Poros Sukarelawan Mencari Tumpuan Setelah Jokowi
Kelompok sukarelawan Pro Jokowi atau Projo yang besar karena dukungan terhadap Jokowi kini bersiap mencari tumpuan baru bagi kelompoknya. Ke mana dukungan diarahkan dan masih efektifkah mereka memengaruhi Pilpres 2024?
Meski masa jabatan Presiden Joko Widodo akan habis pada 2024, kekuatan kelompok sukarelawan pendukungnya masih eksis. Tidak hanya itu, mereka bahkan siap bertarung kembali di Pemilihan Presiden 2024.
Setelah menggelar rapat kerja nasional di Magelang, Jawa Tengah, akhir pekan lalu, organisasi kemasyarakatan Pro Jokowi atau Projo berencana menjaring kandidat calon presiden melalui mekanisme musyawarah rakyat. Ke manakah dukungan mereka akan berlabuh?
”Pak Ganjar! Pak Ganjar!” teriakan yang menyebut nama Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo itu bergelora di Balai Ekonomi Desa Ngargogondo, Kecamatan Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Sabtu (21/5/2022). Sejumlah sukarelawan, bagian dari organisasi kemasyarakatan Pro Jokowi (Projo) yang tengah mengikuti Rapat Kerja Nasional (Rakernas) V Projo itu, terlihat berdiri, berteriak, lalu bertepuk tangan. Mereka menyambut pidato pembukaan rakernas yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo hari itu.
Dalam pidatonya, Jokowi mengingatkan para sukarelawan untuk tidak tergesa-gesa dalam memberikan dukungan politik terkait Pilpres 2024. Mereka diminta untuk fokus bekerja mengatasi dampak pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina yang mengakibatkan ketidakpastian. Selain itu, dinamika politik ke depan masih sangat dinamis sehingga Projo diharapkan tidak keliru dalam membuat keputusan.
Meski demikian, bagian dari pidato Jokowi juga seolah memberikan sinyal tentang figur yang akan didukung ormas tersebut nantinya. ”Urusan politik, aja kesusu sik. Jangan tergesa-gesa. Jangan tergesa-gesa. Meskipun, meskipun, mungkin, yang kita dukung ada di sini,” ujarnya.
Baca juga : Peta Pilpres Belum Jelas, Jokowi Minta Projo Bersabar Berikan Dukungan
Kalimat itu yang kemudian disambut gegap gempita para sukarelawan dengan meneriakkan nama Ganjar Pranowo. Ganjar yang turut hadir dalam agenda tersebut terlihat berusaha tenang meski tak bisa menahan tawa. Menanggapi hal itu, seusai acara, Ganjar mengatakan bahwa kedatangannya ke Rakernas V Projo sebatas untuk mendampingi Presiden. ”Kami mendampingi Presiden, ngawal, ya,” ujarnya.
Meski belum ada dukungan resmi dari Projo, selama ini Ganjar memang tampil sebagai sosok yang memiliki asosiasi dengan Jokowi. Selain sebagai sesama kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), kesamaan daerah asal serta gaya kepemimpinan keduanya yang suka blusukan kerap diidentikkan.
Asosiasi itu juga terekam dalam pandangan publik. Mengacu hasil survei Litbang Kompas beberapa bulan terakhir, Ganjar tampak seperti ”ahli waris” dukungan para pemilih Jokowi.
Hasil survei pada Oktober 2021, misalnya, menunjukkan, 21,7 persen pemilih Jokowi pada Pemilu 2019 memberikan dukungannya kepada Ganjar. Persentase itu merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan figur potensial capres lain yang juga mendapat limpahan suara dari pendukung Jokowi. Sebut saja mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (9,3 persen), Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (7,5 persen), dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (7,4 persen).
Baca juga : Survei Litbang "Kompas": Ceruk Suara Pemilih Masih Terbuka
Kecenderungan pemilih Jokowi untuk memilih Ganjar juga naik tiga bulan setelahnya. Berdasarkan survei yang sama pada Januari 2022, Ganjar mendulang 31,8 persen dukungan dari pemilih Jokowi. Raihan itu unggul jauh dibandingkan tokoh lain yang juga menjadi tujuan migrasi politik pendukung Jokowi, yakni Menteri Sosial Tri Rismaharini (3,8 persen), Basuki Tjahaja Purnama (4,2 persen), dan Ketua DPR Puan Maharani (1 persen).
