebagai identitas diri agar negara dapat memberikan pelindungan dalam pemenuhan hak konstitusional dan tertib administrasi kependudukan. Selain itu, pencatatan nama pada dokumen kependudukan perlu diatur sebagai pedoman bagi penduduk dan pejabat yang berwenang melakukan pencatatan untuk memudahkan pelayanan publik.
Dengan demikian, seluruh dokumen kependudukan yang meliputi biodata penduduk, kartu keluarga, kartu identitas anak, kartu tanda penduduk elektronik, surat keterangan kependudukan, dan akta pencatatan sipil harus mengacu pada aturan tersebut. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) kabupaten/kota, unit pelaksana teknis Disdukcapil, maupun perwakilan Republik Indonesia tidak akan mencatatkan dan menerbitkan dokumen kependudukan jika warganya memberikan nama yang melanggar ketentuan tersebut.
Permendagri itu sontak mengundang reaksi dari masyarakat. Mereka berkometar, terutama terkait dengan syarat jumlah kata paling sedikit dua kata. Sebab, hingga saat ini, penggunaan nama hanya satu kata masih banyak digunakan oleh warga. Bahkan, nama dengan satu kata juga banyak ditemukan pada tokoh-tokoh nasional, seperti Presiden Pertama Soekarno, dan Presiden Kedua Soeharto.
”Nama seperti saya bakalan langka mulai bulan Mei ini,” ujar Hurriyah di akun media sosial miliknya. Unggahan itu disertai meme bertuliskan ”Mendagri Mengeluarkan aturan baru. Kini nama satu kata tidak diperbolehkan lagi di Indonesia. Maksimal 60 Huruf”.
Saat dihubungi dari Jakarta, Senin (23/5/2022), Hurriyah yang juga pengajar di Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia menilai, pengaturan pencatatan nama pada dokumen kependudukan tidak masuk akal dan tidak penting. Sebab, selama ini pun, penggunaan nama satu kata tidak menemui permasalahan. Kalau pun diperlukan nama belakang untuk mengurus dokumen perjalanan ke luar negeri masih bisa menggunakan nama keluarga. Meskipun kebijakan ini telah ditetapkan, publik mungkin tidak akan mengikutinya karena belum tentu semua orang memahami kebijakan ini.
”Ada banyak hal yang berkaitan dengan urusan kependudukan dan kewarganegaraan yang harusnya bisa diselesaikan negara karena selama ini kebijakannya masih (ada sebagian yang) diskriminatif, bukan justru mengurusi hal seperti ini yang ranahnya merupakan urusan privat,” tuturnya.
Pengaturan pencatatan nama pada dokumen kependudukan tidak masuk akal dan tidak penting. Sebab, selama ini pun, penggunaan nama satu kata tidak menemui permasalahan. (Hurriyah)
Menurut Hurriyah, negara selama ini memang banyak mengurus hal-hal privat. Ini tidak lepas dari belum adanya kesepahaman dalam membedakan urusan privat dan urusan publik. Ia pun mencontohkan urusan soal moralitas, sopan santun, agama yang masih banyak meyakininya sebagai urusan publik, padahal itu merupakan ranah privat.
”Kalau dilihat dari sisi politik kebijakan, ini merupakan cerminan atas betapa negara sangat sering mengatur urusan-urusan privat. Ini pun menunjukkan adanya gap antara produk kebijakan negara dan apa yang menjadi kebutuhan atau perhatian masyarakat,” ucapnya.
Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh mengatakan, pencatatan nama pada dokumen kependudukan perlu diatur sebagai pedoman bagi penduduk dan pejabat yang berwenang melakukan pencatatan untuk memudahkan pelayanan publik sehingga memberikan manfaat untuk pedoman pencatatan nama, penulisan nama pada dokumen kependudukan, dan meningkatkan kepastian hukum pada dokumen kependudukan.
Selain itu, lanjutnya, pengaturan ini juga untuk memudahkan dalam pelayanan administrasi kependudukan, perlindungan hukum, serta pemenuhan hak konstitusional dan mewujudkan tertib administrasi kependudukan. Aturan ini pun dibuat untuk memudahkan anak dalam pelayanan publik, seperti saat pembuatan ijazah dan paspor.
Menurut Zudan, nama yang terlalu panjang mengakibatkan penulisan nama lengkap pada basis data maupun dokumen fisik bisa berbeda akibat keterbatasan jumlah karakter pada masing-masing dokumen. Sementara berkaitan nama tidak bermakna negatif, bertentangan dengan norma agama, kesopanan, dan kesusilaan akan menjadi beban pikiran terhadap perkembangan anak sampai dewasa, seumur hidup, bahkan sampai berketurunan. Sebab, nama diberikan hanya sekali seumur hidup.
Zudan menuturkan, tujuan pengaturan nama minimal dua kata agar lebih dini memikirkan dan mengedepankan masa depan anak. Ia mencontohkan ketika anak akan sekolah atau ke luar negeri untuk membuat paspor minimal harus ditulis dua suku kata. Namun, ketentuan nama minimal dua kata itu hanya bersifat imbauan dan nama hanya satu kata tetap bisa dituliskan dalam dokumen kependudukan.
”Jika ada nama orang hanya satu kata, disarankan, diimbau untuk minimal dua kata, namun jika pemohon bersikeras untuk satu kata, boleh,” katanya.
Selain ada yang bersifat imbauan, lanjut Zudan, ada aturan yang bersifat larangan, yakni penggunaan nama lebih dari 60 karakter termasuk spasi, disingkat atau diartikan lain, menggunakan angka dan tanda baca, mencantumkan gelar pendidikan dan keagamaan pada akta pencatatan sipil. Jika hal itu tetap diabaikan, dokumen kependudukan tidak dapat diterbitkan hingga masyarakat mematuhi aturan tersebut. ”Hal tersebut dilakukan demi kebaikan dan perlindungan bagi perkembangan anak ke depan,” ucapnya.
Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrat, Anwar Hafid, mengatakan, Permendagri Pencatatan Nama pada Dokumen Kependudukan perlu didukung. Sebab, hal itu menjadi bagian dari upaya tertib administrasi kependudukan dalam rangka menuju upaya sistim satu identitas. Jika sistem satu identitas bisa maksimal, digitalisasi dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan untuk memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakst akan bisa terwujud.
”Aturan ini tentu meminimalisir terjadinya kewarganegaraan ganda seperti terjadi beberapa waktu yang lalu,” katanya.
Perlu parameter untuk menentukan bahwa sebuah nama mudah dibaca sedangkan yang lainnya tidak, sebuah nama bermakna positif sementara nama lain bermakna negatif.
Dibutuhkan parameter
Pengajar di Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Gabriel Lele, menilai, negara kadang memasuki ruang privat untuk kepentingan publik yang lebih besar sejauh bisa dijelaskan secara obyektif. ”Yang perlu dikritisi dari aturan ini adalah apa urgensinya mengatur nama dan mengapa aturannya seperti itu,” ucapnya.
Menurutnya, perlu parameter yang obyektif untuk mencegah kekisruhan saat implementasi aturan ini. Sebab, pejabat penyelenggara dapat menginterpretasikan seenaknya atau justru tidak bisa menentukan sama sekali. Oleh sebab itu, perlu parameter untuk menentukan bahwa sebuah nama mudah dibaca sedangkan yang lainnya tidak, sebuah nama bermakna positif sementara nama lain bermakna negatif, serta apa yang dimaksudkan dengan makna negatif tersebut. ”Jauh lebih urgen mengejar validitas data kependudukan ketimbang mengatur hal-hal seperti ini,” kata Gabriel.