Pendekatan Perang Melawan Narkoba, Masihkah Relevan?
Meski perang terhadap narkoba terus dilakukan, jumlah kasus narkoba tak menyusut. Wilayah yang terkontaminasi kasus narkoba pun kian meluas. Kebijakan politik hukum dalam penanganan kasus narkoba perlu dikaji ulang.
Sekitar satu bulan lalu, petugas Lembaga Pemasyarakatan Serang, Provinsi Banten, menemukan dua bungkus paket sabu yang dimasukkan ke dalam sayur asem. Sabu yang dibungkus dalam plastik putih kecil itu dimasukkan ke dalam jagung. Bagaimana caranya?
Bagian tengah jagung (bonggol) dilubangi, kemudian plastik berisi sabu dimasukkan ke dalamnya. Petugas rupanya sudah sangat paham cara-cara memasukkan barang-barang terlarang ke dalam penjara sehingga ketika memeriksa kiriman sayur asem diaduk-aduk sedemikian rupa untuk mencari benda-benda mencurigakan.
Beda lagi dengan petugas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Banyuwangi yang menemukan enam paket sabu yang diselundupkan melalui sabun batangan. Beda lagi dengan petugas Rumah Tahanan (Rutan) Siak yang pada 11 Maret lalu juga menggagalkan penyelundupan sabu-sabu dalam sayur yang diantarkan untuk salah satu penghuni rutan.
Menurut Kepala Rutan Siak Tonggo Butarbutar, kejadian tersebut merupakan peristiwa upaya penyelundupan obat-obatan terlarang ke empat dalam tiga bulan terakhir.
Baca juga: Indonesia Jadi Pasar Tiga Sindikat Narkotika Internasional
Banyak upaya yang dilakukan pihak luar lapas dan rutan untuk menyelundupkan narkotika ke dalam penjara. Tak hanya melalui sayur ataupun sabun, paket sabu dan obat-obatan lain, seperti pil double L, berupaya dimasukkan secara legal ke lapas/rutan. Cara yang digunakan, misalnya, dicampurkan ke dalam botol sabun cair, diselipkan ke dalam sandal yang sengaja disobek, dan lain-lain. Cara-cara yang digunakan sangat ”kreatif” agar dapat mengelabui pemeriksaan petugas.
Kisah seperti itu agaknya tak akan pernah berakhir selama penghuni lapas dan rutan mayoritas adalah para pengguna dan pencandu obat-obatan terlarang. Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy OS Hiariej dalam diskusi dengan kelompok masyarakat sipil beberapa waktu lalu mengungkapkan, hampir 70 persen penghuni penjara di Indonesia adalah pengguna narkoba. Bahkan, di Sumatera Utara, Eddy mendapatkan informasi bahwa 25.000 dari total penghuni 35.000-an adalah pengguna narkoba.
Untuk diketahui, total kapasitas lapas dan rutan yang ada di Sumut hanya 13.000-an. Hingga kini ada kelebihan penghuni hampir 300 persen.
Apa yang disampaikan Wamenkumham tersebut menjadi gambaran atau potret kondisi kebanyakan lapas dan rutan yang ada saat ini.
Berdasarkan data terkini jumlah penghuni dan jenis tindak pidana yang dirilis Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM melalui situs sdppublik.ditjenpas.go.id, jumlah narapidana kasus narkotika 131.293 orang per 15 April 2022. Jumlah tersebut terdiri dari narapidana pengguna narkoba 97.143 orang dan bandar/pengedar/produsen/penadah sebanyak 12.303 orang. Adapun penghuni berstatus tahanan kasus penggunaan narkota 18.949 orang dan bandar/pengedar/produsen/penadah 2.898 orang.
Banyaknya pengguna narkoba yang berakhir di penjara dan bukan di tempat rehabilitasi dinilai sangat terkait dengan politik hukum pemerintah terhadap kejahatan narkoba. Sejak 2015, di awal pemerintahan Presiden Joko Widodo, genderang perang terhadap narkoba ditabuh. Sejak itu pula, jumlah kasus narkotika meningkat tajam. Ini setidaknya tergambar dari Statistik Kriminal yang dikeluarkan Badan Pusat Statistika tiap tahunnya, seperti dikutip oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
Pada 2014, misalnya, tercatat perkara narkotika sebanyak 19.280 kasus. Jumlah itu menjadi 39.171 kasus pada 2015. Kemudian setahun berikutnya, yaitu pada 2016, ada 35.412 kasus kejahatan terkait dengan penggunaan barang-barang haram tersebut. Jumlah ini naik kembali dengan 36.478 kasus pada 2019 dan 36.611 pada 2020.
Hanya saja, meski perang terhadap narkoba dilakukan dan makin banyak aparat penegak hukum mengirim orang ke penjara, wilayah yang terkontaminasi kasus penyalahgunaan narkoba kian banyak. Hal ini tergambar dalam Statistik Kriminal 2021 yang dirilis BPS terkait kian masifnya jumlah desa yang ditemukan kejahatan penyalahgunaan atau peredaran narkoba.
