M Syarifuddin: Pandemi Covid-19 Mempercepat Transformasi Digital Peradilan
Mahkamah Agung menargetkan ke depan e-litigasi bisa diterapkan hingga ke tingkat banding, kasasi, hingga peninjauan kembali. Berikut petikan wawancara khusus bersama Ketua MA M Syarifuddin.
Pandemi Covid-19 membawa hikmah bagi percepatan transformasi pelayanan publik peradilan dari konvensional ke digital. Sebelumnya, pendaftaran, pembayaran, dan pemanggilan perkara sudah dilakukan secara daring sejak 2019. Untuk persidangan secara daring (e-litigasi), awalnya masih terbatas diterapkan di perkara perdata. Kini, e-litigasi sudah bisa dilakukan di perkara pidana di pengadilan tingkat pertama. Secara tidak langsung, pandemi mempercepat transformasi itu.
Mahkamah Agung menargetkan ke depan e-litigasi bisa diterapkan hingga ke tingkat banding, kasasi, hingga peninjauan kembali. Di bawah kepemimpinan Ketua Mahkamah Agung Muhammad Syarifuddin (2020-2025), transformasi digital itu menjadi misi utama untuk membangun kredibilitas dan transparansi peradilan. Berikut petikan wawancara harian Kompas saat berbincang dengan Syarifuddin di ruang kerjanya, Kamis (17/12/2020) lalu.
MA punya cetak biru pembaruan peradilan 2010-2030. Kira-kira pada era kepemimpinan Anda, khususnya pada 2021, titik beratnya ke arah mana?
Visi dan misi MA itu seperti di cetak biru itu adalah terciptanya badan peradilan yang agung. Adapun, misinya adalah menjaga kemandirian badan peradilan, memberikan pelayanan kepada pencari keadilan, meningkatkan kualitas kepemimpinan badan peradilan, dan meningkatkan kredibilitas dan transparansi peradilan.
Dari empat misi, sudah mulai berjalan. Kita sudah pada tahap ke perbaikan dari sisi teknologi informasinya. Pengadilan modern itu adalah pengadilan yang berbasis TI. Namun, mengembangkan TI ini juga tidak gampang. Dari kami yang tidak mengenal sama sekali IT, harus mengubah sistem TI di 990 satuan kerja se-Indonesia. Dari yang tadinya tidak ada website, sekarang semuanya wajib memiliki website.
Bahkan kemarin, pada masanya kepemimpinan Pak Hatta Ali (mantan Ketua MA), kami sudah punya e-court. Kemarin baru tiga komponen yang bisa dilaksanakan, yaitu e-filing atau pendaftaran perkara secara elektronik, e-payment pembayaran secara elektronik, dan e-summon pemanggilan pihak yang berperkara secara elektronik. Menjelang beliau berakhir masa jabatannya, kami pacu.
Kebetulan dulu saya yang menjadi ketua kelompok kerja TI. Kita luncurkan e-litigasi atau sidang secara elektronik, tetapi baru perdata, perdata agama, tata usaha militer, dan tata usaha negara. Itu dulu yang sudah dilaksanakan dengan payung hukum Peraturan MA Nomor 1/2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik sudah berjalan.
Sementara di pidana waktu itu, belum. Saat itu, kami sedang menggarap peningkatan e-litigasi perdata di tingkat banding dan kasasi. Tiba-tiba datang Covid-19. Covid-19 ini di sisi lain jadi momentum kita untuk lebih mempercepat mengejar visi dan misi tadi. Transformasi menjadi semakin cepat untuk e-litigasi ke pidana.
Mengapa dulu tidak bisa cepat? Karena, memang MA sebetulnya kita tidak bisa berdiri sendiri di situ. Persidangan perkara pidana itu berkaitan dengan kejaksaaan, kepolisian, lembaga pemasyarakatan atau rutan. Sebetulnya, kami sulit menjangkau masing-masing institusi ini. Akan tetapi, karena ada Covid-19, malah menjadi momentum untuk satu bahasa. Ada hikmah dari pandemi ini, karena jadi momentum mempercepat e-litigasi pidana.
