Jangan Pilih Calon Anggota Komnas HAM yang Terafiliasi Kelompok Oligarki
Seleksi calon anggota Komnas HAM jangan sampai kecolongan seperti pada seleksi pimpinan KPK. Integritas para calon perlu mendapat perhatian lebih. Jangan sampai memilih calon yang terafiliasi dengan kelompok oligarki.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Panitia Seleksi Calon Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM diminta untuk hati-hati dalam memilih calon komisioner yang akan menjabat selama lima tahun ke depan. Integritas dan akuntabilitas calon, serta pandangannya terhadap persoalan-persoalan HAM mesti digali. Pansel juga diminta untuk mencoret calon yang memiliki hubungan dengan kelompok oligarki.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi ”Peran Komnas HAM dalam menjawab tantangan penegakan HAM di Indonesia” yang diselenggarakan pada Senin (4/4/2022). Hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut Ketua Pansel Calon Anggota Komnas HAM Makarim Wibisono, Julis Ibrani dari PBHI, M A Nafis dari Centra Initiative, Puspa Dewi dari Walhi, dan lainnya.
Ketua Pansel Calon Anggota Komnas HAM Makarim Wibisono mengungkapkan, saat ini peserta seleksi yang berasal dari kalangan aktivis pembela HAM cenderung menjadi minoritas. Kondisi tersebut jauh berbeda dengan 15 tahun atau 10 tahun yang lalu.
Ia menceritakan pengalamannya bertemu dengan anggota Komnas HAM atau lembaga sejenis dari negara lain. Menurut Ketua Komisi HAM PBB tersebut, para anggota Komnas HAM di negara-negara lain kebanyakan berisi aktivis, bukan pejabat ataupun penegak hukum.
Ia juga menyebutkan, Komnas HAM yang berdiri pada 1993 atau pada zaman Orba Baru justru diisi orang-orang yang memiliki komitmen dan integritas yang bagus. Di periode-periode awal Komnas HAM, Makarim menyebutkan, independensi Komnas HAM tampak, begitu pula visinya. Namun, setelah itu ada berbagai dinamika yang membuat anggota Komnas HAM mulai berbeda-beda karakternya.
”Ternyata saya dengar dari Ketua Komnas HAM, sebagian besar mereka berantem di dalam karena misi dan visi yang ada berbeda-beda,” ujarnya.
Ke depan, tantangan Komnas HAM sangat tinggi. Makarim mengungkapkan, saat ini ruang lingkup demokrasi sudah menyempit, munculnya persoalan-persoalan HAM namun komitmen dari para pemimpin sudah tidak lagi memprioritaskan masalah tersebut. ”Oleh karena itu, kita ingin Komnas HAM yang memiliki jiwa pelopor untuk menarik unsur lain agar memberi perhatian besar pada masalah HAM,” ujarnya.
Saat ini, Pansel Calon Anggota Komnas HAM tengah membuka pendaftaran yang dimulai pada 8 Februari dan akan ditutup pada 8 April mendatang atau empat hari lagi. Proses seleksi selanjutnya adalah tes tertulis obyektif dan penulisan makalah pada April, dialog publik pada Mei, psikotes pada Juni, serta tes kesehatan dan wawancara pada Juli 2022. Diharapkan, pada bulan Agustus mendatang, sudah terpilih para anggota Komnas HAM periode 2022-2027.
Adapun syarat menjadi anggota Komnas HAM adalah memiliki pengalaman sekurang-kurangnya 15 tahun di bidang perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM; berpengalaman sebagai hakim, jaksa, polisi atau pengemban profesi hukum lainnya. Berpengalaman di bidang legislatif eksekutif, dan lembaga negara; berusia paling rendah 40 tahun dan paling tinggi 65 tahun saat resmi diangkat menjadi anggota Komnas HAM, bukan anggota atau pengurus partai politik, dan sebagainya.
”Banyak kesempatan bagi teman-teman aktivis untuk bisa memanfaatkan kedudukan di Komnas untuk memperjuangkan masalah-masalah HAM. Sebagai anggota Komnas HAM, bisa punya akses dan tidak sulit untuk bertemu penegak hukum. Saya saksi mata, Kapolri datang ke kantor Komnas HAM. Anda paling tidak punya akses untuk berdialog,” ujarnya.
Oligarki
Puspa Dewi dari Walhi mengungkapkan, dalam proses seleksi calon anggota Komnas HAM lima tahun mendatang, masyarakat sipil berharap agar jangan sampai kecolongan seperti pada proses seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Komnas HAM membawa mandat rakyat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat sehingga integritas dari para calon perlu mendapat perhatian lebih.
”Jangan sampai (calon) punya afiliasi dan link ke kelompok oligarki. Sebab, empat hingga lima tahun ke depan, konflik sumber daya alam akan meningkat kemudian diikuti dengan bencana yang akan semakin massif. Eksploitasi sumber daya alam selalu akan diikuti bencana,” tuturnya.
Ia berharap, Komnas HAM ke depan memiliki bacaan yang komprehensif seperti arah negara mau kemana dan bagaimana untuk menghentikan pelanggaran HAM yang terjadi serta akan terjadi. Ia juga meminta pansel untuk memperhatikan perspektif atau bacaan calon tentang kebijakan negara di bidang SDA dan permasalahan lingkungan, serta keberpihakan mereka terhadap rakyat dan kepentingan masyarakat.
Selain itu, ia juga menyoroti fenomena banyaknya aktivis pembela HAM yang dikriminalisasi, baik yang ditetapkan sebagai tersangka maupun sudah dituntut di pengadilan. Sepanjang 2021 hingga Maret 2022, Puspa Dewi mengungkapkan, ada sekitar 118 pegiat HAM yang dikriminalisasi. Angka kriminalisasi tersebut meningkat di bulan Desember 2021 hingga Maret 2022.
”Hal-hal seperti ini seharusnya dibaca Komnas HAM. Ketika Komnas HAM membuat road map, harus inline dengan negara ini mau ke mana. Apa yang harus disiapkan Komnas HAM untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM,” kata Puspa Dewi.
Senada dengan Puspa Dewi, Julius Ibrani dari PBHI mengungkapkan, Komnas HAM telah gagal dalam melakukan pembacaan level kebijakan negara dikaitkan dengan HAM. Komnas periode ini juga dinilai tak punya road map dan prioritas penanganan kasus. Komnas dilihatnya sebagai pemadam kebakaran semata. Padahal, Komnas HAM seharusnya melakukan fungsi monitoring situasi pelanggaran HAM saat ini. Misalnya, akar persoalannya apa kemudian memprediksi potensi-potensi pelanggaran yang akan terjadi di masa mendatang.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Centra Initiative Muhammad A Hafis memberikan sejumlah catatan terhadap kinerja Komnas HAM periode 2017-2022. Salah satu di antaranya terkait persoalan akuntabilitas dan transparansi. Menurut dia, akuntabilitas sangat berkaitan dengan kepercayaan publik maupun pelapor. Saat ini, jika pihak tertentu melaporkan kasus dugaan pelanggaran HAM, tidak ada mekanisme atau sistem informasi di laman Komnas HAM yang menginformasikan bagaimana laporan tersebut ditindaklanjuti.
”Selama Komnas HAM tidak bisa memberikan keadilan substantif, maka setidaknya akuntabilitas bisa diperhatikan. Dengan skema yang modern, dengan sistem yang sudah jadi, kita dorong lebih jauh lagi agar lembaga ini lebih akuntabel dan transapran,” ungkapnya.