Terbuka, Poros Koalisi Pencalonan Presiden Lebih dari Dua
Guna hindari polarisasi yang tajam seperti yang terjadi pada pemilu sebelumnya, sejumlah parpol bersedia hadirkan poros koalisi untuk mengusung capres lebih dari dua. Poros koalisi berbasiskan kandidat dinilai realistis.
JAKARTA, KOMPAS – Sejumlah partai politik menyatakan sangat terbuka pada gagasan untuk menghadirkan poros koalisi partai politik dalam mengusung lebih dari dari dua calon presiden dan wakil presiden. Capres lebih dari dua dipandang sebagai bagian dari upaya menciptakan pemilu presiden yang lebih baik, demokratis, dan menghindari risiko polarisasi yang tajam.
Sekrektaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arwani Thomafi mengatakan, pemilu harus menjadi ruang yang nyaman untuk mempertegas persatuan antaranak bangsa. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya untuk menghindari polarisasi yang tajam dalam perhelatan pemilu.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
“Salah satunya yang menjadi pintu masuk adalah memberi ruang untuk munculnya lebih banyak calon. Paling bagus ada tiga calon. Ini akan memberikan lebih banyak pilihan bagi pemilih, tidak lagi pilih, dia, kamu, atau mereka, tetapi lebih banyak pilihan,” katanya, Senin (7/2/2022) di Jakarta.
Baca juga: PPP Sebut Potensi Muncul Tiga Poros Koalisi di 2024
Arwani menuturkan, ajang pemilu seharusnya menjadi momentum perbaikan jaminan kedaulatan rakyat dalam kehidupan demokratis. Dengan demikian, harus ada pelajaran yang diambil dari penyelenggaraan pemilu sebelumnya yang memicu keterbelahan di masyarakat. Polarisasi akibat Pemilu 2019, misalnya, belum hilang meski para kandidat di pemilu presiden (pilpres) kala itu pada akhirnya bergabung memperkuat pemerintahan.
“Ada catatan dari pemilu sebelumnya yang menyebutkan pilihannya tidak leluasa karena hanya ada dua. Ini yang harus kita perbaiki, supaya rakyat punya banyak pilihan. PPP memandang itu bagian dari strategi kita menjadikan pemilu lebih baik. Kami yakin kalau pemilu diikuti lebih dari dua kontestan, misalnya, kalau ada tiga pasangan saya kira cukup, tentu itu akan lebih baik,” kata Wakil Ketua Komisi V DPR ini.
Ajang pemilu seharusnya menjadi momentum perbaikan jaminan kedaulatan rakyat dalam kehidupan demokratis. Arwani Thomafi
Arwani menuturkan, partainya saat ini terus menjalin komunikasi politik dengan sejumlah partai, seperti Partai Amanat Nasional (PAN), Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), dan partai-partai lainnya untuk menyamakan persepsi mengenai bangunan politik dan pemilu yang lebih baik. “Semua komponen partai kita dekati,” katanya.
Keharusan koalisi
Wakil Ketua Umum Partai Golkar Nurdin Halid mengatakan, jumlah capres lebih dari dua akan lebih baik, karena rakyat akan memiliki semakin banyak pilihan. “Saya setuju kalau ada tiga atau empat calon. Semakin banyak calon akan semakin sehat demokrasi, sebab semakin banyak pilihan bagi rakyat,” ujarnya.
Baca juga: Airlangga Ingin Golkar Pimpin Koalisi Besar
Nurdin yang juga mantan Ketua Umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) ini mengatakan, politik sangat dinamis, sehingga poros-poros koalisi parpol itu sangat mungkin terjadi. Hal itu tidak terhindarkan di era multipartai seperti saat ini.
“Sekalipun jumlah kursinya cukup, tetap harus berkoalisi. Golkar, misalnya, hanya butuh satu parpol untuk mengusung capres sendiri. Tetapi Golkar tidak melihat cukup hanya satu partai itu, tetapi kami terbuka untuk bekerja sama dengan partai lainnya sepanjang ada kesepahaman mengenai visi dan misi negara kesejahteraan,” katanya.
