"Survei Litbang Kompas": Ceruk Suara Pemilih Masih Terbuka
Kurang dari dua tahun jelang pendaftaran capres dan cawapres pada Pemilu 2024, masyarakat mulai memiliki preferensi tokoh pilihan. Namun, ceruk suara masih terbuka bagi para tokoh untuk meyakinkan calon pemilih.
Riak politik kian terasa seiring penetapan Pemilihan Umum 2024 berlangsung pada 14 Februari. Jika tidak ada perubahan, pendaftaran bakal calon presiden dan calon wakil presiden berlangsung 7-13 September 2023. Artinya, dalam kurun waktu sekitar 18 bulan mendatang, partai politik akan mempersiapkan sosok untuk diusung dalam suksesi kepemimpinan nasional 2024.
Kian dekatnya jadwal pendaftaran capres dan cawapres juga senada dengan semakin banyaknya masyarakat yang mulai punya preferensi pilihan politik. Indikasi ini tecermin dari hasil survei nasional Litbang Kompas. Dalam tiga periode survei terakhir, semakin banyak responden yang telah memiliki pilihan tokoh untuk didukung sebagai calon presiden.
Jika pada April 2021 masih terdapat 45,4 persen responden yang belum menentukan pilihan, kini jumlahnya semakin mengecil hingga mencapai 11,8 persen pada Januari 2022. Kondisi ini menyiratkan masyarakat mulai aktif mencari sosok yang dinilai tepat untuk pencalonan presiden pada 2024.
Naiknya preferensi politik masyarakat juga berbanding lurus dengan kenaikan elektabilitas sejumlah tokoh. Namun, nama-nama tokoh utama yang muncul di ruang publik masih tidak jauh berbeda dari periode survei sebelumnya.
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan masih menduduki tiga peringkat teratas. Sementara sejumlah nama seperti Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa, Menteri BUMN Erick Thohir, dan Ketua DPR Puan Maharani mulai muncul.
Baca juga: Survei Kompas : Tahun 2022 Jadi Momentum Partai Melumasi Mesin Politik
Basis dukungan
Tidak jauh berbeda dari survei sebelumnya, Prabowo Subianto masih meraih elektabilitas tertinggi (26,5 persen) dalam survei yang dilakukan Litbang Kompas pada 17-30 Januari 2022. Tingkat keterpilihan Prabowo naik hampir dua kali lipat dibanding Oktober 2021.
Jika menengok berdasarkan basis pemilih, lonjakan dukungan bagi Prabowo diraih dari berbagai lini. Berdasarkan gugus wilayah, misalnya, elektabilitas Prabowo naik pada seluruh wilayah, baik Indonesia bagian barat, tengah, maupun timur.
Lonjakan suara yang cukup masif tampak di daerah Indonesia bagian timur. Di Maluku dan Papua, misalnya, jika pada Oktober 2021 elektabilitas Prabowo di daerah itu hanya 9,1 persen, kini meningkat menjadi 32,3 persen. Sementara di Pulau Sumatera, gugus wilayah yang menjadi basis pendukung Prabowo pada Pilpres 2019, raihan dukungan juga meningkat dari 17 persen pada survei sebelumnya menjadi 30,8 persen.
Jika menengok berdasarkan basis pemilih, lonjakan dukungan bagi Prabowo diraih dari berbagai lini. Berdasarkan gugus wilayah, misalnya, elektabilitas Prabowo naik pada seluruh wilayah, baik Indonesia bagian barat, tengah, maupun timur.
Kenaikan basis dukungan Prabowo juga tampak dari pemilih dari berbagai jenjang pendidikan. Lonjakan dukungan tertinggi terlihat pada pemilih dengan latar belakang pendidikan dasar dari 15,4 persen pada Oktober 2021 menjadi 29,9 persen pada Januari 2022.
Kenaikan elektabilitas ini bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Pasalnya, jika melihat berdasarkan jejak preferensi politik pemilih Prabowo, kenaikan ini ditopang oleh kembalinya dukungan pemilih Prabowo pada Pilpres 2019. Saat ini, para pemilih Prabowo tiga tahun silam secara perlahan mulai mendukung Prabowo untuk kembali ke arena suksesi kepemimpinan nasional.
Baca juga: Survei "Kompas": PDI-P Masih di Puncak, Demokrat Geser Posisi Golkar
Jika pada Oktober 2021 hanya sepertiga pemilih Prabowo dalam Pilpres 2019 yang kembali memilihnya sebagai sosok capres, basis dukungan itu kini meningkat menjadi 42,1 persen. Tampaknya, kekecewaan sebagian pendukung akibat Prabowo bergabung dalam koalisi parpol pendukung pemerintahan perlahan mulai terkikis.
Hal senada juga tampak dari pendukung Gerindra. Jika pada Oktober 2021 hanya 42,9 persen pendukung Gerindra yang memilih Prabowo, kini meningkat menjadi 59 persen. Kondisi ini menyiratkan Prabowo mulai kembali dilirik para simpatisan yang mendukungnya dalam Pilpres 2019.
Selain Prabowo, Ganjar juga mencatatkan kenaikan tingkat keterpilihan dari 13,9 persen menjadi 20,5 persen. Jika sebelumnya Ganjar menempel ketat Prabowo, kenaikan elektabilitas Ganjar kini mulai tertinggal.