Untuk awalnya, MA memang belum bisa langsung membuat Perma. Kami buat dulu nota kesepakatan (MOU) antara MA, Kejaksaan, Kepolisian, dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Semua pihak sama-sama takut (dengan pandemi Covid-19). Kemenkumham pun takut untuk masukkan tahanan baru karena kalau kena satu bisa jadi kena semua di LP. Kalau dikeluarkan pun dia takut juga. Kondisi ini, semakin mempercepat transformasi digital.
Baca juga: Mahkamah Agung Mulai Dipimpin Ketua Baru, Peradilan Harus Jadi Lembaga Pemberi Keadilan
Di sisi lain, polisi juga harus melaksanakan tugasnya memberikan keamanan pada masyarakat dengan menangkap pelaku kejahatan. Kalau orangnya ditahan, kan, harus disidangkan karena ada limitasi waktu? Setelah ada MOU, kami tindak lanjuti dengan membuat Peraturan MA (Perma). Karena itu, keluarlah Perma No 1/2020, disempurnakan dengan Perma No 4/2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara di Pengadilan secara Elektronik. Sehingga sekarang, sidang perkara pidana pun sudah bisa dilakukan secara e-litigasi.
Kami sudah sampai e-litigasi, tetapi masih akan optimalkan itu ke depan. Sebab, tidak bisa sampai di situ. Sekarang, e-litigasi itu kan baru ada di tingkat pertama. Bagaimana kalau orang mau banding atau kasasi? Untuk itu, kami buat lagi Pokja Upaya Hukum E-litigasi. Pokja itu di antaranya membangun aplikasi untuk banding, kasasi, dan PK.
Yang sudah berjalan itu untuk administrasi perkara banding. Kalau selama ini, berkas induk dikirim secara langsung ke pengadilan, ini riskan juga pada masa pandemi ini. Dengan sistem e-litigasi, berkasnya tidak dikirim hanya, soft copy-nya saja.
Sekarang ingin tingkatkan lagi supaya bisa di upaya hukum kasasi dan peninjauan kembali (PK) di MA. Di MA sudah ada juga aplikasi namanya Sistem Informasi Administrasi Perkara (SIAP). Jadi, begitu perkara masuk di bawah penerima umum, sudah terdeteksi di sistem. Kita tahu perkara jalan sampai di mana, sekarang berada di mana bisa dideteksi sampai kembali lagi di pengadilan pengajuan.
Di MA ini memang berbeda, karena pencari keadilannya tidak hadir. Kalau di bawah mereka kan hadir, aplikasinya berbeda. Kalau di tingkat bawah itu ada Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP), sementara di MA itu namanya SIAP. Ternyata, menggabungkan SIPP dan SIAP itu tidak mudah. Perlu pendalaman juga tim TI. Sekarang tim TI sedang menggodok aplikasi itu di Semarang. Kami harapkan sebulan ke depan sudah selesai, jadi untuk kasasi dan PK secara elektronik bisa mulai diterapkan di Januari 2021.
Selain optimalisasi IT, kami juga ingin selanjutnya mengembangkan sistem eksekusi perkara. Kami sudah melakukan studi banding seperti di Arab Saudi, Belanda, Australia, khusus untuk manajemen eksekusi perkara. Mereka ada lembaga sendiri. Kalau di Arab, khusus namanya pengadilan eksekusi. Jadi, dia ngurusin eksekusi saja. Kalau kita kan baru sebatas memutus saja. Di Belanda dan di Australia, ada lembaga lain yang melakukan eksekusi.
Lihat juga: Profil M Syarifuddin, Ketua Mahkamah Agung
Di Indonesia saya berharap ada lembaga lain yang melakukan eksekusi ini, agar mengurangi beban pengadilan. Kalau selama ini kan eksekusi yang melaksanakan pengadilan, tetapi negara harus hadir dalam prosesnya. Sebab, eksekusi kan upaya paksa, tanpa kehadiran negara dalam hal ini polisi, juga kalau TUN pejabat pemerintahan, tidak bisa jalan eksekusinya.
