Kepuasan Meningkat, Pemerintah Harus Pastikan Tak Ada Korupsi pada Penanganan Pandemi
Meski telah mencapai tingkat kepuasan publik tertinggi dalam tujuh tahun terakhir, pemerintah diingatkan agar tetap menjaga kinerjanya bebas dari korupsi. Jangan ada lagi menteri yang korupsi dana penanganan pandemi.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tingginya tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin diharapkan tidak membuat pemerintah lengah. Kinerja para menteri harus tetap diperhatikan agar bebas dari korupsi, terutama terkait dengan program penanganan pandemi Covid-19.
Survei Litbang Kompas terhadap 1.200 responden pada akhir Januari 2022 menunjukkan, kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin mencapai 73,9 persen. Nilai itu meningkat dari survei serupa pada Oktober 2021, yakni 66,4 persen. Capaian itu juga merupakan yang tertinggi sejak Januari 2015 atau awal periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi.
Peningkatan kepuasan publik juga terjadi pada kinerja pemerintah di empat bidang yang ditanyakan. Pada bidang politik dan keamanan, kepuasan publik mencapai 77,6 persen dari sebelumnya 70,8 persen. Kinerja penegakan hukum naik dari 60,6 persen menjadi 65,9 persen. Ekonomi naik dari 58,7 persen menjadi 64,8 persen. Kemudian, di bidang kesejahteraan sosial, kepuasan mencapai 78,3 persen, naik dari survei sebelumnya, yakni 68,6 persen.
Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menilai, peningkatan kepuasan publik itu terjadi berkat capaian pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19. Publik dapat merasakan percepatan vaksinasi Covid-19, tingginya angka kesembuhan, dan perbaikan layanan di fasilitas kesehatan.
Selain itu, pembatasan kegiatan masyarakat di gelombang ketiga Covid-19 juga bisa tetap membuat sektor ekonomi bergerak. Ditambah lagi dengan adanya bantuan sosial untuk masyarakat. Juga berbagai insentif yang diberikan kepada pengusaha.
”Di tengah capaian itu, jangan sampai pemerintah besar kepala. Pemerintah masih harus memastikan bahwa berbagai program itu tidak dikorupsi,” kata Arya, dihubungi dari Jakarta, Senin (21/2/2022).
Arya Fernandes menilai, peningkatan kepuasan publik itu terjadi berkat capaian pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19. Publik dapat merasakan percepatan vaksinasi Covid-19.
Oleh karena itu, lanjut Arya, kinerja para menteri perlu terus dipantau agar korupsi dana penanganan Covid-19 tidak terulang. Sebelumnya, mantan Menteri Sosial Juliari Batubara terbukti terlibat dalam korupsi dana bantuan sosial untuk masyarakat. Para menteri yang bebas dari korupsi menjadi salah satu hal yang akan dapat merawat kepercayaan dan kepuasan publik pada pemerintah.
Ia menambahkan, tak lama setelah survei dilakukan, terdapat sejumlah peristiwa dan kebijakan yang memicu reaksi publik. Mulai dari aturan tentang jaminan hari tua; dugaan kekerasan aparat di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah; hingga kelangkaan minyak goreng. ”Ke depan, jika tiga isu itu tidak ditangani dengan baik juga akan memengaruhi respons publik terhadap pemerintah,” ujar Arya.
Secara terpisah, Deputi Badan Pemenangan Pemilu DPP Partai Demokrat Kamhar Lakumani menilai, hasil survei belum bisa menggambarkan realitas yang sesungguhnya. Kepuasan publik yang meningkat masih sebatas prosedural dan belum menyentuh substansi yang dirasakan langsung oleh masyarakat.
Kinerja para menteri perlu terus dipantau agar korupsi dana penanganan Covid-19 tidak terulang. Sebelumnya, mantan Menteri Sosial Juliari Batubara terbukti terlibat dalam korupsi dana bantuan sosial untuk masyarakat.
Hal itu tecermin dari beberapa kebijakan pemerintah yang dianggap sebagai kemunduran. Sebagai contoh, Kamhar menyebutkan, pemerintah sudah banyak mengeluarkan dana untuk penanganan pandemi, tetapi anggaran negara masih dibebani lagi untuk belanja infrastruktur. Demikian pula pada pembentukan undang-undang, lanjutnya, terdapat pembahasan Undang-Undang Ibu Kota Negara yang berlangsung relatif singkat, kurang dari dua bulan.
”Yang menjadi persepsi publik tentu harus dihargai, tetapi realitanya harus benar-benar disadari pemerintah apakah kebijakannya sudah sesuai harapan publik atau belum,” tuturnya.