Perang Narkoba Tidak Boleh Hanya terhadap Kroco, tetapi Harus Perangi Bandar
Revisi UU Narkotika diharapkan mampu membangun kesadaran dan tanggung jawab bersama seluruh pihak yang terkait penanganan masalah narkotika. Sebab, narkotika bukan hanya masalah penegakan hukum, melainkan juga kesehatan.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan DPR mulai membahas revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Revisi tersebut diharapkan mampu memberikan pandangan atau politik hukum baru dalam pemberantasan narkoba yang selama ini telah digalakkan.
Anggota DPR menyebut perang terhadap narkoba yang dilakukan selama ini ternyata adalah perang terhadap kroco-kroco atau pemakai narkoba di bawah 1 gram, bukan dengan bandar ataupun pengedar. Revisi UU Narkotika diharapkan bisa memperkuat peperangan melawan salah satu jenis kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime ini, khususnya terhadap para bandar dan pengedar narkoba.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy OS Hiariej, dalam rapat panitia kerja Rancangan Undang-Undang Narkotika di Komisi III DPR, Senin (23/5/2022), mengungkapkan, latar belakang dilakukannya revisi UU Narkotika adalah untuk meningkatkan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkoba serta memperkuat landasan hukumnya.
Selain itu, revisi juga dilakukan karena jumlah kasus narkoba yang masih tinggi serta belum tertangani secara cepat, tepat, dan baik. Pemerintah juga berupaya mengedepankan pendekatan keadilan restoratif dibandingkan dengan retributif (balas dendam) untuk penyalah guna narkotika. Di samping itu, belum ada pengaturan mengenai zat psikoaktif baru yang marak beredar di masyarakat yang menimbulkan kecanduan dan sama bahayanya dengan narkotika.
Adapun materi perubahan UU Narkotika mencakup enam hal, yaitu terkait zat psikoaktif baru, pengaturan rehabilitasi, pentingnya keberadaan tim asesmen terpadu, kewenangan penyidikan, syarat dan tata cara pengujian sampel serta status barang sitaan, dan penyempurnaan ketentuan pidana. Menurut Eddy, pemerintah sudah menerima daftar isian masalah (DIM) yang disampaikan DPR dengan total 360 DIM.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, berharap, revisi UU Narkotika tersebut tidak sekadar mengubah beberapa hal. Namun, revisi seyogianya meletakkan politik hukum baru dalam pemberantasan narkotika.
”Kalau dari semangat yang ada di dalam rancangan UU yang diajukan pemerintah, ada perubahan politik hukum, di mana rehabilitasi diberi peluang yang lebih besar. Kita sudah bertahan-tahun membahas hal ini, overcrowded lembaga pemasyarakatan (LP) yang ditimbulkan utamanya karena napi narkoba. Pertanyaannya, kalau ini (UU Narkotika) diubah, itu akan mengubah wajah lapas sejauh apa?” kata Arsul.
Senada dengan Arsul, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra, Desmon J Mahesa, juga mempertanyakan apakah kebijakan rehabilitasi sinkron dengan pengurangan overcrowded di LP dan rutan. Ia juga mempertanyakan proses rehabilitasi tersebut nantinya menjadi tanggung jawab siapa.
“Apakah tanggung jawab Kementerian Hukum dan HAM ataukah akan melibatkan pemerintah daerah. Ada tidak di draf RUU ini kita bicara tentang pemerintah daerah. Ini harus dibicarakan di UU ini supaya ujung proses rehabilitasi ini jelas,” katanya.