Kenaikan elektabilitas Ganjar turut ditopang limpahan suara dari pendukung Joko Widodo pada Pilpres 2019. Kini, hampir sepertiga (31,8 persen) pendukung Jokowi melabuhkan pilihannya pada Ganjar. Dukungan ini lebih besar dibanding periode Oktober 2021 saat Ganjar hanya memperoleh limpahan suara dari pendukung Jokowi sebesar 19,2 persen.
Kenaikan basis dukungan juga diterima Ganjar dari pemilih PDI-P. Saat ini, 43,4 persen pemilih PDI-P menyatakan mendukung Ganjar sebagai sosok capres. Raihan dukungan ini meningkat cukup signifikan dibandingkan dengan survei tiga bulan sebelumnya (26,2 persen).
Kenaikan elektabilitas Ganjar turut ditopang limpahan suara dari pendukung Joko Widodo pada Pilpres 2019. Kini, hampir sepertiga (31,8 persen) pendukung Jokowi melabuhkan pilihannya pada Ganjar. Dukungan ini lebih besar dibanding periode Oktober 2021 saat Ganjar hanya memperoleh limpahan suara dari pendukung Jokowi sebesar 19,2 persen.
Persoalannya, di balik kenaikan elektabilitas ini, pendukung Ganjar masih banyak terpusat di Pulau Jawa. Kenaikan elektabilitas Ganjar di Pulau Jawa saat ini juga lebih kecil dibanding pertumbuhan basis dukungan Prabowo di wilayah yang sama. Boleh jadi, kondisi ini turut dipengaruhi posisi Ganjar sebagai Gubernur Jawa Tengah sehingga mengalami keterbatasan menjangkau pemilih yang berada di luar Jawa, baik dari sisi isu maupun aksesibilitas politik untuk menyentuh langsung masyarakat di luar Jawa.
Selain Prabowo dan Ganjar, kenaikan elektabilitas juga diraih Anies dari 9,6 persen menjadi 14,2 persen. Kenaikan elektabilitas Anies turut ditopang dua hal. Pertama, bertambahnya dukungan terhadap Anies dari simpatisan partai oposisi, yakni PKS dan Partai Demokrat.
Pemilih PKS, misalnya, jika pada Oktober 2021 hanya 32,9 persen yang mendukung Anies sebagai capres, kini dukungan yang diterima Anies meningkat hingga mencapai 50 persen. Sejak bekerja sama dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017, Anies memiliki kedekatan dengan pemilih PKS.
Selain PKS, kenaikan basis dukungan juga diperoleh dari pemilih Demokrat dari 21,5 persen pada Oktober 2021 menjadi 27,1 persen saat ini. Kondisi ini bukanlah hal baru. Dalam beberapa survei sebelumnya, Anies menjadi salah satu pilihan dari pendukung Demokrat selain Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY.
Kenaikan elektabilitas Anies turut ditopang dua hal. Pertama, bertambahnya dukungan terhadap Anies dari simpatisan partai oposisi, yakni PKS dan Partai Demokrat.
Walakin, kenaikan basis dukungan yang diraih masih belum cukup mendongkrak posisi Anies. Pertumbuhan basis dukungan Anies di sejumlah gugus wilayah, seperti Sumatera dan Jawa, masih jauh lebih lambat dibanding pertumbuhan pendukung Prabowo dan Ganjar. Selain itu, posisi Anies yang belum memiliki kendaraan politik juga menjadi batu sandungan untuk memperlebar basis dukungan, baik di Jawa maupun luar Jawa.
Peluang
Di tengah kenaikan elektabilitas Prabowo, Ganjar, dan Anies, tampak belum ada satu pun sosok yang mendominasi. Basis suara Prabowo masih berkutat pada pemilih lama. Hingga kini, belum semua pemilih Prabowo pada Pilpres 2019 kembali mendukung sosok yang sama. Sebanyak 54,1 persen pendukung Prabowo pada 2019 masih melabuhkan dukungannya pada sosok lain, seperti Anies, Sandiaga Uno, Ganjar, AHY, dan Ridwan Kamil.
Sementara itu, Ganjar masih belum mampu memperluas wilayah basis pendukungnya secara signifikan. Anies juga masih belum mampu mempercepat kenaikan basis dukungan dibandingkan dengan Prabowo dan Ganjar. Kondisi ini menyiratkan ceruk suara masih terbuka dan belum terkonsentrasi pada satu calon semata. Artinya, selain ketiga tokoh ini, tokoh-tokoh lain masih berpotensi mendulang dukungan.
Apalagi, ada 38,8 persen suara yang tak memilih Prabowo, Ganjar, dan Anies sebagai calon presiden. Suara ini terdistribusi pada sejumlah sosok lain, seperti Sandiaga, AHY, Basuki Tjahaja Purnama, Tri Rismaharini, Ridwan Kamil, dan Erick Thohir. Sementara itu, sebagian responden lain belum menentukan pilihan.
Suara 38,8 persen yang terdistribusi pada sejumlah tokoh itu tentu bukan jumlah yang sedikit. Boleh jadi, suara ini mengerucut pada dukungan terhadap satu atau dua nama sehingga berpotensi memunculkan poros yang tak terduga di pencalonan presiden nanti.
Bagaimanapun, kalkulasi politik masih belum final. Dalam 19 bulan mendatang, segala kemungkinan masih terbuka. Setiap tokoh masih memiliki waktu dan peluang untuk menambah dukungan suara hingga menjelang Pilpres 2024.