Pada 2022 ada 101 kepala daerah yang akan diganti penjabat kepala daerah. Lebih dari separuh responden jajak pendapat ”Kompas” ragu dan tak yakin penunjukan penjabat ini bebas dari kepentingan politik.
Oleh
EREN MARSYUKRILLA, Litbang Kompas
·5 menit baca
Sepanjang tahun 2022 hingga 2023, sebanyak 272 daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir, terdiri dari 24 gubernur dan 248 bupati/wali kota. Dari jumlah itu, ada 101 kepala daerah yang berakhir masa jabatannya pada 2022. Mereka akan digantikan oleh penjabat kepala daerah yang akan menjabat sampai ada kepala daerah definitif hasil Pilkada Serentak 2024 yang akan berlangsung 27 November.
Hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu menunjukkan adanya keraguan publik terhadap penunjukan penjabat kepala daerah itu. Lebih dari separuh responden ragu atau tidak yakin bahwa pengisian penjabat kepala daerah terbebas dari kepentingan politik.
Besarnya porsi keraguan publik itu jadi pekerjaan rumah yang harus dijawab dengan bukti nyata bahwa tak ada pihak mana pun yang bisa ”bermain” dalam penunjukan penjabat kepala daerah. Apalagi, penunjukan penjabat kepala daerah sedikit banyak masih dalam satu rangkaian agenda besar penyelenggaraan Pemilu 2024.
Hasil jajak pendapat mendapati, 66,1 persen responden mengaku tidak tahu akan ada kekosongan pemimpin definitif di ratusan daerah jelang Pemilu dan Pilkada Serentak 2024.
Secara garis besar, munculnya ketidakyakinan publik terhadap penunjukan penjabat kepala daerah berakar pada asas keterbukaan dan pelibatan publik yang dirasa belum terpenuhi. Penunjukan penjabat secara transparan mutlak diperlukan sebagai wujud penegakan demokrasi yang mengedepankan pengawasan bersama.
Transparansi
Rasa ketidakyakinan memang akan menebal ketika pengisian penjabat kepala daerah terkesan tertutup dan berjarak dengan masyarakat. Jajak pendapat Kompas mengungkap, 56,5 persen responden berpandangan penunjukan penjabat kepala daerah yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini di bawah koordinasi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), belum dilakukan secara transparan.
Keterbukaan penunjukan penjabat kepala daerah memiliki urgensi besar untuk meneguhkan kepercayaan publik. Oleh karena itu, agenda penentuan penjabat tidak boleh hanya menjadi konsumsi elite. Pelibatan masyarakat atas setiap proses yang berjalan tidak hanya sebagai bentuk komitmen transparansi, tetapi juga menumbuhkan pengakuan publik terhadap pemimpin daerahnya. Dengan demikian, pemerintah perlu melihat jeli pengisian penjabat ini sebagai agenda yang mutlak harus tersosialisasi apik kepada masyarakat.
Jajak pendapat Kompas mengungkap, 56,5 persen responden berpandangan, penunjukan penjabat kepala daerah yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini di bawah koordinasi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), belum dilakukan secara transparan.
Persoalan komunikasi publik menyangkut hajat pemimpinnya di daerah ini tampaknya masih belum berjalan optimal. Hasil jajak pendapat mendapati, 66,1 persen responden mengaku tidak tahu akan ada kekosongan pemimpin definitif di ratusan daerah jelang Pemilu dan Pilkada Serentak 2024.
Keterbukaan dan komunikasi kepada masyarakat terhadap setiap pengisian penjabat kepala daerah setidaknya dapat menjadi cara untuk tetap menghadirkan ”kedaulatan” masyarakat atas penjabat kepala daerah terpilih sekalipun tidak langsung dipilih lewat pemungutan suara.
Sebagai konsekuensi dari peniadaan pemilihan kepala daerah pada 2022 dan 2023, sesuai amanat Undang-Undang Pilkada, mekanisme pengisian kekosongan pemimpin daerah oleh penjabat sampai terpilihnya kepala daerah definitif hasil pemilihan tentu tak dapat disamakan dengan keadaan saat terjadi kekosongan kepala daerah yang disebabkan bersangkutan berhalangan atau sedang cuti.