Secara personal, Ganjar juga merupakan salah satu kepala daerah yang terlihat dekat dengan Presiden. Keduanya kerap tampil bersama dalam berbagai kegiatan, lalu saling mengunggah dokumentasinya di akun media sosial masing-masing. Terakhir, misalnya, ia mendampingi Jokowi blusukan ke Pasar Muntilan, Magelang, Jawa Tengah, yang diunggah Ganjar di akun Instagram resminya.
Pada April lalu, Ganjar juga mendampingi Jokowi meresmikan Jalan Lingkar Brebes-Tegal, Jawa Tengah. Dalam kegiatan ini, Jokowi, Ganjar, dan sejumlah pejabat lain sempat berfoto bersama, lalu diunggah oleh Presiden dalam akun Instagram resminya.
Tak hanya itu, Ganjar juga beberapa kali berinteraksi dengan Presiden di media sosial. Salah satunya ketika Jokowi mengunggah foto persiapan kunjungan kerja ke Sragen, Grobogan, Blora, dan Semarang di Jawa Tengah pada Januari lalu. Dalam unggahannya, Jokowi menuliskan, "Eratkan tali sepatu, sebelum melangkah jauh. Pagi ini saya ke Jawa Tengah untuk kunjungan kerja ke Sragen, Grobogan, Blora, dan Semarang.”
Menanggapi itu, Ganjar pun memberikan komentar. "Siap, saya tunggu Pak di Jateng,” tulisnya melalui akun @ganjar_pranowo.
Ikut perintah Jokowi
Ketua Umum DPP Projo, Budi Arie Setiadi, saat dihubungi dari Jakarta, Senin (23/5/2022), tidak memungkiri sejumlah fakta yang menunjukkan asosiasi antara Ganjar dan Jokowi. Ia juga tidak menyangkal kalimat Jokowi yang disambut riuh rendah sukarelawan. Akan tetapi, Projo tidak ingin berspekulasi dan segera mengartikan kalimat tersebut sebagai sinyal dukungan terhadap Ganjar. Projo justru menggarisbawahi permintaan Jokowi untuk tidak terburu-buru memberikan dukungan terhadap salah satu figur potensial calon presiden (capres).
"Projo ikut perintah Pak Jokowi, aja kesusu,” katanya.
Kami sudah diskusikan dengan Pak Jokowi. Prinsipnya kami ingin menggali sedalam-dalamnya dan menyerap sebesar-besarnya aspirasi rakyat.
Perintah itu, kata Budi, kemudian diejawantahkan dengan merumuskan mekanisme musyawarah rakyat (musra) untuk menjaring kandidat capres dengan menyerap aspirasi publik. Musyawarah akan digelar DPP bersama dengan DPC-DPC Projo bekerja sama dengan media dan akademisi, yang akan menjadi dewan pengarah musra. Setelah musyawarah dilakukan dan mengerucut pada satu nama, pihaknya akan membentuk badan pemenangan kandidat.
”Kami sudah diskusikan dengan Pak Jokowi. Prinsipnya kami ingin menggali sedalam-dalamnya dan menyerap sebesar-besarnya aspirasi rakyat,” ujarnya.
Ia mengakui, ada sejumlah nama yang selama ini kerap dibicarakan di lingkup internal Projo. Hal itu wajar karena pihaknya juga terus menggali figur potensial yang layak didukung. Meski demikian, hingga saat ini diskusi belum mengerucut pada satu sosok. ”Kami masih menunggu momentum yang pas,” katanya.
Selain ketepatan momentum, Projo juga sangat berhati-hati dalam menentukan kandidat yang akan didukung. Mereka ingin memastikan untuk menemukan sosok yang benar-benar bisa setia di garis rakyat. Pada tingkatan selanjutnya, penting pula untuk mendapatkan figur yang bisa melanjutkan program-program Jokowi. ”Pemerintahan arus gerak perubahan ini harus kita lanjutkan,” ujar Budi.