Nurdin mengatakan, partainya juga telah menjalin komunikasi politik dengan partai-partai lain, tetapi dengan siapa Golkar akan berkoalisi belum diputuskan.
Wakil Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P Arif Wibowo mengatakan, apakah jumlah capres di Pemilu 2024 berpotensi lebih dari dua, itu akan sangat bergantung pada dinamika partai-partai selaku pengusung koalisi. Kalau di atas kertas, jumlah capres bisa sampai lima.
“Tetapi nanti akan ketemu titik kesepakatannya, berapa jumlah capres. Itu urusan bagaimana masing-masing partai menyelaraskan visi dan misinya dalam membangun koalisi,” ucapnya.
Baca juga : Parpol Koalisi Dorong Kebersamaan Atasi Pandemi
Bagi PDI-P, koalisi adalah sebuah keniscayaan. Sebab, republik ini tidak bisa diurus hanya sebagian kecil kelompok, melainkan memerlukan kerja kolaborasi banyak pihak, yang bisa mendukung negara kesatuan, menjaga keberagaman, dan memastikan Pancasila sebagai dasar negara tidak goyah.
Demikian pula dalam mengusung capres, Arif mengatakan, PDI-P terbuka untuk bekerja sama dengan partai lain. Sekalipun PDI-P merupakan satu-satunya partai yang memiliki tiket untuk mengusung capres tanpa membutuhkan koalisi, namun PDI-P tetap akan berkoalisi dengan partai lain. Sebab, bangunan koalisi tidak hanya diperlukan saat mengusung capres, tetapi juga untuk memberikan dukungan kepada capres itu jika ia terpilih sebagai presiden.
“Ini urusannya bukan hanya saat mengusulkan calon presiden, tetapi saat ia terpilih tentu juga memerlukan dukungan yang kuat dan konstruktif dari parlemen. Koalisi yang kuat di DPR ini penting untuk memastikan kebijakan dan programnya bisa berjalan,” ucap Arif yang juga anggota Komisi II DPR ini.
PDI-P terbuka untuk bekerja sama dengan partai lain. Sekalipun PDI-P merupakan satu-satunya partai yang memiliki tiket untuk mengusung capres tanpa membutuhkan koalisi. Arif Wibowo
Ruang negosiasi
Wakil Sekjen PKB Syaiful Huda mengatakan, partainya ingin membentuk poros koalisi baru yang menyudahi fragmentasi politik sebagai dampak dari Pemilu 2019. PKB juga telah menjajaki komunikasi dengan parpol lain untuk mendorong hal ini.
“Kita butuh capres lebih dari dua. Idealnya tiga. Kalau sampai empat juga bagus, karena semangatnya jangan sampai masyarakat berhadap-hadapan karena hanya ada dua pilihan pasangan,” kata Huda.
Baca juga: PKB: Ada Peluang Usung Muhaimin-Prabowo atau Prabowo-Muhaimin
Dengan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden 20 persen kursi, atau 25 persen suara, lanjut Huda, memungkinkan terbentuknya empat poros koalisi pada Pemilu 2024 untuk mengusung capres. Dengan kian banyaknya pilihan capres, ini juga membuat masyarakat kembali pada nilai-nilai dasar mereka dalam memilih capres, karena lebih leluasa untuk mempertimbangkan calon yang sesuai dengan platform atau ideologi mereka.
Sekalipun PKB menghendaki agar Ketum PKB Abdul Muhaimin Iskandar maju sebagai capres, namun dalam ruang koalisi dapat terjadi negosiasi. Jika dalam poros koalisi itu, raihan PKB yang dominan, maka capres harus dari PKB. Sebaliknya, kata Ketua Komisi X DPR itu, jika poros koalisi yang tercipta itu menempatkan PKB bukan sebagai partai yang dominan, PKB siap bernegosiasi, misalnya dengan mendudukkan Muhaimin sebagai cawapres.
