Indikasi peranan mafia minyak goreng dalam kelangkaan pasokan minyak goreng di Tanah Air sempat dilontarkan dalam rapat di DPR. Namun, hari demi hari berlalu, mafia yang dimaksud tidak kunjung diungkap.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·5 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Pekerja toko grosir sembako di Pasar Bogor, Kota Bogor, Jawa Barat, melayani pembelian minyak goreng curah, Kamis (24/3/2022). Permasalahan minyak goreng di pasaran hingga kini masih membuat masyarakat, baik konsumen maupun penjual grosir dan eceran, terbebani.
Kelangkaan minyak goreng yang disertai tingginya harga menunjukkan kerentanan republik ini di bidang pangan. Sosok mafia dituding sebagai pihak yang mengambil kesempatan di tengah situasi sebagaimana dikatakan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi.
Menteri Perdagangan, di depan Komisi VI DPR, Kamis (17/3/2022), menyatakan temuan dugaan adanya mafia minyak goreng. Dalam kesempatan itu, Lutfi mengatakan telah menyerahkan data ke kepolisian, termasuk sudah ada calon tersangka dan akan segera diumumkan pada Senin (21/3/2022). Waktu berjalan, sosok mafia itu tidak kunjung diumumkan.
Beberapa hari kemudian, Kepala Satuan Tugas Pangan Polri Inspektur Jenderal Helmy Santika mengatakan, polisi belum menemukan adanya praktik mafia dalam pendistribusian minyak goreng di Tanah Air. ”Sejauh ini belum ditemukan mafia minyak goreng. Mafia lebih dikonotasikan sebagai persekongkolan besar, masif, dan terstruktur yang melibatkan banyak pihak. Sampai saat ini tidak ditemukan praktik seperti itu,” kata Helmy (Kompas.com, 23/3/2022).
Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel mengatakan, yang terjadi bukan mafia, melainkan pengusaha yang mencari celah untuk mencari keuntungan. Gobel mengaku tidak memahami yang dimaksud sebagai mafia tersebut.
Lantas sebenarnya siapa mafia itu? ”Kita bisa saja menyebut itu oknum, tetapi kelompok itulah yang dimaksud dengan mafia yang membuat minyak goreng ini menjadi tetap langka dan harga tetap tidak terkendali di luar harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan dalam Satu Meja the Forum bertajuk ”Ada Mafia di Balik Minyak Goreng?” yang disiarkan Kompas TV, Rabu (23/3/2022) malam.
BIRO PERS SEKRETARIAT PRESIDEN/MUCHLIS JR
Presiden Joko Widodo menerima kedatangan sejumlah petani sawit swadaya di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (23/3/2022).
Dalam diskusi yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo tersebut, hadir anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Deddy Sitorus, dan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad.
Menurut Oke, dari data yang disampaikan produsen, distributor, sampai pengecer ke Kemendag, lengkap dengan faktur pajak, seharusnya kelangkaan minyak goreng tidak terjadi. Setidaknya tercatat sekitar 4.000 distributor minyak goreng yang menjadi saluran distribusi ke masyarakat.
Semua data tersebut, termasuk dugaan adanya mafia minyak goreng, telah diserahkan ke kepolisian. Namun, meski dari sisi pemerintah dinilai telah terjadi penyimpangan, dari sisi hukum masih perlu pembuktian lebih lanjut.
Namun, Deddy tidak sepakat dengan penyebutan mafia. Sebab, menurut dia, mafia merujuk pada kejahatan yang terorganisasi, terinstitusi dari hulu sampai hilir. Terlebih, ketika kebijakan HET minyak goreng dihapus, minyak goreng kembali muncul di pasaran.
”Mafia dalam bayangan saya itu kejahatan yang terorganisasi. Ini, kan, tidak. Mereka melakukan sendiri-sendiri, mencari kesempatan sendiri-sendiri,” ujar Deddy.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Rak penuh berisi minyak goreng kemasan premium di sebuah pusat perbelanjaan di Pondok Bambu, Duren Sawit, Jakarta Timur, Senin (21/3/2022). Kenaikan harga minyak goreng cukup menekan daya beli masyarakat.
