Pemekaran Tak Jamin Perbaikan Kesejahteraan Rakyat Papua
Pantauan KPPOD, pemekaran daerah selama ini banyak yang tak berhasil. Daerah otonom baru masih tertinggal dari sisi fiskal daerah, kesejahteraan masyarakat, ataupun Indeks Pembangunan Manusia.
JAKARTA, KOMPAS — Rencana memekarkan Provinsi Papua haruslah memperhatikan aspirasi dan kepentingan masyarakat Papua. Pemerintah dan DPR harus memastikan pemekaran itu akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua. Mengingat, belajar dari banyak pengalaman pemekaran wilayah di Tanah Air, kebijakan itu tidak serta-merta memberikan dampak perbaikan kesejahteraan bagi masyarakat di wilayah yang dimekarkan.
Rencana pemekaran Papua itu pun dipandang tidak sesuai dengan kebijakan moratorium pemekaran daerah yang dilakukan pemerintah sejak 2014.
Saat ini, proses legislasi pemekaran tiga wilayah provinsi baru di Papua sedang berjalan di DPR. Komisi II DPR mengusulkan pemekaran wilayah Papua dengan membentuk tiga daerah otonomi baru (DOB), yakni Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan Tengah. RUU soal tiga provinsi baru Papua itu telah disetujui dalam rapat pleno pengambilan keputusan atas hasil harmonisasi RUU di Badan Legislasi DPR. RUU itu pun segera diusulkan menjadi RUU inisiatif DPR dalam rapat paripurna terdekat.
Ketua DPR Puan Maharani dalam keterangannya, Jumat (8/4/2022), di Jakarta, mengatakan, pemekaran wilayah di Papua bertujuan agar ada peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat Papua. Dengan penambahan provinsi, Puan berharap Papua bisa semakin maju.
Baca juga : Upaya Pembentukan Tiga Provinsi Baru di Papua Bergulir di DPR
”RUU yang mengatur pemekaran tiga wilayah baru ini juga sebagai upaya untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat Papua,” ucapnya.
Menurut rencana, Provinsi Papua Selatan (Ha Anim) akan menjadikan Merauke sebagai ibu kota, kemudian ibu kota Provinsi Papua Tengah (Meepago) akan berada di Timika, dan ibu kota Provinsi Papua Pegunungan Tengah (Lapago) adalah Wamena.
Setelah RUU soal pemekaran wilayah di Papua ini disahkan sebagai RUU inisiatif DPR dalam rapat paripurna, pembahasan RUU akan dilanjutkan dalam pembicaraan tingkat I bersama pemerintah. ”Pembahasan RUU ini nantinya agar memperhatikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat Papua,” kata Puan.
Kebijakan inkonsisten
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman mengatakan, kebijakan pemekaran Papua ini menunjukkan inkonsistensi kebijakan pemerintah tehadap desain penataan daerah. Sebab, moratorium pembentukan DOB itu masih berlaku atau belum dicabut.
Selain itu, pasca-Reformasi, KPPOD melihat pemekaran itu belum menunjukkan kinerja yang bagus. Apalagi kalau menilik tingkat kemandirian fiskal daerah, kesejahteraan masyarakat, ataupun Indeks Pembangunan Manusia (IPM) daerah pemekaran yang tidak membaik.
”Besarnya ketimpangan dan tidak ada jaminan perbaikan kesejahteraan yang lebih baik bagi masyarakat di daerah pemekaran ini perlu dipertimbangkan kembali. Gagasan pemekaran sebagai jalan menuju percepatan kesejahteraan itu masih menjadi tanda tanya,” ujarnya.
Selain itu, dari sisi proses pengusulan dan pembahasan draf RUU, Herman melihat mekanisme berjalan linier dari atas ke bawah. Pelibatan masyarakat masih kurang dan menuai banyak keberatan dari masyarakat di Papua.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luqman Hakim mengatakan, komisinya mengusulkan pemekaran provinsi di wilayah Papua karena hal itu diklaim sebagai amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Selain itu, ia menyebut ada banyak aspirasi masyarakat di Papua dan Papua Barat untuk pemekaran.