Namun, tujuan utama menciptakan poros koalisi lebih dari dua, menurut Huda, adalah untuk menyehatkan demokrasi, dan mengeluarkan demokrasi di Indonesia dari jebakan pragamatisme dan keterbelahan.
Empat poros
Peneliti utama lembaga survei Indikator Politik, Adam Kamil, mengatakan, jika melihat konstelasi politik berdasarkan peta distribusi partai, dan polarisasi ideologi partai, terbuka potensi pembentukan empat poros koalisi dalam Pemilu 2024.
“Poros koalisi pertama, PDI-P, karena dia satu-satunya yang memiliki kursi lebih dari 20 persen. Poros lain, adalah Gerindra, Golkar, dan terbuka juga bagi poros Nasdem,” ujarnya.
Baca juga: Gerindra Kembali Suarakan Keinginan agar Prabowo Maju di Pilpres 2024
Masing-masing poros koalisi itu akan mengunggulkan capres masing-masing. Namun, bila berkaca pada berbagai hasil survei tingkat elektabilitas capres, posisi teratas adalah Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, yang juga menjabat Menteri Pertahanan. Adapun nama-nama lainnya berasal dari kepala daerah, seperti Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Di tataran kedua ada Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, dan Sandiaga Uno yang kini menjabat Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
“Semakin banyak pilihan, masyarakat akan semakin leluasa memilih, karena tidak dimonopoli oleh kekuatan tertentu saja, dan menghindari polarisasi,” katanya.
Kepala Departeman Politik dan Perubahan Sosial Arya Fernandes berpendapat, sosok capres akan lebih menentukan arah poros koalisi dalam Pemilu 2024.
Kepala Departeman Politik dan Perubahan Sosial Arya Fernandes berpendapat, sosok capres akan lebih menentukan arah poros koalisi dalam Pemilu 2024. Misalnya, sosok Anies, dia bisa menjadi jangkar bagi partai-partai menengah, seperti Nasdem, PAN, PPP, bahkan Demokrat. Begitu pula dengan Ganjar, seandainya dia tidak diusung PDI-P, bisa jadi ia akan diusung oleh Golkar, dan menarik koalisi partai lainnya. Sosok Prabowo juga akan menjadi jangkar koalisi Gerindra, karena dia satu-satunya ketum partai dengan elektabilitas tinggi.
“Dalam pilpres, pendorong utama munculnya poros-poros koalisi itu sebenarnya adalah kandidat. Dalam Pemilu 2014 dan 2019, misalnya, yang memicu koalisi adalah sosok Jokowi dan Prabowo, bukan partainya. Hal ini juga akan terjadi di Pemilu 2024,” ujar Arya.
Baca juga : Kaus ”Banteng Celeng”, Ganjar Pranowo, dan Suara Akar Rumput
Parpol pada tataran tertentu akan menentukan arah koalisi, seperti PDI-P yang memiliki tiket untuk mengajukan capres sendiri. Namun, itu pun harus tetap melihat potensi kemenangan atau elektabilitas dari capres yang diusung oleh partai.
Sebaliknya, jika arah koalisi ditentukan oleh parpol, maka calon yang muncul adalah calon dari partai yang dominan, sehingga parpol-parpol lain yang berkoalisi dengannya tidak akan mendapatkan keuntungan dari koalisi itu.
Oleh karena itu, poros koalisi yang berbasiskan kandidat dinilai lebih realistis dalam konstelasi politik di Tanah Air. Parpol-parpol akan mendapatkan keuntungan yang setara, karena kandidat itu tidak mewakili salah satu parpol secara dominan. Fenomena Jokowi, menurut Arya, sekali lagi menunjukkan bagaimana kader biasa sebuah partai dapat menjadi magnet bagi terbentuknya koalisi, dan dengan situasi itu semua anggota koalisi tidak merasa dirugikan dengan kemunculannya.