1 Maret Hari Penegakan Kedaulatan, Peringatan Digaungkan dari Yogyakarta
Pasca-Keppres 2/2022,Serangan Umum 1 Maret kini diperingati tiap tahun sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara. Peringatan ini diharap merawat ingatan sejarah dan menghargai peran seluruh pejuangnya, tak hanya Soeharto.
Oleh
NINA SUSILO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tanggal 1 Maret akhirnya ditetapkan sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara. Peringatan ini sekaligus mengingat peran semua tokoh bangsa dalam menegakkan eksistensi Negara Indonesia. Dari Yogyakarta, peringatan digaungkan ke berbagai wilayah. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara ditandatangani 24 Februari 2022. Kendati menetapkan 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan, ditegaskan pula bahwa tanggal itu bukan hari libur.
Dalam laman situs Sekretariat Kabinet, dijelaskan empat pertimbangan penetapan Hari Penegakan Kedaulatan Negara tersebut. Pertama, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 adalah negara merdeka dan berdaulat. Kedua, setelah Proklamasi Kemerdekaan tersebut, upaya bangsa Indonesia mendapatkan pengakuan kedaulatan dari dunia internasional mendapat perlawanan dari Belanda. Agresi militer dan propaganda politik di Perserikatan Bangsa-Bangsa tercatat dalam sejarah.
Ketiga, Serangan Umum 1 Maret 1949 terjadi berkat banyak peran para pemimpin negara. Serangan Umum 1 Maret 1949 digagas Sultan Hamengkubuwono IX dan diperintahkan Panglima Besar Jenderal Soedirman. Serangan ini juga tidak akan terjadi tanpa persetujuan dan gerakan dari Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Selain itu, ada dukungan penuh dari TNI, Kepolisian Negara Republik Indonesia, laskar-laskar perjuangan rakyat, dan segenap komponen bangsa lain.
”Gagasan untuk menetapkan 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara sudah lama,” kata Deputi Bidang Protokol Pers dan Media Sekretariat Presiden Bey Machmudin.
Gagasan untuk menetapkan 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara sudah lama.
Selain memperingati Serangan Umum 1 Maret, pelurusan sejarah dan mendudukkan peran penting semua tokoh bangsa bisa dilakukan. Tak hanya ke Soeharto yang memimpin serangan, tetapi juga tokoh lainnya.
Diusulkan sejak 2018
Usulan peristiwa Serangan Umum 1 Maret menjadi Hari Penegakan Kedaulatan Negara dan hari besar nasional diusung Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Usulan disampaikan pada 2018 kepada Presiden. Kemudian, Menteri Sekretaris Negara merekomendasikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk menelaah dan mengkajinya.
Pengajar Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Sri Margana, menjelaskan, Serangan Umum 1 Maret sangat penting maknanya untuk eksistensi dan penegakan kedaulatan negara. Keberhasilan para founding fathers di bawah kepemimpinan Soekarno dan Mohammad Hatta, Panglima Besar Jenderal Sudirman, Sultan Hamengkubuwono IX, Syafruddin Prawiranegara, dan tokoh penting lainnya berhasil mengajak seluruh komponen bangsa, mulai dari TNI, kepolisian, laskar, ulama, santri hingga rakyat biasa, bahu-membahu merebut kembali ibu kota negara yang dikuasai penjajah.
Masalahnya, historiografi Serangan Umum 1 Maret selama ini mereduksi peran tokoh-tokoh besar, seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Jenderal Sudirman, dan Sultan Hamengkubuwono IX. Malah ada kecenderungan mengultuskan perorangan sebagai tokoh sentral, yaitu Soeharto.
Masalahnya, historiografi Serangan Umum 1 Maret selama ini mereduksi peran tokoh-tokoh besar, seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Jenderal Sudirman, dan Sultan Hamengkubuwono IX. Malah ada kecenderungan mengultuskan perorangan sebagai tokoh sentral, yaitu Soeharto.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, upaya Belanda kembali menguasai Indonesia terjadi berkali-kali dimulai dengan mendaratnya pasukan Sekutu dan Belanda di Indonesia untuk melucuti tentara Jepang. Pada 5 September 1945, Sultan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII menyatakan Kasultanan Ngayogyakarta dan Kadipaten Pakualaman menjadi bagian dari Indonesia melalui Amanat 5 September 1945.
Ketika para pejabat negara mengalami percobaan pembunuhan dan teror dari pasukan Sekutu, Sultan Hamengkubuwono IX mengusulkan ibu kota negara dipindahkan ke Yogyakarta. Soekarno menerima tawaran itu dan memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946.
