Di Balik Serangan Umum 1 Maret 1949
Penerbitan Keppres Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara membuka kembali polemik sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949 yang selama menjadi perdebatan puluhan tahun.
Setelah 73 tahun, pemerintah menetapkan momentum Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta sebagai hari besar nasional. Meski memunculkan polemik, penetapan ini menjadi babak baru yang mengungkap dan mengakui tidak adanya dominasi satu pihak sebagaimana dinarasikan selama Orde Baru. Peristiwa heroik tersebut melibatkan banyak pejuang dari berbagai kalangan yang bahu membahu membuktikan eksistensi Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat di hadapan dunia.
Awal 2018, para sejarawan di Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, mendapatkan permintaan dari Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) untuk membuat kajian akademis ihwal Serangan Umum (SU) 1 Maret 1949. Permintaan itu merupakan tindak lanjut dari perintah Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono (HB) X seusai menangkap aspirasi warga setempat. Mereka ingin agar momentum 1 Maret tidak hanya diperingati warga lokal setiap tahun, tetapi juga seluruh masyarakat sebagai hari besar nasional.
Di tengah polarisasi masyarakat dan berbagai ancaman perpecahan bangsa, keberadaan hari besar berlatar belakang sejarah mempertahankan kemerdekaan Indonesia dinilai penting. Semangat perjuangan diharapkan bisa mengingatkan seluruh anak bangsa untuk terus menjaga persatuan dan kesatuan. Para sejarawan pun sepakat atas argumentasi tersebut.
“Sehingga kami menulis kajian akademis, selesai pada akhir 2018. Waktu itu ada pertanyaan, kalau nanti jadi hari besar nasional, nomenklaturnya apa. Di situ saya mengusulkan agar dijadikan Hari Penegakan Kedaulatan Negara,” kata Sri Margana, pengajar sejarah di Universitas Gadjah Mada, Jumat (4/3/2022).
Baca juga: 1 Maret Hari Penegakan Kedaulatan, Peringatan Digaungkan dari Yogyakarta
Kajian itu menguraikan peristiwa SU 1 Maret di Yogyakarta yang didasarkan pada berbagai arsip, foto, dan wawancara dengan para pelaku. Fakta historis terkait peran berbagai pihak disebutkan. Salah satunya peran Sultan HB IX, yang merupakan pemimpin kultural, Menteri Keamanan Negara, dan menyandang pangkat Letnan Jenderal Titulair, sebagai penggagas serangan.
Gagasan untuk melancarkan serangan besar-besaran di Yogyakarta muncul setelah mendengar siaran berita luar negeri. Di radio, HB IX mendapatkan berita bahwa masalah Indonesia akan dibicarakan dalam sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Maret 1949. Sementara itu, Belanda terus mempropagandakan di PBB bahwa negara Indonesia sudah bubar.
Ide itu lalu ia sampaikan kepada Panglima Besar Jenderal Soedirman melalui surat yang dikirimkan ke lokasi persembunyiannya. Soedirman, sebagai Panglima yang berkuasa untuk mengerahkan pasukan menyetujui ide tersebut. Ia meminta HB IX berkomunikasi dengan Komandan Wehrkreise III/Brigade X Letnan Kolonel (Letkol) Soeharto untuk membahas serangan itu.
Beberapa hari berselang, HB IX bertemu dengan Soeharto dalam pertemuan empat mata di Keraton Yogyakarta. Saat itu mereka merencanakan serangan pada 28 Februari. Namun, karena informasi telanjur menyebar, maka rencana diundur hingga 1 Maret.
“Salah satu kesaksian paling autentik itu wawancara Sultan HB IX dengan radio BBC pada awal 1980-an dan keterangan di bukunya Takhta untuk Rakyat. Hal itu tidak pernah dibantah oleh Soeharto. Baru setelah Sultan HB IX meninggal, Soeharto pernah bercerita bahwa serangan itu inisiatifnya,” kata Margana.
Kerja sama
Selain Sultan HB IX dan Soeharto, tambah Margana, setidaknya ada delapan tokoh lain yang juga disebut dalam naskah akademik. Mereka antara lain Soedirman, yang memberikan izin dan arahan pelaksanaan serangan; Wali Kota Yogyakarta Mr Soedarisman Poerwokoesoemo bersama dengan Lettu Marsoedi yang menentukan rumah, jalan masuk keluar Yogyakarta untuk pejuang, serta dapur umum; dan Komandan Divisi III Kolonel Bambang Soegeng yang ikut membantu mengonsepkan serangan dan mencegah pasukan Belanda dari arah utara dan barat.
