Survei Indikator: Kepuasan Kinerja Presiden di Titik Terendah dalam Enam Tahun
Alasan ketidakpuasan pada kinerja Presiden tertinggi karena harga kebutuhan pokok yang meningkat. Dua alasan tertinggi berikutnya, bantuan yang tidak merata dan problem lapangan kerja atau pengangguran.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tingkat kepuasan publik pada Presiden Joko Widodo berada di titik terendah dalam enam tahun terakhir. Memasuki tahun politik, tantangan Presiden menjaga kepuasan publik kian berat karena kemungkinan terjadinya dualisme kesetiaan dari elite partai politik di kabinet Presiden.
Angka kepuasan publik pada Presiden yang mencapai titik terendah tersebut berbasiskan survei Indikator Politik Indonesia pada 5-10 Mei 2022. Survei yang dirilis secara daring, Minggu (15/5/2022), dilakukan terhadap terhadap 1.228 responden yang dipilih melalui proses pembangkitan nomor telepon secara acak, validasi, dan screening. Margin of error survei diperkirakan lebih kurang 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Wawancara survei dilakukan melalui telepon.
Dari hasil survei, sebanyak 58,1 persen responden menyatakan puas dan sangat puas pada kinerja Presiden. Adapun yang menilai kurang puas dan tidak puas sebanyak 35,1 persen. Angka kepuasan pada Presiden itu menurun jika dibandingkan survei Indikator pada April, yakni 64,1 persen. Bahkan, angka kepuasan tersebut berada di titik terendah jika dibandingkan survei berkala sejak Januari 2016 atau enam tahun lalu. Sebelum Januari 2016, tingkat kepuasan pada Presiden pernah jatuh lebih dalam ke angka 40,7 persen, persisnya pada survei Juni 2015.
”Ini menjadi titik terendah dalam enam tahun terakhir,” ujar Direktur Eksekutif Indikator Polirik Indonesia Burhanuddin Muhtadi.
Masih mengacu pada hasil survei, alasan ketidakpuasan publik pada Presiden tertinggi karena harga kebutuhan pokok yang meningkat (28,9 persen responden). Dua alasan tertinggi berikutnya, bantuan tidak merata (10,7 persen) yang kemungkinan disebabkan distribusi bantuan langsung tunai minyak goreng yang tak tepat sasaran, kemudian lapangan kerja/pengangguran (8,4 persen).
Sementara itu, dari mereka yang menyatakan puas dengan kinerja Presiden, alasan utama karena kerja Presiden membangun infrastruktur (27,7 persen), kinerjanya sudah bagus (20,1 persen), dan memberi bantuan kepada rakyat kecil (12,7 persen).
Selain soal tingkat kepuasan pada kinerja Presiden, hasil survei memperlihatkan terus menurunnya penilaian publik atas kondisi penegakan hukum. Pada survei periode Mei, sebanyak 29,1 persen melihat baik dan sangat baik keadaan penegakan hukum sedangkan yang menilai sedang 34,6 persen, dan yang menilai buruk dan sangat buruk 27,8 persen. Penilaian baik dan sangat baik dari publik tersebut terus memburuk sejak survei pada 2017 dan kini berada di titik terendah.
Adapun pandangan publik mengenai keadaan ekonomi nasional cenderung meningkat sejak survei pada Mei 2020. Di awal masa pandemi Covid-19 itu, hanya 6,7 persen yang menilai baik keadaan ekonomi nasional sedangkan pada survei Mei ini, 30,3 persen menilai baik dan sangat baik. Meski demikian, jika dibandingkan survei April, ada penurunan. Kala itu, angkanya di 33,1 persen.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar, yang jadi salah satu pembicara untuk menanggapi survei Indikator, mengingatkan, tantangan Presiden menjaga kepuasan publik bakal kian berat ke depan.
Hal ini terutama karena mendekati Pemilu 2024, terutama ketika saat ini mesin politik telah dinyalakan sejumlah aktor elektoral, termasuk partai politik, biasanya akan muncul dualisme kesetiaan dari elite parpol di kabinet Jokowi. Namun, kesetiaan itu justru sering kali berpihak pada kepentingan parpol alih-alih menjalankan tugasnya sebagai menteri.
”Bahkan, hal ini sudah terjadi saat ini. Beberapa menteri kayak duluan kampanye pribadi. Kemudian ketika Kantor Staf Kepresidenan kemarin mengingatkan menteri yang akan berkontestasi di 2024, itu bisa dibaca sinyal bahwa menteri sudah mulai kasak-kusuk untuk kepentingan 2024, termasuk kepentingan partai politik menteri tersebut,” ujarnya.
Gejala tersebut, kata Zainal, sangat mungkin makin kuat menjelang 2024 karena banyaknya elite parpol di kabinet Jokowi. Implikasi dari hal itu, efektivitas pemerintahan Jokowi dipertaruhkan, bahkan, menurut dia, sangat mungkin bisa terganggu.
”Kalau menteri sudah menjauhi dari presiden, biasanya yang paling mungkin Presiden lakukan untuk menjaga jalannya pemerintahan adalah dengan ’menikahi’ pemerintah daerah. Maka, mungkin saja, momentum penunjukan penjabat-penjabat kepala daerah bisa menjaga efektivitas kinerja pemerintah. Ini selama penunjukan itu tidak untuk kepentingan politik 2024,” ujarnya.