Belanda dan Indonesia juga menandatangani Perjanjian Linggarjati 15 November 1946 yang berisi persetujuan gencatan senjata dan pengakuan Belanda atas wilayah Indonesia yang terdiri atas Sumatera, Jawa, dan Madura. Namun, kesepakatan ini dilanggar Belanda dengan Agresi Militer I pada 21 Juli sampai 5 Agustus 1947.
Agresi ini diakhiri dengan Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948. Lagi-lagi, Belanda mengingkari perjanjian dan melancarkan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948. ”Kabar ini sudah diketahui Soekarno dan Hatta sehingga diselenggarakan Sidang Kabinet untuk menyusun skenario penyelamatan Indonesia,” kata Margana.
Keputusan sidang kabinet ini adalah mendirikan Pemerintahan Darurat RI (PDRI) di Sumatera Barat yang dipimpin Syafruddin Prawiranegara serta menunjuk Menteri Luar Negeri AA Maramis dan pejabat Konsulat Indonesia di India, Dr Soedarsono dan AM Palar, membentuk pemerintahan darurat di luar negeri jika PDRI gagal dilaksanakan.
Keputusan lainnya memerintahkan Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX menangani masalah keamanan dan ketertiban di ibu kota bila Presiden dan Wapres ditangkap Belanda. Sultan juga diperintahkan memantau perkembangan politik dalam dan luar negeri serta melaporkan kepada Presiden.
Presiden, Wapres, dan para menteri bertahan di ibu kota negara dan melanjutkan perjuangan secara diplomatik. Adapun Panglima Besar Jenderal Soedirman diperintahkan melakukan perang gerilya.
Karena itu, saat agresi militer II terjadi 19 Desember 1948 dan Presiden, Wapres, dan beberapa menteri ditangkap serta diasingkan ke beberapa wilayah, semua keputusan itu dilaksanakan. Namun, Belanda menyebarkan propaganda di dunia internasional bahwa Indonesia sudah tidak ada.
Awal Februari 1949, Sultan Hamengkubuwono IX memantau berita mengenai Sidang PBB yang membahas nasib Indonesia. Karena itu, Sultan Hamengkubuwono IX menyampaikan gagasan serangan umum dari segala penjuru dan melibatkan semua elemen kepada Panglima Besar Jenderal Soedirman. Serangan 1 Maret 1949 dilakukan pukul 06.00 setelah sirene tanda berakhirnya jam malam berbunyi. Dalam enam jam, Yogyakarta bisa dikuasai kembali dan berita ini disiarkan ke seluruh dunia melalui radio.
”Keberhasilan pasukan TNI bersama semua elemen kekuatan RI, termasuk kepolisian, laskar, dan komponen masyarakat lainnya, dalam merebut kembali Kota Yogyakarta membawa pengaruh besar. Negara-negara bentukan Belanda di Indonesia mengetahui keadaan Indonesia sebenarnya dan berbalik memihak Indonesia. Dewan Keamanan PBB juga menggunakan berita serangan ini untuk mendesak Belanda kembali berunding dengan Indonesia,” tutur Margana.
Keberhasilan pasukan TNI bersama semua elemen kekuatan RI, termasuk kepolisian, laskar, dan komponen masyarakat lainnya, dalam merebut kembali Kota Yogyakarta membawa pengaruh besar. Negara-negara bentukan Belanda di Indonesia mengetahui keadaan Indonesia sebenarnya dan berbalik memihak Indonesia. Dewan Keamanan PBB juga menggunakan berita serangan ini untuk mendesak Belanda kembali berunding dengan Indonesia.
Amerika Serikat juga sempat memberikan ancaman sanksi ekonomi terhadap Belanda. Akhirnya perundingan terjadi dan disepakati Perjanjian Roem-Royen pada 7 Mei 1949. Dalam perjanjian ini disepakati gencatan senjata, pengembalian pemimpin Indonesia ke Yogyakarta, dan Konferensi Meja Bundar yang akhirnya dilangsungkan 23 Agustus sampai 2 November 1949.
Untuk merawat ingatan sejarah ini, kata Margana, rangkaian peringatan Serangan Umum 1 Maret di Yogyakarta dilangsungkan sudah bertahun-tahun. Tahun ini, acara dimulai 12 Februari 2022 dengan beragam acara, baik pergelaran seni tradisional, pentas musik, wajib kunjung museum, teatrikal pertempuran-pertempuran yang terjadi, parade, upacara, dan sarasehan.
Upaya mendorong dan menggaungkan penetapan 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara juga didukung berbagai pemerintah daerah, kementerian, serta organisasi nonpemerintah dan pihak swasta. Melalui media sosial, masyarakat juga memasang twibbon sebagai bentuk dukungan.
Naskah akademik sekaligus penulisan sejarah ulang terkait Serangan Umum 1 Maret juga segera diterbitkan Dinas Kebudayaan Daerah Istimew Yogyakarta.
Editor:
SUHARTONO
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.