Densus 88 Tembak Mati Dedengkot Kelompok Teroris Jamaah Islamiyah
Su (54), petinggi Jamaah Islamiyah yang tewas ditembak, pernah menjabat penasihat pimpinan tertinggi JI. Ia juga Deputi Dakwah dan Informasi JI serta penanggung jawab HASI, yayasan yang terkait terorisme.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Seorang dedengkot kelompok teror Jamaah Islamiyah atau JI berinisial Su (54) tewas ditembak aparat di Sukoharjo, Jawa Tengah, Rabu (9/3/2022) malam. Berbeda dengan penangkapan kebanyakan anggota JI selama ini, perlawanan sengit digencarkan untuk menghindari kejaran aparat. Diduga karena menyimpan informasi vital terkait seluruh anggota kelompok tersebut.
Sebelum tewas ditembak, aparat Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri mencoba menangkap Su di Jalan Bekonang, Sukoharjo, Jawa Tengah, Rabu. Namun, upaya penangkapan tak berjalan mulus. Su justru kabur dengan mengendarai mobil kabin ganda.
Dua polisi antiteror lantas berusaha menghentikan Su dari kabin belakang, tetapi Su juga berusaha menjatuhkan mereka dengan memacu kecepatan dan membelokkan kemudi ke kiri dan kanan terus-menerus hingga mobil bergerak zig-zag. Tak berhenti di situ, Su juga menabrakkan mobilnya ke arah aparat yang mencoba menghentikan dari depan, hingga akhirnya mobil menabrak kendaraan lainnya yang melintas di sana.
Karena membahayakan petugas dan masyarakat, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Ahmad Ramadhan mengatakan, petugas menembak punggung dan pinggul Su. Ia pun dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara Polresta Surakarta, Jawa Tengah.
”Namun, yang bersangkutan meninggal saat dievakuasi. Selain itu, dua anggota juga terluka dan saat ini mendapatkan penanganan di Poliklinik Bhayangkara,” katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (10/3/2022).
Menurut dia, Su merupakan petinggi JI. Ia pernah menjabat sebagai amir khidmat dan penasihat amir atau pimpinan tertinggi JI, Para Wijayanto, yang sudah ditangkap sejak 2019. Selain itu, Su merupakan deputi dakwah dan informasi JI serta penanggung jawab Hilal Ahmar Society Indonesia (HASI).
Hal itu sesuai dengan dokumen Putusan Nomor: 308/Pid.Sus/2020/PN Jkt.Tim terhadap terdakwa Para Wijayanto. Disebutkan bahwa sejak 2016, Para menambahkan beberapa struktur untuk menangani pekerjaan dan memecahkan masalah amniah serta memperkuat sistem sel terputus JI. Struktur yang dimaksud salah satunya adalah deputi dakwah dan operasi informasi yang dijabat oleh dr Nardi yang merujuk pada Su yang juga berprofesi sebagai dokter di Jawa Tengah.
Sementara itu, HASI merupakan yayasan yang telah ditetapkan Polri sebagai organisasi yang terkait dengan terorisme dalam dokumen Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris Nomor: DTTOT/P-1a/2040/XI/2015.
HASI beroperasi dengan menggunakan kedok sebagai yayasan kemanusiaan yang beroperasi di Lampung, Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Solo, Surabaya, dan Makassar. Yayasan ini telah merekrut, mendanai, dan memfasilitasi perjalanan para kombatan atau foreign terrorist fighter (FTF) ke Suriah.
Simpan informasi penting
Penangkapan Su memperlihatkan anomali dibandingkan penangkapan anggota JI lain setidaknya selama dua tahun terakhir. Penelusuran Kompas, dari 200 lebih anggota JI yang ditangkap sejak 2019-2021, hampir semua tidak melawan aparat.
Pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh, Aceh, Al Chaidar, mengatakan, sesuai dengan pembaruan pedoman umum perjuangan JI pada 2007, seluruh anggota JI memang diminta untuk tidak berkonflik dengan aparat. Artinya, keputusan yang diambil oleh Su memang berada di luar prosedur organisasi yang mereka sepakati.
”Sejak 2007, JI dilarang membuat serangan di Indonesia, juga dilarang melawan jika tertangkap,” ujarnya.
Ia menambahkan, anggota JI juga ahli dalam strategi penyamaran dan persembunyian. Sebab, dalam pedoman baru JI, terdapat konsep Tastos atau Total Amniah Sistem Total Solusi Sistem yang mengharuskan setiap anggota menerapkan sistem sel terputus agar tidak mudah terdeteksi aparat. Setiap anggota wajib memiliki nama samaran dan mengganti identitas agar tidak dikenali bahkan oleh sesama anggota. Tujuannya agar saat tertangkap dan diinterogasi aparat, mereka hanya saling mengetahui nama samaran.
Visiting Fellow Sir Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Nanyang Technological University (NTU), Singapura, Noor Huda Ismail sepakat, penangkapan Su memang menunjukkan anomali.
Menurut dia, perlawanan sengit yang dilakukan terkait dengan peran strategisnya di organisasi. Sebagai amir khidmat atau petinggi yang memberikan pelayanan terhadap anggota JI serta deputi dakwah dan operasi informasi, Su tentu memahami informasi terkait hampir semua anggota. ”Anggota JI yang melawan (aparat) biasanya menyimpan informasi vital,” kata Huda.
Oleh karena itu, menurut Huda, tewasnya Su merugikan aparat dalam penggalian informasi aktivitas kelompok teror tersebut.
Ia mencontohkan, perlawanan serupa juga pernah dilakukan anggota JI, Siyono, yang ditangkap Densus 88 di Klaten, Jawa Tengah, pada 2016. Siyono menyimpan informasi tentang bungker senjata JI dan diminta untuk menunjukkan lokasinya. Namun, dalam perjalanan mencari bungker, ia melawan aparat sehingga konflik fisik tidak terelakkan. Siyono pun tewas saat itu.