Disebutkan, ada lonjakan yang cukup ekstrem. Jika pada 2011 terdapat 5,22 persen desa yang memiliki kejadian penyalahgunaan narkotika, pada 2014 jumlahnya menjadi 7,22 persen. Angka itu naik hingga dua kali lipat pada tahun 2018 dengan 14,99 persen desa sudah terjangkau jenis kejahatan tersebut. Hal ini tentunya menjadi permasalahan yang cukup serius dan harus menjadi perhatian agar perkembangan kejadian ini dapat ditekan atau bahkan diturunkan di kemudian hari.
Rehabilitasi
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebenarnya sudah mengatur bahwa salah satu tujuan pembentukan undang-undang tersebut adalah menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pencandu narkotika.
Hal ini setidaknya termaktub di dalam Pasal 4, yang kembali ditegaskan di dalam Pasal 54. Pasal itu menyebutkan pencandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Hakim pun dapat memutus dan menetapkan terdakwa pencandu narkotika yang diajukan ke persidangan agar direhabilitasi (Pasal 103).
Namun, jaminan rehabilitasi untuk pencandu yang diberikan oleh dalam sejumlah pasal di UU Narkotika itu menemui jalan berliku. Sebab, kebijakan narkotika Indonesia masih mengtur kemungkinan bagi pencandu dan penyalah guna dijerat pidana. Pasal 127 UU Narkotika mengatur ancaman pidana bagi penyalah guna narkotika golongan I (empat tahun) dan II (dua tahun) bagi kepentingan diri sendiri.
Ada lagi pasal penguasaan (Pasal 112) yang sering kali diberlakukan oleh tim penyidik dan penuntut umum bagi golongan pengguna/pencandu narkotika. Pasal itu mengatur larangan seseorang memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I bukan tanaman dan ancaman pidananya. Meskipun ada jaminan bagi pengguna/pencandu untuk direhabilitasi, Pasal 127 dan Pasal 112 sangat sering diberlakukan bagi mereka.
Padahal, berdasarkan penelitian ICJR terhadap sejumlah putusan MA, pasal penguasaan narkoba tersebut sedianya digunakan untuk menjerat pelaku peredaran gelap. Pada putusan 24 K/Pid.Sus/2014 dan 443 K/Pid.Sus/2015 dinyatakan, unsur memiliki, menguasai, atau menyimpan atau menyediakan narkotika tidak terpenuhi apabila penguasaan narkotika oleh terdakwa bukan untuk tujuan peredaran gelap narkotika, misalnya diperdagangkan, diperjualbelikan, atau disalurkan, atau didistribusikan secara melawan hak atau melawan hukum. Penguasaan dengan tujuan semata-mata digunakan sendiri atau bersama-sama dengan rekan terdakwa tidak dapat dijerat dengan Pasal 111 Ayat (1) dan Pasal 112 Ayat (1) UU Narkotika.
Ada beberapa putusan lain yang serupa. Misalnya, putusan Nomor 14 K/Pid.Sus/2015, 52 K/Pid.Sus/2016, dan 72 K/Pid.Sus/2016 yang menyatakan, untuk menggunakan narkotika, terdakwa tentu harus menguasai dan membawa terlebih dahulu. Namun, hal itu tidak serta-merta dapat dijerat dengan pasal penguasaan. Untuk itu, dalam menangani kasus narkoba, aparat penegak hukum harus melihat tujuan penguasaan narkotika.
Dalam putusan 443 K/Pid.Sus/2015 sebagaimana dikutip ICJR, untuk mengetahui seorang terdakwa pengedar atau penyalah guna narkoba bisa dilihat dari beberapa kriteria. Di antaranya, maksud/niat membeli, memiliki, menguasai, menyimpan narkotika. Selain itu, perlu dipertimbangkan jumlah narkotika yang dimiliki, terdakwa sudah menggunakan narkotika berkali-kali sehingga ada indikasi kecanduan atau ketergantungan, hasil urine positif menggunakan barang tersebut, hasil tes kesehatan merekomendasikan terdakwa untuk menjalani rehabilitasi, serta yang terpenting tidak terikat dalam jaringan atau sindikat peredaran gelap narkotika.
Reformasi kebijakan narkotika
Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN), gabungan sejumlah organisasi masyarakat sipil yang fokus terhadap persoalan narkotika termasuk di antaranya ICJR, menyampaikan sejumlah rekomendasi. Yang terpenting di antaranya adalah dihapuskannya ancaman pidana bagi pengguna narkoba.
Eddy OS Hiariej dalam paparannya mengatakan setuju dengan usulan bahwa pengguna sebaiknya tidak dipidana. Penyalahgunaan narkotika termasuk kejahatan tanpa korban atau criminal without the victim atau victimless. Orang lain tidak dirugikan. Maka, ia pun sepakat jika penyalah guna narkotika ataupun pencandu narkotika tidak diproses hukum melainkan direhabilitasi.
