Nama-nama tokoh yang beredar dan digadang-gadang sebagai capres sebagian besar masih berbasis pada citra. Padahal, basis pencitraan mudah luntur.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Koridor pencalonan presiden oleh kekuatan politik kini harus mulai digeser ke arah adu politik gagasan, tidak melulu berbasis pada praktik pencitraan. Itu karena pencitraan semata rentan goyah jika menghadapi situasi dilematis dan problematis yang membutuhkan sikap tegas para tokoh yang berpotensi menjadi capres.
Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti mengatakan, praktik pencalonan presiden yang hanya berbasis pada pencitraan semata akan mudah runtuh. Ini karena kepercayaan publik akan mudah luntur saat mendapati tokoh bersangkutan tidak sesuai dengan yang dicitrakan. Kasus Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, misalnya, secara langsung diprediksikan akan berdampak langsung pada elektabilitas Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Saya merasa peristiwa Wadas itu setidaknya, kalau tidak membuat elektabilitas Ganjar menurun, akan berimplikasi pada tertahannya elektabilitas yang bersangkutan. Dalam 6-8 bulan ke depan, elektabilitas itu akan tertahan, dan Ganjar harus menemukan pola lain untuk mendudukkan dirinya di hadapan publik karena peristiwa Wadas ini mengikis citra dirinya sebagai pemimpin yang merakyat,” kata Ray dalam diskusi daring bertajuk ”Konstelasi Politik pada Kekuatan Elektabilitas Individual atau Parpol Menjelang Pilpres 2024,” yang digelar oleh Lingkar Diskusi Indonesia, Jumat (11/2/2022), di Jakarta.
Tidak hanya Ganjar, Ray menilai, nama-nama tokoh yang beredar dan digadang-gadang sebagai capres sebagian besar masih berbasis pada citra. Tokoh-tokoh itu, seperti Anies Baswedan, Ridwan Kamil, Erick Thohir, dan Prabowo Subianto. Basis citra itu terbukti mudah luntur ketika mereka sama sekali tidak kelihatan sikapnya terkait dengan fenomena yang sensitif dan menyangkut kepentingan masyarakat.
”Belum terlihat, misalnya, sikap mereka soal pemberantasan korupsi bagaimana, hak asasi manusia, demokratisasi, UU Cipta Kerja, UU Minerba, dan lain-lain. Tampaknya mereka juga tidak akan berani bersikap menyangkut isu-isu itu. Ketika dihantam isu-isu penting, mereka memilih diam,” katanya.
Adu gagasan
Dengan situasi ini, menurut Ray, wacana pencapresan harus mulai digiring ke arah adu gagasan. Dengan demikian, publik akan memiliki panduan yang jelas dan pengetahuan memadai tentang kualifikasi calon pemimpin mereka, tidak semata-mata popularitas atau pencitraan semata.
”Masih terbuka muncul calon-calon alternatif lain, yang bisa bersuara mengenai isu-isu penting itu. Sayangnya, tokoh-tokoh yang berani adu gagasan ini biasanya elektabilitasnya masih di bawah tokoh-tokoh yang pencitraannya kuat. Wacana pencapresan sebaiknya mulai digeser ke arah politik adu gagasan,” ucapnya.
Dari sisi pemilih, menurut Direktur Eksekutif Indostrategic Ahmad Khoirul Umam, karakter pemilih kerap berubah dari pemilu ke pemilu. Pada 2009, sejumlah hasil riset menunjukkan karakter pemilih Indonesia critical democrat atau berkarakter rasional. Namun, pada kenyataannya, hal itu berubah pada Pemilu 2014 dan 2019. Dalam dua pemilu terakhir itu, karakter pemilih Indonesia menjadi lebih tidak rasional karena banyak dipengaruhi oleh faktor sosiologis, primordial, identitas, etnisitas, dan diperkuat dengan karakter yang transaksional.
Khoirul menyimpulkan, perubahan arah dan preferensi pemilih itu dipengaruhi oleh faktor public mood (suasana kebatinan publik). Artinya, untuk mengetahui pola preferensi pemilih dalam Pilpres 2024, orang harus melihat bagaimana suasana kebatinan publik saat ini.
Public mood akan ditentukan dua karakter dasar. Pertama, suasana yang menginginkan keberlanjutan dari pemerintahan saat ini. Artinya, model kepemimpinan seperti yang berlaku pada rezim pemerintahan saat ini berusaha diteruskan pada kepemimpinan selanjutnya. Dengan pola pemerintahan ini, pembangunan dilihat dalam perspektif klasik, yakni melalui institusionalisasi negara, tetapi rentan memberangus nilai-nilai demokrasi, kebebasan, dan kelompok kritis ataupun masyarakat sipil.
”Kedua, antitesis dari pendekatan pemerintah saat ini. Artinya, pemerintahan yang diinginkan pada 2024 sama sekali berbeda dengan pola yang dijalankan pemerintahan saat ini,” kata Khoirul.
Dalam konteks suasana kebatinan publik, sejumlah dinamika politik dapat saja terjadi. Proyeksi poros koalisi yang mungkin terbangun pada 2024 juga masih sangat cair. Partai-partai masih mengukur dan mendalami berbagai kemungkinan yang akan mereka ambil sebagai langkah politis.
Khoirul melihat poros yang mungkin muncul adalah poros PDI Perjuangan dan poros Gerindra. Keduanya sama-sama partai besar yang masing-masing dapat mengajukan capres.
Kendati demikian, masih terbuka alternatif bagi munculnya calon lain atau kuda hitam. Misalnya, jika Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dipasangkan dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Ketua Umum Partai Demokrat.
”Anies-AHY bisa saja potensial karena mereka bisa saling menutupi. Anies yang selama ini didukung kelompok kanan akan mendapatkan imbangan dari AHY yang berada di kelompok moderat, muda, dan dari kalangan militer,” katanya.
Proyeksi pasangan lain, seperti Prabowo-Puan Maharani, menurut Khoirul, agak sulit diwujudkan karena PDI Perjuangan sebagai satu-satunya pemilik tiket capres tentu ingin memiliki capres, dan tidak cukup menjadi wapres. Namun, apabila komposisinya dibalik, yakni Puan-Prabowo, resistensi juga akan muncul dari Gerindra.
Ada pula proyeksi Puan-Ganjar sehingga ini menjadi upaya rekonsiliasi di internal PDI Perjuangan. Namun, apakah PDI Perjuangan cukup percaya diri mengusung pasangan ini, itu akan menjadi tantangan sendiri karena mereka akan menghadapi koalisi partai-partai lain, yang meskipun kecil, bisa sangat kuat dan menentukan.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan, problematika antara individu dan parpol memang cerminan dari persoalan sistem politik Indonesia yang belum koheren satu sama lain. Sistem pemilu proporsional dengan daftar terbuka salah satunya yang memicu problematika ini.
Sebab, dengan sistem ini, institusionalisasi parpol menjadi semu lantaran dibutuhkan pula kekuatan-kekuatan individu yang berkompetisi dalam pemilu. ”Parpol di satu sisi seolah hanya menjadi pengantar tiket saja bagi calon anggota legislatif, bahkan calon presiden, tetapi akhirnya yang menentukan kemenangan mereka adalah setiap kandidat itu sendiri,” katanya.
Untuk membangun koherensi sistem politik, Doli mengatakan, pada masa depan perlu ada penyempurnaan regulasi yang berkaitan sistem politik, baik meliputi UU Pemilu, UU Pilkada, maupun UU lainnya yang terkait dengan sistem politik.