Reformasi OJK merupakan keniscayaan sejarah. Produk asuransi dengan derivasinya butuh pengawas yang berani jemput bola. Perkembangan produk ”investasi” abal-abal seperti Binomo seolah mempertontonkan lemahnya regulasi.
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·5 menit baca
Sebuah pesan Whatsapp saya terima, pekan ini, dari seorang komisaris perusahaan milik negara. Ia memberi pengantar, ”Kejutan! Presiden mengubah calon anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK)”. Tautan berita Infobanknews.com berjudul ”Mahendra Siregar dan 13 calon anggota OJK” disertakannya. Portal berita ekonomi lain ikut memberitakan 14 nama calon OJK pilihan Presiden Joko Widodo.
Berita itu tidak merujuk pada keterangan resmi. Semuanya masih sumber. Dikabarkan, Presiden Jokowi menunjuk 14 nama calon anggota OJK dari 21 nama yang dipilih Panitia Seleksi. Pansel yang diketuai Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyerahkan nama itu kepada Presiden Jokowi, Senin, 7 Maret 2022. Daftar 14 nama itu telah beredar di kalangan DPR. Namun, belum ada yang memastikan apakah daftar nama tersebut resmi.
Pola seperti itu—membocorkan nama terlebih dahulu—mirip dengan seleksi anggota KPU 2022-2027. Sebelum uji kelayakan dan kepatutan dilakukan telah beredar nama melalui grup Whatsapp wartawan dan sejumlah kalangan. Dan, saat selesai uji kelayakan dilakukan, nama yang bocor itu sama dengan nama yang terpilih. Itu adalah negosiasi panggung belakang.
Pansel OJK menyerahkan 21 nama kepada Presiden untuk tujuh posisi. Setiap posisi, misalnya Ketua OJK, dicalonkan tiga orang yang kabarnya diurutkan dengan sistem peringkat. Menurut sejumlah portal berita ekonomi, Presiden Jokowi mengubah posisi calon anggota Dewan Komisaris OJK seperti Hoesen yang semula peringkat pertama versi Pansel di Pasar Modal diubah menjadi peringkat pertama di Industri Keuangan Non Bank (IKNB). Sementara Pantro Pander Silitonga yang awalnya di peringkat pertama di IKNB menjadi peringkat kedua. Perubahan posisi juga terjadi pada Inarno Djajadi, dinaikkan menjadi peringkat pertama di pasar modal dari sebelumnya di peringkat kedua.
"Pansel OJK menyerahkan 21 nama kepada Presiden untuk tujuh posisi. Setiap posisi, misalnya Ketua OJK, dicalonkan tiga orang yang kabarnya diurutkan dengan sistem peringkat"
Dalam obrolan saya dengan pelaku industri keuangan, langkah Presiden Jokowi mengubah personalia calon anggota Dewan Komisaris OJK seperti permainan catur. Tampak sekali ada yang ingin diselamatkan dan yang ingin diunggulkan.
"Langkah Presiden Jokowi memilih 14 dari 21 nama yang diusulkan Pansel tetap sejalan dengan undang-undang. Namun, yang patut jadi pertimbangan adalah apakah komposisi calon anggota OJK yang diusulkan sudah sesuai dengan tantangan yang dihadapi OJK, khususnya pengawasan dan perlindungan konsumen di pasar modal dan industri keuangan nonbank yang sedang diterpa banyak masalah. Siapkah OJK melawan tuyul digital yang bergentayangan dalam industri keuangan"
Langkah Presiden Jokowi memilih 14 dari 21 nama yang diusulkan Pansel tetap sejalan dengan undang-undang. Namun, yang patut jadi pertimbangan adalah apakah komposisi calon anggota OJK yang diusulkan sudah sesuai dengan tantangan yang dihadapi OJK, khususnya pengawasan dan perlindungan konsumen di pasar modal dan industri keuangan nonbank yang sedang diterpa banyak masalah. Siapkah OJK melawan tuyul digital yang bergentayangan dalam industri keuangan.