”Aspirasi pemekaran itu sudah lama. Bahwa kemudian ada dinamika, atau ada perbedaan pandangan mengenai klustering (pembagian wilayah) daerah otonom baru (DOB), itu bisa dicarikan jalan keluarnya dengan baik, sepanjang semua pihak mau duduk bersama dan dialog,” katanya, Jumat, di Jakarta.
Luqman menampik anggapan pemekaran itu tidak sesuai dengan kebijakan moratorium pemekaran daerah baru yang diputuskan oleh pemerintah. Sebelum mengusulkan pemekaran wilayah Papua, Komisi II telah berkomunikasi dengan pemerintah.
Pemerintah memiliki pandangan yang sama dengan DPR. Dari hasil komunikasi itu, Komisi II mengambil inisiatif untuk mengajukan pembahasan RUU. ”Keputusan mengajukan RUU itu juga hasil pembicaraan informal dengan pemerintah,” ucapnya.
Ikuti UU Otsus
Sekalipun ada moratorium pemekaran daerah, untuk pembentukan DOB di Papua dan Papua Barat, pengaturannya merujuk pada UU Otsus Papua, bukan UU Pemerintahan Daerah (Pemda). Langkah-langkah pengajuan dan persyaratannya, menurut Luqman, juga mengikuti UU Otsus Papua.
”Ini full menggunakan dasar hukum UU Otsus Papua. Di dalam UU Otsus Papua disebutkan DOB tidak mengikuti tahapan dan mekanisme yang diatur di dalam UU Pemda,” katanya.
Dalam pembahasannya nanti, Luqman memastikan ruang partisipasi masyarakat akan dibuka seluas-luasnya. Semua pendapat diusahakan diserap dan dirumuskan sebaik mungkin jika RUU ini telah disetujui menjadi inisiatif DPR. ”Kalau bisa dalam masa reses besok ini anggota akan mulai menyerap aspirasi dari berbagai masyarakat tentang RUU pemekaran ini,” katanya.
Komisi II menargetkan RUU ini dapat dibahas dalam rapat paripurna penutupan masa sidang IV tahun 2021/2022, 14 April mendatang. Selanjutnya, pada masa sidang berikutnya, DPR dan pemerintah akan mulai membahas bersama RUU tersebut.
”Harapannya, di penutupan masa sidang ini, salah satu agendanya ialah mengesahkan tiga paket RUU pemekaran ini sebagai RUU inisiatif DPR. Pemerintah secepatnya mengirimkan surpres (surat presiden) dan kalau diperlukan sudah mulai dilakukan penyerapan aspirasi masyarakat di masa reses,” kata Luqman.
Herman mengatakan, sekalipun pemerintah dan DPR berdalih mereka menggunakan UU Otsus Papua dalam rencana pemekaran Papua, hal substantif dari pemekaran itu seharusnya menjadi perhatian pembuatan kebijakan. Pertama, pertanyaan mendasar yang harus dijawab ialah apakah pemekaran itu bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua ataukah tidak.
”Dari dimensi substansi seperti ini, gagasan pemekaran Papua itu tidak memiliki signifikasi dan relevansi dengan gagasan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua. Boleh saja pembuat kebijakan berlindung pada aspek legal-yuridis, tetapi ketika masuk ke dimensi substantif dan prinsip itu, menurut kami gagasan pemekaran tidak ada relevansinya,” ucap Herman.
Secara terpisah, Wakil Ketua Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Filep Wamafma mengatakan, pembuat kebijakan seharusnya mempertimbangkan aspirasi masyarakat secara menyeluruh, baik dari kelompok pendukung pemekaran maupun yang menolak pemekaran.
”Pemerintah bersama DPR, termasuk Baleg, dapat mengundang kelompok-kelompok yang menentang pemekaran di Papua. Ini menjadi bentuk demokrasi yang fair. Hal ini sangat penting karena sepanjang masih ada pro dan kontra terkait dengan pemekaran di Tanah Papua, maka saat itulah tujuan kebijakan tidak akan berjalan sesuai harapan,” kata Filep yang juga senator dari Papua Barat ini.
Ia juga menyoroti, pembuat kebijakan terkait rencana pemekaran ini cenderung menggunakan sistem top down dalam merumuskan kebijakan. Sistem ini cenderung otoriter dan sudah seharusnya diubah. Cara-cara ini harus diperhatikan secara serius karena pada dasarnya kebijakan dirumuskan untuk menjawab kebutuhan masyarakat.