Ada pula Komandan Divisi II Kolonel Gatot Subroto, berperan mencegah pasukan Belanda dari Solo; Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel TB Simatupang, mengonsepkan berita ke luar negeri dan mengumpulkan intelijen untuk menyebarkan informasi; Mayor Sardjono dan Letkol Vince Samuel, berjuang di garis depan bertempur dengan Belanda di Benteng Vredeburg. Selain itu, Mayor Soekasno berperan mencegah kedatangan bantuan pasukan NICA dari Magelang, serta Mayor Soedjono yang menduduki Bandara Maguwo (sekarang Adisutjipto) untuk memastikan Belanda tidak menggunakan pesawat untuk menggempur para pejuang di Yogyakarta. Belum lagi personel kepolisian dan laskar-laskar rakyat yang juga turut berperan dalam serangan itu.
“Mereka semua berada dalam satu organisasi dan satu gerakan. Tidak ada yang dominan di situ, semua punya peran strategis dan jika salah satu tidak berfungsi, maka serangan akan gagal,” kata Margana. Ia menambahkan, semua pelaku sejarah harus ditempatkan sesuai dengan porsinya. Narasi sejarah tak bisa lagi mempersonifikasikan SU 1 Maret 1949 dengan sosok Soeharto.
Kontroversial
Naskah akademik yang disusun oleh Margana dan empat sejarawan lainnya menjadi bekal bagi Sultan HB X mengusulkan penetapan Hari Penegakan Kedaulatan Negara kepada Presiden Joko Widodo pada Oktober 2018. Setelah diajukan ke Presiden, Kementerian Sekretariat Negara meminta Pemda DIY mengirim surat permohonan dukungan usulan penetapan 1 Maret sebagai hari besar nasional ke Kementerian Pertahanan. Surat lalu dikirim pada Februari 2019, beberapa hari setelahnya perwakilan Pemda DIY pun diminta datang ke Jakarta untuk menjelaskan usulan tersebut (Kompas.id, 1/3/2019).
Tiga tahun berselang, usulan itu dikabulkan. Presiden Joko Widodo menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara pada Kamis (24/2), dengan empat pertimbangan. Salah satunya, Serangan Umum 1 Maret 1949 digagas oleh Sultan HB IX, diperintahkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman, serta disetujui dan digerakkan oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh Hatta. Serangan ini juga didukung oleh TNI, Polri, laskar-laskar perjuangan rakyat, dan segenap komponen bangsa untuk menegakkan eksistensi dan kedaulatan negara di dunia internasional.
Konsiderans ketiga Keppres No 2/2022 itu disoroti publik. Sejumlah pihak mempertanyakan petimbangan yang tidak memuat nama Soeharto. Sebab, selama ini Soeharto dikenal sebagai pimpinan SU 1 Maret 1949.
Menanggapi itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dalam keterangan pers, Kamis (3/2), mengatakan, keppres bukan buku sejarah melainkan keputusan tentang momen krusial dalam perjalanan sejarah. Oleh karena itu, tidak semua pelaku sejarah dituliskan, hanya beberapa orang yang berperan sebagai penggagas dan penggerak saja. Namun hal itu tidak berarti peran tokoh yang lain dihilangkan. Peran mereka, termasuk Soeharto, tercatat utuh dalam naskah akademik keppres.
Ia mencontohkan, kebijakan serupa juga dilakukan dalam penulisan naskah proklamasi. Ada banyak orang yang berperan dalam proklamasi, namun hanya nama Soekarno—Hatta yang dituliskan. “(Keppres) ini adalah penetapan hari krusial, dan hanya menyebut yang paling atas sebagai penggagas dan penggerak, tanpa menghilangkan peran Soeharto sama sekali,” kata Mahfud.
Namun, penjelasan itu tidak cukup. Protes kian mengemuka di media sosial. Salah satunya dikemukakan politisi Partai Gerindra Fadli Zon. Melalui akun Twitter dan Youtube-nya, Fadli meminta Keppres No 2/2022 direvisi, karena tidak hanya tak menyebut Soeharto, tetapi juga tak menyertakan peran Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berdiri saat Serangan Umum 1 Maret 1949 terjadi. Menurut Fadli, serangan itu ada dalam kerangka strategi PDRI, karena Soekarno-Hatta tengah berada dalam pengasingan.