Selama ini yang terjadi, kalau kita bicara narkotika, itu seolah hanya persoalan hukum. Pihak lain yang harus ikut bertanggung jawab dalam masalah ini diam saja. Oleh karena itu, RUU ini harus mampu membangun kesadaran bersama dan menumbuhkan tanggung jawab seluruh pihak untuk turut serta menangani persoalan narkotika. (Taufik Basari)
Menyambung pendapat Desmond, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari, mengungkapkan, revisi UU Narkotika diharapkan mampu membangun kesadaran dan tanggung jawab bersama seluruh pihak yang terkait penanganan masalah narkotika. Sebab, penanganan narkotika tidak hanya masalah penegakan hukum, tetapi juga persoalan kesehatan.
”Selama ini yang terjadi, kalau kita bicara narkotika, itu seolah hanya persoalan hukum. Pihak lain yang harus ikut bertanggung jawab dalam masalah ini diam saja. Oleh karena itu, RUU ini harus mampu membangun kesadaran bersama dan menumbuhkan tanggung jawab seluruh pihak untuk turut serta menangani persoalan narkotika. Tidak hanya dibebankan ke aparat penegak hukum dan Kemenkumham,” ujarnya.
Taufik Basari juga mengungkapkan hasil kajian Indonesia Judicial Research Society (IJRS) terhadap 1.361 putusan Mahkamah Agung yang sudah berkekuatan hukum tetap dalam perkara narkotika. Ternyata, 48,73 persen perkara yang ditangani terkait dengan narkotika di bawah 1 gram.
”Artinya apa? Kalau nyatakan kita perang terhadap narkotika, artinya perang terhadap kroco-kroco. Penegak hukum hanya menyasar ke kasus-kasus dengan barang bukti 1 gram. Bagaimana revisi UU Narkotika ini menyasar strategi baru untuk mengejar para bandar, bukan pengguna,” kata Taufik.
Dalam konteks ini, Eddy setuju bahwa war on drug harus ditujukan kepada bandar. Sementara kepada pengguna, yang dilakukan adalah pendekatan restoratif melalui rehabilitasi karena pengguna narkotika adalah korban.
Darurat narkotika
Mendapat pertanyaan-pertanyaan di atas, Eddy mengungkapkan, pemerintah saat ini masih menganggap bahwa kondisi Indonesia darurat narkoba. Berdasarkan data Kemenkumham, jumlah warga binaan LP dan rutan saat ini mencapai 271.000 orang. Sekitar 134.000 di antaranya merupakan kejahatan narkotika. Jumlah tersebut, kata Eddy, belum termasuk 52.000 tersangka yang masih diproses oleh kepolisian sehingga kalau ditotal kasus narkoba melibatkan sekitar 190.000 orang.
”Ketika statistic criminal bicara mengenai 190.000, itu jangan dibaca 190.000. Ada teori DEA, Drug Enforcement Administration, dan seluruh dunia menggunakan itu. Kalau ada 190.000, harus dibaca ada tujuh kali lipat. Tinggal kalikan saja. Bahwa jumlah kejahatan yang terungkap itu bisa 1:7. Jadi, satu terungkap, yang tujuhnya belum. Kalau 190.000 kasus, yang belum terungkap 190.000 kali tujuh. Itu menandakan darurat narkotika,” katanya.
Ia juga yakin pendekatan keadilan restoratif terhadap pengguna narkoba melalui rehabilitasi bakal bisa mengurangi overcrowding di LP dan rutan. Ia mencontohkan jumlah penghuni LP Cipinang yang berjumlah 3.500 orang, di mana 3.000 orang di antaranya terkena pasal di UU Narkotika. Dari jumlah itu, jumlah napi/tahanan yang tergolong pengguna/pemakai narkotika ada 2.800 orang.
Persoalan overcrowding LP/rutan itu muncul karena di UU No 25/2009 tentang Narkotika mengatur bahwa penegakan hukum berjalan lebih dahulu baru rehabilitasi. Dalam revisi UU Narkotika kali ini, proses rehabilitasi dilakukan sedari awal sehingga peran tim asesmen terpadu menjadi sangat sentral. Tim tersebut yang nantinya menentukan apakah orang terkait akan direhab ataukah diproses hukum.