Perbedaan konsekuensi dan proses itu menuntut mekanisme yang perlu diatur khusus sehingga prosesnya dapat berjalan dengan rambu yang jelas. UU Pilkada mengamanatkan, pengisian kekosongan jabatan kepala daerah dilakukan melalui penunjukan pejabat aparatur sipil negara (ASN) sesuai dengan tingkatan struktural pemerintahan yang ditetapkan. Dalam regulasi itu dijelaskan, kekosongan jabatan gubernur akan diisi oleh jabatan pimpinan tinggi (JPT) madya, sementara untuk kepala daerah tingkat dua, penjabat dipilih dari JPT pratama.
Berdasarkan kondisi demikian, kiranya sangat penting untuk menghadirkan regulasi teknis yang lebih detail mengatur penentuan calon penjabat, mulai dari tahap penyaringan hingga menemukan pejabat terpilih sebagai sosok yang dinilai mumpuni memimpin daerah. Dengan demikian, pengisian penjabat kepala daerah dapat lebih tersistematis dan akuntabel sehingga kian dipercaya publik.
Namun, hingga jelang periode awal dilakukannya pengisian penjabat, peraturan teknis masih dalam perumusan. Padahal, dapat dikatakan, aturan teknis ini menjadi kunci untuk memperjelas kriteria dan tahapan yang perlu dijalankan dalam penunjukan penjabat kepala daerah. Hal ini penting agar penunjukan penjabat tidak lagi menyisakan polemik di kemudian hari yang tentunya justru mengganggu kinerja penjabat terpilih.
Sementara itu, pandangan responden cukup terbelah dalam melihat sudah atau tidaknya penunjukan penjabat berpijak pada aturan yang telah ditetapkan. Terdapat 39,5 persen responden berpandangan sejauh ini penunjukan penjabat kepala daerah tak dilakukan sesuai aturan. Sementara sepertiga lainnya menilai proses tersebut telah dilaksanakan sesuai ketentuan.
Temuan tersebut selayaknya pula menjadi perhatian bagi para penyelenggara negara berwenang untuk kembali kokoh berpijak pada aturan dalam mengisi kekosongan jabatan kepala daerah. Wacana pengisian penjabat kepala daerah dari kalangan TNI dan Polri aktif yang menimbulkan kritik boleh jadi bentuk dari kekhawatiran bersama terhadap berulangnya dominasi kekuatan non-sipil di dalam pemerintahan, termasuk di tingkat daerah, dengan proses yang tersentral dari pusat.
Bahkan, narasi yang berkembang mengenai minimnya jumlah kandidat penjabat dari ASN semestinya telah dapat disudahi setelah Kemendagri menjelaskan bahwa jumlah ASN yang memenuhi kriteria untuk menjadi penjabat sangat memadai. Dalam catatan Kemendagri, jumlah ASN JPT madya mencapai 622 pejabat, sementara untuk JPT pratama tak kurang dari 4.626 pejabat.
Jumlah itu sangat lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan 271 pos penjabat kepala daerah. Ribuan pejabat tinggi itu merupakan jajaran profesional yang tentunya akan diseleksi untuk menemukan sosok yang dinilai paling berkapabilitas memimpin daerah.
Hal ini pun sejalan dengan pandangan 63,4 persen responden yang sepakat bahwa penjabat kepala daerah selayaknya diisi oleh kalangan pejabat birokrat yang diatur dalam ketentuan undang-undang. Pertimbangannya pada latar belakang pengalaman bekerja, pemahaman akan tata kelola pemerintahan, hingga profesionalitas aparatur sipil itu yang tidak perlu diragukan lagi.
Pada akhirnya, publik berharap mendapatkan sosok penjabat kepala daerah yang amanah. Selayaknya, pemerintah menjamin pengisian penjabat kepala daerah dilakukan secara terbuka, transparan, bahkan idealnya melibatkan perwakilan masyarakat guna mengikis keraguan publik.