MA Akan Wajibkan Semua Upaya Hukum Gunakan E-Court
MA tengah merancang penerbitan aturan tentang administrasi perkara dan persidangan elektronik yang berlaku untuk perkara pidana, perdata, TUN, dan agama. MA akan mewajibkan penggunaan e-Court untuk pengajuan upaya hukum.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Agung tengah merevisi peraturan Mahkamah Agung atau Perma sehingga kelak semua upaya hukum, mulai dari banding, kasasi, hingga peninjauan kembali, dilakukan dengan menggunakan layanan e-Court. Ke depan, seluruh dokumen pengadilan yang ada sejak MA pertama kali berdiri akan dibuat dalam bentuk digital.
Perma terkait administrasi perkara dan persidangan secara elektronik tersebut kini sedang dikonsultasikan dengan para pemangku kepentingan, seperti aparat penegak hukum, kementerian/lembaga, dan akademisi.
E-Court merupakan layanan pangadilan mencakup e-filing (pendaftaran perkara secara online/daring), e-Payment (pembayaran panjar biaya perkara secara daring), e-Summons (pemanggilan para pihak secara daring), dan e-Litigation (persidangan secara daring). MA sebelumnya menerbitkan Perma Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan Pengadilan secara Elektronik untuk perkara perdata, agama, dan tata usaha negara. Setahun kemudian, MA menerbitkan Perma No 4/2020 tentang hal yang sama, tetapi berlaku untuk perkara pidana.
Ketua Kelompok Kerja Perma Syamsul Maarif dalam rapat konsultasi publik pada Senin (7/3/2022) mengungkapkan, pihaknya akan mengubah kedua Perma tersebut. Kedua Perma akan dilebur menjadi satu sehingga bersifat omnibus untuk mengatur administrasi perkara dan persidangan elektronik untuk perkara perdata, agama, TUN, dan pidana.
Hingga saat ini, menurut Syamsul, penggunaan e-Court oleh kalangan pencari keadilan menunjukkan tren yang menggembirakan. Hingga akhir Desember 2021, total gugatan yang didaftarkan dengan menggunakan e-Court sebanyak 148.575 perkara dari total 388.486 gugatan atau sekitar 30 persen. Persentase paling banyak penggunaan e-Court ada di Pengadilan Tata Usaha Negara, yakni 99,2 persen gugatan yang sudah menggunakan layanan tersebut atau 2.183 perkara dari total 2.199 gugatan.
Sementara di peradilan umum, penggunaan e-Court mencapai 93,6 persen atau sebanyak 36.573 gugatan dari total 39.040 gugatan.
”Pemeriksaan terdakwa melalui video conference sudah baik. Pertukaran dokumen melalui SPPTI sudah baik juga meskipun perlu disempurnakan. Layanan produk pengadilan, termasuk produk era terang, mendapat tanggapan positif dari pencari keadilan. Ke depan, pimpinan MA berkeinginan agar seluruh dokumen sejak MA berdiri dialihkan ke dokumen digital,” ujar Syamsul Maarif, hakim agung yang juga Ketua Pokja Perma.
Kepala Biro Hukum dan Humas MA Sobandi mengatakan, ada beberapa poin yang hendak diperbaiki di dalam rancangan Perma Administrasi Perkara dan Persidangan Pengadilan secara Elektronik. Khusus perkara perdata, TUN, dan agama, perubahan itu mencakup pergantian definisi dari hari kerja menjadi hari kalender, penambahan ruang lingkup jenis perkara (perdata khusus seperti perselisihan hubungan industrial dan lainnya), klausul jika pihak tergugat tidak setuju sidang secara elektronik (sidang dilakukan secara hybrid), dan lainnya.
Sementara terkait perkara pidana, perubahan Perma dilakukan dengan menjadikan penuntut sebagai pengguna (e-Court) terdaftar, pelimpahan perkara dilakukan secara elektronik, seluruh dokumen perkara diunggah ke dalam Sistem Informasi Pengadilan (SIP), dan permohonan restitusi/kompensasi dilakukan secara elektronik.
Perwakilan KPK yang hadir dalam rapat konsultasi rancangan Perma, Ahmad Burhanudin, memberikan apresiasi yang tinggi kepada MA yang sebelumnya telah menerbitkan Perma No 1/2019 dan Perma No 4/2020.
Namun, ia mempertanyakan tentang belum diaturnya penggunaan e-Court dalam upaya hukum kasasi dan PK di dalam rancangan Perma yang baru. Padahal, Kepala Biro Hukum dan Humas MA menyebutkan bahwa ke depan semua upaya hukum (termasuk kasasi dan PK) wajib diajukan melalui e-Court.
”Yang kedua, kami mengusulkan bagaimana kalau termasuk upaya praperadilan. Sebab, dalam praktiknya, kami, di PN Jakarta Selatan, minta (perkara praperadilan) dilakukan sidang secara elektronik. Tentu sidang pertama kami akan datang karena agendanya pemeriksaan para pihak. Tapi, saksi dan putusan bisa dilakukan dengan sidang elektronik. Beberapa waktu lalu, (sidang praperadilan) ada yang elektronik, ada yang harus datang karena (Perma) tidak mengatur dengan jelas. Jadinya ada hakim yang bilang bisa elektronik, ada yang bilang tidak bisa,” ujar Ahmad Burhanudin.
Ferry Indrawan dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mengingatkan MA tentang pengamanan dokumen dan data elektronik. Hal tersebut belum diatur di dalam Perma yang akan disahkan Ketua MA. BSSN menyarankan agar diatur klausul tentang tanda tangan elektronik yang terverifikasi di dalam Perma tersebut sehingga ada kepastian hukum.
Adapun komisioner Komisi Yudisial Joko Sasmito memberi masukan tentang keselarasan sejumlah pasal yang mengatur tentang hari kalender. Menurut dia, ada beberapa perumusan pasal yang perlu disesuaikan dan diselaraskan khususnya tentang definisi hari dan istilah wajib dalam upaya hukum (banding, kasasi, dan PK).