Oleh karena itu, dalam pikiran saya bagus kalau eksekusi ini, dilaksanakan oleh lembaga lain, tetapi tetap dipimpin oleh seorang hakim. Mengapa? Karena yang tahu akan maksud, tujuan, dan pertimbangan putusan itu hanya hakim. Kalau lembaga lain yang memimpin bukan hakim, saya khawatir jangan-jangan nanti malah jadi masalah baru. Yang ini bilang eksekusi, yang satu bilang tidak.
Selain itu, ada juga opsi, bagaimana kalau yang melaksanakan eksekusi ini kita angkat pejabat khusus. Bukan hanya ketua pengadilan tingkat pertama. Kalau sekarang kan ketua pengadilan tingkat pertama yang melakukan. Sementara itu, dia harus mengadili perkara begitu banyak. Apakah bisa, misalnya, diangkat pejabat eselon I khusus untuk eksekusi? Ini pikiran kita sementara dan masih menjadi bahan diskusi internal, dan masih harus dikaji lagi.
Makna e-litigasi dan badan eksekusi itu apa bagi pencari keadilan atau penegakan hukum?
Yang jelas itu meningkatkan kredibilitas dan transparansi peradilan karena dengan dibangun yang tadi akan memudahkan masyarakat pencari keadilan. Seperti sidang e-litigasi, dia tidak perlu datang ke pengadilan. Dari rumah saja sudah bisa, begitu juga dengan upaya hukum, sudah memudahkan mereka. Dan transparansi semakin terbuka.
Artinya, arus pendukung TI ini harus kuat?
Iya. Sekarang, penerimaan pegawai MA ini masih terpusat di Kemenpan dan RB. Kami sudah minta persyaratan kalau bisa yang masuk itu yang menguasai TI. Saya sampaikan itu ke Kemenpan RB. Akan tetapi, kami dapat jatah kemarin 1.000 pegawai itu, ternyata tidak semuanya cakap TI.
Bagaimana supaya cepat dapat pegawai TI? Apa kalau bisa kita honorkan dulu saja. Cuma penyakitnya, kalau dihonorin semua TI ini. Pekerjaannya akan tergantung honor. Kalau honor kecil, ada tempat honor yang besar, pindah dia. Kita yang susah. Sekarang, kami berusaha dengan tim yang ada sekarang kita punya 17 ahli TI tersebar di beberapa pengadilan.
Sedikit sekali 17 orang untuk MA?
Iya betul. Jadi kita ada kabag pemeliharaan dan perencanaan, dan ada kabag perawatan. Ini memang masih kurang. Kami ada 990 satuan kerja seluruh Indonesia. Sementara pegawai TI yang kami punya hanya itu. Kami coba berdayakan dengan maksimal dari 17 ahli IT ini. Dengan 17 ini mudah-mudahan bisa terus lebih baik.
Mereka bertugas membuat aplikasi sistem administrasi dan persidangan perkara menjadi lebih cepat. Tugasnya adalah membuat template putusan jadi cepat selesai. Kami juga buat regulasi, gugatan sederhana. Dengan terobosan itu harapannya dapat memberikan rasa keadilan kepada pencari keadilan sejak dari putusan tingkat pertama. Sehingga jika mereka merasa sudah adil, untuk apa lagi banding. Ini otomatis mengurangi jumlah perkara yang masuk ke MA.
Di samping itu juga upaya memberikan rasa adil ke masyarakat kami juga setiap tahun ada rapat pleno kamar MA. Hakim agung ini setiap akhir tahun rapat pleno khusus membuat catatan apa hukum yang kami belum sepakat yang perlu dipecahkan. Nanti dapatlah kesepakatan kamar di situ, ada kamar pidana, militer, PTUN, agama, ini jadi kesepakatan kita, nanti dituangkan dan diumumkan jadi panutan kawan-kawan di bawah.