Pembentuk opini
Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting Sirojudin Abbas menilai, di tengah penjaringan kandidat capres, dukungan Projo sebagai kelompok sukarelawan menjadi penting karena mereka berpengaruh besar menggerakkan opini dan memobilisasi massa. Figur yang akan didukung melalui musyawarah rakyat akan mendapatkan legitimasi. Bukan hanya dari organisasi, melainkan juga dari klaim ”restu Jokowi” yang selalu mereka bawa.
Presiden harus terbuka dan seimbang terhadap semua calon.
”Projo sebetulnya tidak merepresentasikan pendukung Jokowi secara penuh, tetapi hanya salah satu unsur pendukung saja. Meski demikian, nama Projo menjadikan mereka lebih terasosiasi dengan Jokowi. Kekuatan mereka ada sejauh Presiden Jokowi mengakui dan mendukung mereka,” ujar Abbas.
Menurut dia, efek Jokowi untuk memperbesar peluang kemenangan seorang kandidat pada 2024 masih akan cukup besar. Hal itu dipengaruhi oleh tingkat kepuasan masyarakat pada kinerja Presiden. Untuk itu, Presiden sangat berkepentingan menjaga mayoritas publik tetap puas pada hasil kerjanya.
Meski demikian, ia mengingatkan Jokowi untuk tetap bersikap netral sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Berbeda dengan Projo, kelompok sukarelawan bebas menentukan siapa saja tokoh potensial capres yang akan didukung. ”Presiden harus terbuka dan seimbang terhadap semua calon,” kata Abbas.
Peneliti senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional Firman Noor sepakat, Projo merupakan kelompok sukarelawan yang berperan dalam membentuk opini publik terhadap seorang kandidat. Akan tetapi, dalam politik secara riil, kelompok tersebut tidak memiliki kekuatan karena pencalonan presiden dan wakil presiden ditentukan oleh partai politik (parpol).
Meski memiliki basis massa yang besar, pada akhirnya mereka harus membuat kesepakatan dengan parpol agar tokoh yang didukung bisa ikut berkontestasi di pilpres. Menurut Firman, posisi Projo sebagai kekuatan politik juga tidak lagi sama dengan pada era Pemilu 2014 dan 2019. Kekuatan utama yang berasal dari Jokowi kian meredup seiring dengan akan habisnya masa jabatan Presiden.
Besar kemungkinan, katanya, parpol sudah tidak lagi mempertimbangkan sosok yang didukung kelompok tersebut. ”Momentumnya (bagi Projo) sudah lewat. Saat ini pimpinan parpol pun cenderung ingin berjalan sendiri tanpa mempertimbangkan Jokowi,” ujarnya.
Terlebih, kata Firman, sosok yang paling mungkin dipilih oleh Projo adalah yang memiliki asosiasi paling dekat dengan Jokowi, yakni Ganjar. Hal itu semakin jelas dengan sinyal yang diberikan Jokowi saat membuka Rakernas V Projo. Berdasarkan suara publik yang terekam dalam berbagai survei, tingkat elektabilitas Ganjar memang konsisten berada di papan atas. Akan tetapi, Gubernur Jawa Tengah itu bukan tokoh yang populer di kalangan parpol.
Parpol asalnya, yakni PDI-P, belum tentu memberikan tiket capres kepada Ganjar. Partai lain, seperti Gerindra dan Golkar, sudah memiliki calon masing-masing. Bahkan, Golkar mulai membangun koalisi dengan Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sementara itu, partai lain, seperti Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), tidak memiliki kedekatan dengan Ganjar.
Selain itu, manuver-manuver menjelang Pilpres 2024 juga memperlihatkan bahwa parpol tidak lagi memprioritaskan hasil survei untuk menentukan kandidat capres. Mereka justru konsisten untuk melangkah sesuai dengan kepentingan partai masing-masing. ”Memang, Ganjar merupakan sosok yang populer di mata masyarakat awam, tetapi tidak populer di parpol. Sementara itu, penentu akhir pendaftaran capres bukan suara masyarakat. Ada satu fase yang memang hak milik parpol,” kata Firman.