Istilah kartel
Oleh karena itu, Deddy lebih sepakat dengan penggunaan istilah kartel, alih-alih mafia. Mereka bisa jadi terdiri atas beberapa pengusaha yang secara langsung atau tidak menghilangkan barang dari pasaran. Pihak-pihak tersebut telah melakukan tindakan yang membuat harga minyak goreng terus naik sehingga memaksa pemerintah mengubah kebijakan. Sementara kebijakan pemerintah terkait minyak goreng dinilai tidak berkelanjutan karena tidak disertai pengawasan dan penegakan hukum yang kuat.
Namun, menurut Oke, pelepasan HET minyak goreng bukanlah bentuk kekalahan negara. Oke juga tidak sepakat dengan penyebutan kartel. Menurut dia, upaya pihak-pihak itu telah menghalangi program pemerintah untuk menyediakan minyak goreng dengan harga terjangkau. ”Daya jangkau kami itu terbatas. Karena di peraturan perundang-undangan kita ini, begitu kita masuk ke tata kelola, sanksinya itu administratif, tetapi perilakunya tidak diberi sanksi,” ujar Oke.
Dengan kebijakan yang dikeluarkan Kemendag, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Keuangan, pemerintah memastikan ketersediaan dan keterjangkauan minyak goreng di pasar. Kebijakan itu menyangkut harga minyak goreng, tentang penyediaan minyak goreng curah, dan kenaikan pungutan ekspor CPO.
Menurut Tauhid, langkanya minyak goreng merupakan buntut dari kebijakan tata kelola dan distribusi minyak goreng. Ketika harga minyak sawit mentah (CPO) mulai naik, harga minyak goreng juga mengikuti. Namun, ketika pemerintah mengintervensi dengan mengeluarkan kebijakan penetapan harga domestik (DPO), sebagian kalangan industri bersikap ”menahan”, yakni tidak melakukan ekspor, tidak membeli tandan buah segar, dan tidak mengalokasikan CPO untuk dalam negeri.
KOMPAS/SHARON PATRICIA
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad
Dengan kebijakan penghapusan HET, masalah kelangkaan minyak goreng akan teratasi. Namun, kebijakan itu dapat menimbulkan masalah berupa peralihan konsumsi dari minyak goreng kemasan ke minyak goreng curah yang disubsidi pemerintah.
Solusi
Menurut Deddy, kebijakan mengenai tata niaga mesti diperbaiki, termasuk perlunya disiapkan cadangan minyak goreng. Pemerintah juga diminta untuk memiliki sistem peringatan dini dalam rangka menjaga stabilitas harga. Hal itu penting karena saat ini produk CPO tidak hanya menjadi minyak goreng, tetapi juga menjadi kebutuhan industri dan kebutuhan untuk biofuel.
Oleh karena itu, DPR berencana membentuk panitia kerja (panja) terkait komoditas pangan secara umum, tidak hanya minyak goreng. Pembentukan panja juga terkait dengan sikap DPR yang memberi kesempatan kepada pemerintah untuk melaksanakan kebijakannya.
Sementara itu, Tauhid menekankan pentingnya stok minyak goreng. Stok itu dapat dikelola Perum Bulog dalam jumlah yang memadai dengan jalur distribusi yang baik. Dengan demikian, ketika terjadi kenaikan harga, pemerintah bisa melakukan operasi pasar.
Di sisi lain, pemerintah juga dinilai perlu melakukan pengawasan agar tidak terjadi penyimpangan di lapangan. Terlebih sebentar lagi akan memasuki bulan puasa dan Lebaran. ”Mau tidak mau, selain mengefektifkan regulasi, harus menggandeng seluruh stakeholder untuk memastikan harga eceran ini benar-benar terjadi di masyarakat,” kata Tauhid.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Warga berdesakan saat antre membeli minyak goreng di salah satu penyalur di Kecamatan Muntilan, Magelang, Jawa Tengah, Senin (21/3/2022). Pembelian minyak goreng seharga Rp 15.500 per kilogram di tempat itu dibatasi sebanyak 16 kilogram per orang.
Kelangkaan minyak goreng kali ini bukanlah yang pertama kali. Semestinya pemerintah melakukan evaluasi dan antisipasi, bukan hanya menimpakannya kepada mafia.