Moeldoko: Presiden Sudah Tegas, Jangan Jadi Bahan Gorengan
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyampaikan sikap Presiden terkait polemik perpanjangan masa jabatan presiden, sudah tegas. Polemik tak perlu dilanjutkan. Hal senada disampaikan Ketua DPR Puan Maharani.
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN KUNCORO MANIK, NINA SUSILO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyampaikan sikap Presiden Joko Widodo terkait polemik penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden, sudah tegas. Dengan demikian, polemik wacana itu tak perlu dilanjutkan. Meski demikian, sejumlah kalangan menilai pernyataan Presiden masih belum cukup untuk bisa mengakhiri wacana itu.
”Saya ingin tegaskan kepada masyarakat Indonesia, sudah cukup, jangan lagi berpolemik tentang perpanjangan (masa jabatan Presiden). Presiden sudah tegas, jangan jadi bahan gorengan,” ujar Moeldoko kepada wartawan, Rabu (6/4/2022).
Presiden kembali menyinggung soal wacana tersebut saat memberikan arahan dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta, Selasa (5/4/2022). Presiden meminta semua menterinya tak lagi menyuarakan wacana itu. Menteri-menteri Kabinet Indonesia Maju diminta fokus mengatasi efek dari situasi ekonomi global yang bergejolak dan berimbas ke masyarakat.
Moeldoko mengatakan, pemerintah tidak pernah membicarakan masalah perpanjangan masa jabatan Presiden ataupun penundaan Pemilu 2024. Justru pemerintah saat ini diklaimnya tengah fokus menanggulangi pandemi Covid-19 dan dampak perang Rusia-Ukraina.
Moeldoko pun menegaskan, periode jabatan Presiden sudah jelas. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 membatasi masa jabatan presiden hanya dua periode. Karena itu, semestinya tidak perlu dipermasalahkan lagi. Ia meminta supaya pembicaraan yang tidak produktif tersebut tidak dilanjutkan.
Usulan perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan Pemilu 2024 dimulai dari sejumlah menteri di Kabinet Indonesia Maju. Awal Januari 2022, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengklaim dunia usaha mendukung perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi dan penundaan Pemilu 2024. Hal ini diamini Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang menyebutkan adanya usulan perpanjangan masa jabatan presiden dari masyarakat.
Selain keduanya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan juga turut menggulirkan wacana itu. Ia sempat menyebutkan bahwa mayoritas warga menginginkan Pemilu 2024 ditunda dan masa jabatan presiden diperpanjang. Klaim itu didasarkan mahadata dari 110 juta warganet. Namun, klaim tersebut dikritik banyak pihak dan validitasnya dipertanyakan.
Politikus senior Partai Golkar itu pun terlihat hadir di sejumlah acara yang di dalamnya sempat diserukan dukungan perpanjangan masa jabatan presiden. Misalnya, acara Silaturahmi Nasional Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia, Selasa (29/3/2022). Kemudian, silaturahmi sekitar 3.000 tokoh masyarakat, camat, dan kepala desa di Lebak, Banten, di kediaman Mulyadi Jayabaya, Bupati Lebak (2003-2013), Kamis (31/3/2022).
Di antara partai politik, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan ikut melontarkan wacana itu, bahkan mendukungnya.
Secara terpisah, Ketua DPR Puan Maharani mengapresiasi sikap Presiden yang melarang para menterinya menyuarakan wacana penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan Presiden.
”Kami tentu berharap para menteri mengikuti perintah Presiden sehingga bisa lebih fokus membantu Presiden mengatasi berbagai persoalan bangsa, khususnya kenaikan berbagai harga komoditas yang memberatkan rakyat saat ini,” kata Puan seusai bertemu Presiden di Istana Bogor, Jawa Barat, Rabu.
Politikus PDI-P ini menekankan, yang dibutuhkan rakyat saat ini bukanlah perbicangan penundaan pemilu ataupun perpanjangan masa jabatan presiden. Namun, bagaimana harga bahan kebutuhan pokok terkendali, terutama menjelang Lebaran.