Harapan kami supaya terwujud kesatuan hukum. Di samping itu, kami juga harapkan adanya konsistensi pada putusan. Karena kalau berulang-ulang seperti itu, akan banyak yurisprudensi tentang itu. Sehingga mulai dari tingkat bawah sampai MA, itu akan mengurangi perkara. Untuk apa banding, kasasi, panduan sudah adil di situ. Sehingga semakin mengurangi tumpukan perkara di kami.
Di MA, perkara setiap tahun naik 15 persen. Sementara hakim jangankan nambah, berkurang. Hakim ini untuk kamar pidana 11, dari tadinya 18, sekarang tinggal 11. Apalagi dengan pandemi ini, ada yang sakit. Jadi, sementara perkara bertambah, hakimnya berkurang.
Penambahan 15 persen itu dimaknai positif artinya masyarakat lebih senang menyelesaikan perkara ke ranah hukum. Atau karena persoalan lain?
Semakin banyak perkara yang masuk, mereka semakin percaya ke kami. Dan menunjukkan daripada selesaikan sendiri, lebih senang serahkan ke pengadilan. Kami maknai positif saja.
Soal kekurangan hakim ini, MA sudah mengusulkan melalui Komisi Yudisial. Seleksi sudah dilakukan beberapa kali, ada 4-5 kali kirim ke DPR, sampai DPR satu pun tidak ada yang diterima. Mungkin di dewan, di KY, tidak begitu terasa. Tetapi, kami sebagai penggunanya itu terasa sekali.
Oleh karena itu, saya berpikir, sekarang hampir 22.000 perkara. Sementara hakimnya seperti ini, kami usul saja banyak-banyak (perekrutan hakim agung) ke KY. Karena banyak belum tentu lulus. Kami, kan, sebenarnya kalau menurut UU maksimal bisa sampai 60 hakim agung. Akan tetapi, jangankan 60 hakim agung, bisa sampai 50 hakim agung saja sukar. Sekarang ini jumlah hakim agung ada 46, sementara perkara terus bertambah.
Ke depan perbaikannya itu, kalau bisa jumlah hakimnya ditambah, optimalkan TI dengan sarana dan prasarana, anggaran, dan SDM, ataupun penambahan aparatur sipil negaranya. Karena kalau tidak didukung itu, walaupun pakai TI, kalau tidak ada SDM-nya susah juga.
Menjaga dan meningkatkan integritas hakim adalah bagian dari cetak biru pembaruan peradilan. Kasus menonjol seperti dugaan korupsi bekas sekretaris MA Nurhadi dapat membuat buruk citra MA. Sejauh mana pengawasan dilakukan MA kepada hakim dan aparatur?
Memang, sampai sekarang pengawasan menjadi concern kami. Ketika saya masih ketua pengawasan, itu kami turun ke lapangan (mysterious shoppers) ternyata berhasil. Tidak ada yang tahu. Pengawas menyamar memakai wig, jaket, dan waktu itu saya ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan, sampai selesai saya ubek-ubek tidak ada yang tahu.
Konsep kami untuk tingkatkan integritas itu adalah dengan pengawasan, sekarang punya program mysterious shopper, sistem pengawasan berbasis TI, masyarakat sudah bisa melaporkan hakim atau aparat pengadilan melalui Sistem Informasi Pengawasan Mahkamah Agung (Siwas).
Di samping melalui seperti itu, kami juga masih ada dengan SMS. Jadi kami pancing melalui SMS ini, bagi yang sudah diingatkan tidak mau, pegawai lain dapat melapor melalui SMS ke kami. Nanti saat diperiksa, si pelapor ini tidak akan disebut namanya. Kami juga punya Perma tentang Penegakan Disiplin Kerja Hakim MA dan Badan Peradilan di Bawahnya. Itu untuk memacu pimpinan agar melakukan pengawasan melekat, secara rutin.