Polemik sejarah SU 1 Maret 1949 bukan pertama kali terjadi. Perdebatan setidaknya terjadi sejak 1985 atau tiga tahun sebelum otobiografi Soeharto terbit, ketika harian Suara Merdeka menerbitkan wawancara dengan KPH Soedarisman Poerwoekoesoemo. Soedarisman saat itu mempertanyakan dari mana inisiatif serangan berasal, apakah dari Soeharto, Bambang Soegeng atasan Soeharto, Soedirman, Nasution, atau Sultan HB IX (Kompas, 1/3/1999).
Dalam otobiografi berjudul “Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya” (1989), Soeharto mengaku bahwa SU 1 Maret 1949 merupakan inisiatifnya setelah mendengar perkembangan situasi dari siaran radio luar negeri. Ia juga memaparkan, telah mengerahkan pasukan dan memimpin serangan untuk menduduki Yogyakarta selama enam jam.
Namun, penelitian untuk mengungkap fakta lain seputar peristiwa ini terus dilakukan oleh para sejarawan. Kesaksian para pelaku dan saksi sejarah mengantarkan pada bangunan kisah yang lebih meyakinkan dan lepas dari kepentingan tertentu.
Sultan HB X pada Selasa (1/3) melalui siaran daring mengatakan, untuk melengkapi fakta SU 1 Maret 1949, ia pernah mendapatkan cerita dari HB IX, yang juga ayahnya bahwa serangan semula direncanakan pada 28 Februari. Namun, rencana itu batal karena informasi bocor ke pihak lain, sehingga diundur pada 1 Maret. Ia juga mengingatkan ihwal posisi HB IX sebagai Menteri Keamanan Negara dan menyandang pangkat Letjen Titulair, sehingga wajar jika dalam posisi itu, ayahnya bisa berkirim surat dengan Soedirman.
Selain itu, pihaknya juga saat ini menyimpan dokumen “Indonesian Question before The Security Council 1946—1949” yang memuat materi yang menyebut SU 1 Maret 1949 dalam pembicaraan seputar kedaulatan Indonesia di Dewan Keamanan PBB. Dokumen ini memuat informasi penting terkait negosiasi-negosiasi yang membalikkan sikap negara Barat, yang semula mendukung Belanda menjadi mendorong Belanda untuk mengembalikan kedaulatan Indonesia sepenuhnya. “Jadi, kami punya naskah-naskah itu, bagi para akademisi yang akan studi lebih jauh mungkin bisa memfotokopi,” ujarnya.
Formulasi netral
Penulis buku “Serangan Umum 1 Maret 1949: Perjuangan TNI, Diplomasi dan Rakyat” Batara R Hutagalung mengapresiasi penetapan 1 Maret sebagai hari besar nasional. Momentum tersebut layak diperingati secara nasional karena merupakan peristiwa dahsyat yang menunjukkan kekuatan serta kerja sama sipil dan militer untuk membuktikan keberadaan Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Serangan ini dibangun dengan skenario detail yang melibatkan banyak pihak yang berperan mulai dari ranah gagasan, perencanaan, pelaksanaan, hingga penyebarluasan berita.
Upaya bahu membahu itu lah yang memungkinkan kabar serangan sampai dalam satu hari ke Dewan Keamanan PBB. Sehingga bisa memperkuat posisi para diplomat yang saat itu mewakili Indonesia. “Semuanya itu berjasa di sini, jangan direduksi hanya untuk menyebut nama empat orang saja,” kata Batara.
Oleh karena itu, ia mengkritik pertimbangan Keppres No 2/2022 yang menyebutkan Sultan HB IX, Soedirman, Soekarno, dan Moh Hatta. Apalagi berbagai bukti sejarah menunjukkan bahwa Soekarno dan Moh Hatta tidak terlibat dalam operasi-operasi militer yang ada di Pulau Jawa. Penyebutan kedua tokoh itu dalam keppres berpotensi memberikan informasi yang salah pada generasi selanjutnya.
Baca juga: Menegakkan Kedaulatan, Merayakan Kebersamaan
Menurut Batara, menyebutkan sejumlah tokoh dalam keppres tidak jauh berbeda dengan cara Orde Baru mengidentikkan Serangan Umum 1 Maret 1949 dengan peran Soeharto. Ada kecenderungan untuk menonjolkan satu pihak ketimbang yang lainnya untuk kepentingan tertentu. “Jadi, harus dicari formulasi yang netral, kalau mau disebut nama, ya, disebutlah semua nama atau sama sekali tidak ada nama,” kata dia.
Margana sepakat, keppres bersifat administratif, bukan historiografi. Semestinya justru tidak ada nama pejuang yang disebutkan. "Sejarah secara utuh bisa dilihat di buku yang kami tulis, semua di sana ditulis apa adanya, sesuai porsinya," ujarnya.