Ia juga sepakat bahwa dekriminalisasi pengguna narkoba penting sebab memang tidak dimungkiri bahwa penghuni lapas dan rutan adalah kalangan pengguna narkoba.
Dalam rapat dengar pendapat umum Komisi III DPR dengan ICJR, dan sejumlah organisasi antinarkoba, mengemuka usulan agar Pasal 127 UU Narkotika yang menjerat pengguna narkoba untuk kepentingan diri sendiri dihapuskan.
Dalam upaya untuk mengantarkan pencandu/penyalah guna narkoba ke tempat rehabilitasi, menurut Direktur ICJR Erasmus Napitupulu, diperlukan panel asesmen yang nantinya menentukan tindak lanjut penanganan sebuah kasus narkotika. Apabila pendekatan kesehatan masyarakat yang dilakukan, tim asesmen diisi orang yang berwenang menyatakan bahwa yang bersangkutan memiliki problem ketergantungan atau adiksi.
Saat ini, tim asesmen yang ada di Indonesia masih beranggotakan aparat penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan. Hal ini, menurut Erasmus, mengakibatkan adanya sejumlah permasalahan. Sebab, asesmen yang seharusnya menentukan seseorang merupakan pengguna/pencandu atau bukan menjadi salah satu mekanisme praajudikasi lainnya.
”Kalau mau pendekatan kesehatan, ya, serahkan kepada tim kesehatan. Pertanyaannya, apakah kita mampu? Mampu. Puskesmas saja ada di seluruh Indonesia. Bahkan, lebih banyak jumlah puskesmas daripada jumlah BNN di seluruh Indonesia,” kata Erasmus.
Erasmus menyarankan agar negeri ini berkaca pada Portugal dengan kisah suksesnya menangani kasus narkoba ketika berdamai dengan narkotika dalam sistem peradilan pidana mereka. Alih-alih mengalokasikan dana mereka untuk membiayai sistem peradilan yang memenjarakan para pengguna, mereka mengubah pendekatan dengan memutuskan untuk mengivestasikan lebih banyak uang untuk kesehatan.
Tahun 2001, Portugal mengambil langkah radikal. Negara tersebut menjadi negara pertama di dunia yang mendekriminaliasi konsumsi semua obat-obatan terlarang. Sebuah studi yang diadakan pada tahun 2015 menemukan, sejak Portugal melakukan strategi nasional baru dalam mendekati kasus penggunaan narkoba, ongkos sosial penyalahgunaan obat-obatan terlarang per kapita menurun 18 persen. Persentase orang di dalam penjara karena melanggar UU narkotika telah menurun secara dramatis dari 44 persen pada 1999 menjadi 24 persen pada 2013.
Dengan mengedepankan pendekatan kesehatan terhadap penyalah guna obat-obatan terlarang, antara tahun 1998 hingga 2011 jumlah orang yang mengikuti rehabilitasi (drug treatment) meningkat hingga lebih dari 60 persen. Ini setidaknya diungkap dalam laporan Time.com berjudul ”Want to Win the War on Drugs? Portugal Might Have the Answer” yang dipublikasikan pada 1 Agustus 2018 pukul 06.09.
Lantas, bagaimana dengan aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan juga badan seperti Badan Nasional Narkotika (BNN)? Erasmus sepakat jika BNN dapat diperkuat secara kelembagaan, tetapi fokus untuk mengejar peredaran gelap narkoba yang melibatkan bandar dan para pengedar.
Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, dalam rapat dengar pendapat dengan ICJR dan pegiat antinarkoba mengungkapkan, selain Portugal, beberapa negara Skandinavia, seperti Norwegia dan Ceko, juga memang sudah mengubah kebijakan politik hukum mereka terhadap narkoba. Namun, dalam konteks Indonesia, Arsul meminta ICJR untuk membantu usulan agar penanganan kasus narkoba tidak seliberal Portugal. Akan tetapi, penanganan kasus narkoba juga tidak seperti sekarang ini, yakni pengguna bisa berakhir di penjara. Ia meminta adanya jalan tengah bagi dua pendekatan yang berbeda tersebut.
Baca juga: Revisi UU Narkotika Buka Peluang Atasi Kelebihan Kapasitas Lapas
Soal jalan tengah, Erasmus menilai, dekriminalisasi pengguna narkoba dan penguatan penegakan hukum untuk mengejar sindikat peredaran obat-obatan terlarang tersebut sudah merupakan jalan tengah untuk mengatasi persoalan narkoba di negeri ini. Termasuk juga persoalan kelebihan penghuni di lapas dan rutan yang sulit ditangani dengan hanya menambah kapasitas penjara.
Diskusi mengenai politik hukum yang hendak digunakan dalam menangani penyalahgunaan narkoba masih panjang. Keseriusan dibutuhkan untuk mencari solusi agar narkoba tidak merusak generasi muda yang bakal menentukan masa depan Merah Putih.