Misalkan yang di pengadilan yang salah kena ini hakim, kami akan lihat pimpinan. Sejauh mana mereka sudah memberikan pembinaan dan pengawasan kepada yang bersangkutan. Kalau ternyata pembinanya tidak baik, atasan bisa dihukum juga.
Kami ingin supaya saling awas mengawasi di antara hakim dan aparatur. Kami juga bekerja sama dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) untuk pengawasan ini. Lalu, kalau tidak ada pengaduan yang masuk kita gunakan manajemen risiko. Manajemen risiko ini adalah melihat potensi dimana akan terjadi pelanggaran masalah, sudah pasti biasanya di kota besar.
Tetapi tidak begitu juga, terkadang di kota kecil yang tidak kita sangka juga terjadi juga. Kita terjunkan ke sana, untuk mengawasi mereka ini. Hasilnya, itu kita umumkan sebulan sekali. Namun, dalam mengumumkan hasil pengawasan itu, kami tetap melindungi identitas hakim yang melakukan pelanggaran. Kami tidak sebut nama lengkap, kami hanya sebut inisial.
Kami juga tidak menyebut instansi lengkap, tetapi kami gunakan inisial. Mengapa? Karena kalau kami sebut nama lengkap kasihan pada keluarganya. Yang salah dia, anak istrinya tidak salah. Kalau disebut nama semua kena. Kalau disebut instansi, misalnya PN Jakpus, sepertinya semua tidak bagus, padahal yang tidak bagus adalah itu saja. Ini kita rancang dengan maksud diumumkan supaya yang melakukan tahu, kalau dia berbuat berani bertanggung jawab.
Yang mengawasi itu tidak hanya Badan Pengawas MA, tetapi juga Komisi Yudisial . Hubungan MA dan KY itu selama ini kerap panas dingin. Ke depan bagaimana membangun hubungan KY dan MA menjadi lebih baik?
Sebenarnya kami tidak ada masalah. Semakin banyak orang menjadi KY, kami malah senang. Semakin banyak yang awasi hakim kami malah senang karena kami ingin lembaga ini jadi lebih baik. Cuma kadang-kadang ada rambu-rambu yang membuat hubungan panas dingin itu. KY kan hanya berwenang mengawasi etik dan perilaku yang dimuat di pedoman perilaku hakim. Tidak untuk mengawasi yang teknis.
Kalau dia beranggapan teknis, bisa berdampak pada perilaku bisa saja. Namun, jangan jalan sendiri, karena kewenangan teknis ada di MA. MA diajak, nanti kami periksa bersama-sama. Tapi, kalau perkara etik monggo, kalau sudah soal teknis itu kewenangan. Mudah saja sebenarnya, kalau semua bertindak sesuai kewenangan. Dan sudah ada kesepakatan bersama antara MA dan KY tahun 2012. Sudah ada petunjuk yang jelas. Tujuan pengawasan ini kan supaya pengadilan bagus. Hanya caranya yang harus sesuai kewenangan.
MA banyak memotong hukuman koruptor di tingkat PK. Sebenarnya bagaimana komitmen MA dalam memberantas korupsi?
Tidak benar. Mengenai lamanya pidana itu adalah independensi dari hakim. Jangankan orang luar, saya (sebagai Ketua MA) saja tidak boleh nanya ke hakim. Itu independensi hakim sesuai rasa keadilan. Oleh karena itu, sebenarnya yang turun (hukumannya) itu tidak banyak, hanya sedikit. Lebih banyak kalau PK itu ditolak. Bahkan, sampai 92 persen itu yang ditolak. Yang diterima itu paling hanya 8 persen.
Akan tetapi, kalau kasasi, itu malah banyak yang lebih berat dan ditambah masa hukumannya. Malah banyak yang sudah dibebaskan di tingkat pertama, itu kami hukum di tingkat kasasi. Jadi, tidak benar kalau PK selalu menyunat hukuman. Hanya 8 persen dari data tersebut. (SUT/MBA/NOW/APA)