Tiket Capres dari Parpol Ditentukan Segelintir Elite, UU Parpol Digugat
Pemohon uji materi sejumlah pasal di UU Partai Politik mengusulkan sistem pemilihan pendahuluan diterapkan oleh parpol untuk menentukan capres-cawapres yang diusung parpol guna meminimalkan dominasi elite parpol.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Tidak adanya pengaturan mengenai mekanisme yang terbuka dan transparan dalam pemilihan bakal calon presiden di internal partai politik berimplikasi pada kewenangan otoriter dan oligarki elite partai sebagai penentu tunggal calon yang akan diusung di pemilu presiden. Partai politik diharapkan menggelar sistem pemilihan pendahuluan atau primary election untuk mengurangi sentralnya peran ketua umum atau elite partai dalam memilih calon presiden.
Berkaitan dengan hal tersebut, empat warga negara termasuk salah satunya anggota DPRD Kabupaten Dogiyai, Papua, dari Partai Nasdem, Elko Tebai, meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memberi tafsir terhadap Pasal 29 Ayat (1) huruf c dan d, serta Pasal 29 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Para pemohon tersebut didampingi Dixon Sanjaya. MK menggelar sidang perdana terkait perkara tersebut, Senin (18/4/2022), dengan dipimpin Wakil Ketua MK Aswanto didampingi hakim konstitusi Wahiduddin Adams dan Enny Nurbaningsih.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Pasal yang diuji mengatur tentang fungsi partai melakukan rekrutmen terhadap bakal calon presiden dan wakil presiden. Rekrutmen dilakukan demokratis dan terbuka sesuai dengan anggaran dasar (AD) dan anggaran rumah tangga (ART) partai politik serta peraturan perundang-undangan.
Nixon menyampaikan, para pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya sebab tidak memperoleh perlindungan hukum yang adil. Sebab, slogan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dalam sistem demokrasi Indonesia ternyata aslinya adalah ”dari partai, oleh partai, untuk oligarki”. ”Rakyat hanya bisa tunduk dan disuapi oleh partai politik dan oligarki. Rakyat seolah-olah memiliki hak untuk memilih, tetapi dalam pelaksanaannya pilihan tersebut telah disediakan oleh oligarki partai politik,” ujar Dixon.
Hal tersebut dinilai telah menimbulkan ketidakpastian dan ketidakjelasan hukum baik secara normatif maupun implementatif sehingga bertentangan dengan asas pemilu, serta melahirkan masalah nepotisme dalam proses pemilu.
Dixon juga menyoroti sikap otoriter dari elite partai yang terkadang melontarkan pernyataan ”apabila tidak tunduk pada aturan partai atau tidak menerima keputusan partai, silakan keluar dari partai”. Selain menggambarkan sikap otoriter, hal tersebut juga sekaligus mematikan atau mengucilkan semangat dan prinsip dalam berdemokrasi. Prinsip demokrasi bagaimanapun harus diterapkan di internal partai agar segala sesuatu berjalan tidak hanya bergantung pada pemimpin parpol tersebut.
UU Parpol, tambahnya, tidak mensyaratkan bagi parpol melakukan seleksi, kaderisasi, dan rekrutmen bakal capres/cawapres. Kondisi itu dianggap membahayakan proses suksesi kepemimpinan nasional karena ada kecenderungan capres/cawapres berasal dari elite partai tertentu atau memiliki kedekatan dengan parpol tertentu.
Pemohon pun memberikan jalan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Untuk meminimalkan dominasi elite partai politik dalam penentuan capres/cawapres, sistem pemilihan pendahuluan atau primary election perlu diterapkan. Sistem ini dimaksudkan untuk memilih kandidat yang akan menjadi pejabat publik yang nantinya dipilih melalui pemilu. Primary election dapat dilakukan tertutup (artinya hanya anggota parpol atau simpatisannya yang memilih kandidat) dan primary election terbuka yang memungkinkan semua pemilih untuk memilih kandidat yang akan diajukan partai dalam pemilu.
Dalam sepanjang sejarah pemilihan umum di Indonesia sejak 2004, tambah pemohon, hanya dua partai yang pernah menerapkan sistem primary election. Partai politik lain cenderung tunduk pada keputusan ketua umum partai, majelis tinggi, atau istilah lainnya untuk menggambarkan elite poitik yang memiliki hak mutlak (prerogative) untuk menentukan calon presiden dari partainya. Ini dianggap tak sesuai dengan prinsip demokrasi.
Setelah mendengar uraian dari Dixon Sanjaya, hakim konstitusi Enny Nurbaningsih meminta pemohon menguraikan kerugian konstitusional yang diderita akibat pemberlakuan norma Pasal 29 UU Parpol. ”Anda belum menjelaskan apa kerugian konstitusional yang diderita pemohon. Anda harus menguraikan satu per satu. Apa bentuk kerugiannya, apa hubungan sebab akibatnya. Kalau ini tidak bisa diuraikan, agak sulit untuk diberikan legal standing,” ujarnya.
Hal senada juga ditanyakan oleh hakim konstitusi Aswanto. Menurutnya, dalam berkas permohonan yang diajukan, belum tampak kerugian konstitusional yang dialami para pemohon. ”Pasal yang diajukan sebagai dasar pengujian itu nggak cuma dilekatkan. Tapi diuraikan, bahwa hak yang diberikan oleh UUD itu dirugikan oleh pasal yang diuji. Perlu elaborasi kembali secara komprehensif sehingga MK bisa memahami bahwa betul-betul ada kerugian konstitusional,” ungkapnya.