Skandal di industri keuangan yang mencuat belakangan, seperti asuransi Jiwasraya, Asabri, Bumiputra, tentu masih menjadi tugas dan tanggung jawab pengawasan OJK. Kebijakan investasi ugal-ugalan di Jiwasraya dan mungkin juga Asabri yang mengakibatkan kerugian pemegang polis tak bisa dilepaskan dari lemahnya pengawasan dari OJK.
Reformasi OJK merupakan keniscayaan sejarah. Produk asuransi dengan segala derivasinya membutuhkan pengawas yang berani jemput bola. Perkembangan produk ”investasi” abal-abal atau dikenal sebagai pesugihan zaman now, seperti binary option seperti Indra Ken dan Donny Salmanan atau robot trading yang dikabarkan menyedot lima triliunan rupiah, mempertontonkan lemahnya literasi finansial dan lemahnya pengawasan. Bahkan, menurut CEO Astronacci International Gema Goeyardi dalam percakapan di kanal Youtube Backtobdm, uang lenyap di binary option dan robot trading bisa mencapai Rp 80 triliun. Belum lagi dengan merebaknya model peer to peer lending, equity crowd funding, dan pembiayaan gotong royong untuk sebuah usaha.
Pendidikan keuangan seperti ”diambil” alih influencer tak bertanggung jawab untuk menjerumuskan orang ke jurang kenestapaan. Gema Goeyardi menyebut, di era sekarang ilmu yang benar dianggap sesat, sedangkan ilmu sesat dianggap kitab suci melalui media sosial.
"Melihat sejarah skandal keuangan terasa ada siklusnya. Kejahatan keuangan kerap terkait dengan politik atau kepentingan politik atau pencairan dana politik"
Melihat sejarah skandal keuangan terasa ada siklusnya. Kejahatan keuangan kerap terkait dengan politik atau kepentingan politik atau pencairan dana politik. Bisa dilihat pengakuan Maria Pauline Lumowa di harian Kompas, 7 Desember 2003, dalam kasus pembobolan Bank BNI. Ia mengaku hanya menerima dana 40 juta dollar AS dari apa yang dituduhkan sekitar 210 juta dollar AS. Ia pun kabur. Saat ditemui Kompas di Singapura, Maria mengatakan bersedia ke Indonesia untuk memberikan keterangan kepada polisi, tetapi dia meminta status dirinya dalam skandal Bank BNI harus jelas terlebih dahulu. ”Bagaimana saya tidak takut. Belum apa-apa saya dituduh melakukan penipuan, melakukan pencucian uang, menculik pengacara saya, bahkan dituduh mengucurkan dana kepada para calon presiden,” kata Maria kala itu.
Maria telah ditangkap dan dibawa kembali ke Tanah Air, dan telah diadili dari pelariannya di Serbia. Skandal keuangan seperti Bank Bali, BLBI, Bank Century amat terkait dengan kepentingan politik atau pencairan dana politik.
Melihat siklus kejahatan keuangan itu, posisi OJK menjadi penting. Lembaga itu harus terjaga integritas dan komitmen moralnya untuk menjaga sistem keuangan di Indonesia di tengah membanjirnya derivasi keuangan digital yang kian canggih dengan tuyul-tuyulnya.
Sejarah juga telah mengajarkan seleksi calon pimpinan KPK yang lebih mengedepankan kepentingan politik telah menunjukkan hasilnya. KPK yang disegani pada era reformasi, kini harus berkutat dengan masalah internal di komisionernya sendiri. Dan, akibatnya kepercayaan publik kepada KPK kian meredup. Jangan sampai kemudian pengisian komisioner-komisioner negara, model state auxiliary body, itu mereduksi kepercayaan publik, dengan penempatan orang yang lebih mempertimbangkan kepentingan politik daripada kompetensi dan integritas.