Ketika pemerintah lewat para menterinya terus mendengungkan wacana tersebut, lanjut Puan, hal itu justru akan mengurangi kepercayaan publik terhadap pemerintah.
”Kalau kepercayaan terhadap pemerintah menurun, justru seluruh elemen bangsa yang merugi. Padahal, di saat-saat seperti ini, sangat dibutuhkan kerja sama dan gotong royong semua elemen bangsa agar bisa pulih dari dampak pandemi Covid-19,” katanya, menambahkan.
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya melihat ada problem prinsip saat menteri berani menyampaikan wacana tersebut. ”Kan, presiden pernah menjelaskan gak ada visi misi menteri, yang ada visi menteri Presiden. Ide perpanjangan kekuasaan itu masuk kategori visi misi, artinya, kan, ada masalah prinsipil di situ sampai ada menteri berani menyuarakan itu,” ujarnya.
Seiring penegasan yang disampaikan Presiden, para menteri yang menyuarakan perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan pemilu setidaknya minimal bisa menuruti yang diminta Presiden Jokowi. ”Namun, saya berharap ada momen lain ketika Presiden bicara mengenai sikap yang sama di momen yang lebih terbuka, bukan hanya kepada menteri, tetapi juga ke semua pihak,” ujarnya.
Menurut Yunarto, menteri di Kabinet Indonesia Maju menyuarakan perpanjangan masa jabatan presiden karena mereka juga akan diuntungkan. ”Jangan hanya menyetop pembicaraan yang mengarah ke tiga periode, tetapi juga menyetop perbuatan-perbuatan yang terkait. Perlu diingat, jika itu (amendemen UUD 1945) dilakukan, bukan hanya Presiden dan menteri yang diuntungkan, melainkan juga anggota DPR, DPD ikut menikmati perpanjangan kekuasaan,” ujar Yunarto,
Presiden Jokowi diharapkan tidak menggunakan kekuasaan untuk mendorong amendemen UUD 1945. Presiden juga harus memastikan semua jajaran di bawahnya tidak mendorong amendemen konstitusi.
Adapun Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari menilai, pernyataan Presiden Jokowi belum cukup menghentikan polemik di masyarakat karena tidak tegas menyinggung terkait perpanjangan tiga periode masa jabatan presiden.
”Jadi ada satu hal yang luput, apakah itu sengaja atau tidak sengaja memang itu harus ditanyakan kepada Presiden, kenapa Presiden mengomentari selalu tidak lengkap,” kata Feri.
Polemik terkait perpanjangan masa jabatan, penundaan pemilu, dan penambahan tiga periode masa jabatan presiden diyakini akan berhenti jika Presiden tegas mengucapkan: saya cukup dua periode saja. ”Tapi, sejauh ini Presiden tidak pernah mengeluarkan ucapan itu. Jadi seolah-olah Presiden selalu menyimpan sesuatu. ”Senjata” tertentu untuk kemudian suatu waktu akan bisa digunakan dan Presiden oleh publik dinyatakan tidak berbohong. Presiden harus bersikap lebih tegas,” tutur Feri.
Menurut Feri, Presiden harus memberikan pernyataan lengkap demi menghormati konstitusi. Pernyataan Presiden Jokowi yang menyatakan taat dan tunduk kepada konstitusi juga disebut masih bersayap. ”Konstitusi yang mana? Yang berlaku saat ini atau yang sedang direncanakan akan diubah. Nah, itu yang kemudian selalu menyisakan sesuatu,” ucap Feri.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, juga pernah mendapat godaan perpanjangan tiga periode. ”Seluruh isu itu tenggelam setelah SBY berpidato: saya cukup dua periode. Nah, kita berharap agar publik merasa nyaman bahwa Presiden (Jokowi) betul-betul akan menjalankan konstitusi yang berlaku,” katanya, menambahkan.