Jaksa Agung: Jangan Ada Lagi "Ngemis-ngemis" Proyek
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin kecewa dan marah karena masih mendengar ada oknum jaksa, baik di pusat maupun di daerah, yang menyalahgunakan kewenangan dan berperilaku layaknya benalu.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengingatkan jajarannya di pusat hingga daerah agar tidak lagi bermain proyek di pemerintahan. Sanksi pun menanti bagi mereka yang mengabaikan peringatan tersebut.
Peringatan itu disampaikan Jaksa Agung saat memberikan pengarahan secara mendadak, Senin (31/1/2022), kepada para kepala kejaksaan tinggi, hingga para kepala cabang kejaksaan negeri, beserta jajaran di seluruh Indonesia. Hadir dalam pengarahan virtual itu, di antaranya Wakil Jaksa Agung Sunarta, para Jaksa Agung Muda, serta pejabat di lingkungan Kejaksaan Agung (Kejagung).
Dalam kesempatan tersebut, Burhanuddin mengaku kecewa dan marah karena masih mendengar ada oknum di kejaksaan, baik di pusat maupun di daerah, yang menyalahgunakan kewenangannya dan berperilaku layaknya benalu. Artinya, oknum jaksa tersebut menggerogoti instansi atau unit yang didampingi dengan mengintervensi pemerintah setempat.
”Saya ingatkan, jangan ada lagi yang bermain mencari proyek di pemerintahan. Jangan lagi ada minta-minta atau ngemis-ngemis proyek, menggerogoti kegiatan pembangunan daerah, yaitu dengan perbuatan meminta-minta setoran, mengemis proyek, bahkan ikut campur dalam menentukan pemenang proyek pengadaan demi memperoleh keuntungan pribadi. Saya akan tindak tegas siapa pun Anda. Ingat itu!” ujar Burhanuddin.
Ia pun memerintahkan pada Jaksa Agung Muda Pengawasan, Kepala Kejaksaan Tinggi, Asisten Pengawasan agar menindak tegas jaksa yang masih bermain proyek di pemerintahan tersebut. Bahkan, jika perlu, ia tak segan-segan mencopot jabatan mereka dan menerapkan sanksi pidana agar menimbulkan efek jera serta pembelajaran bagi jaksa yang lain.
”Apabila diperlukan, saya selaku Jaksa Agung akan bertindak tangan besi untuk menghukum anak-anak saya demi terjaganya marwah institusi kejaksaan,” kata Buharnuddin.
Jaksa Agung juga kembali mengingatkan kepada seluruh jajaran agar tidak memercayai siapa pun yang mengaku kenal dengannya atau mengatasnamakan namanya untuk berkoordinasi mengenai perkara, bahkan meminta proyek pada pemerintah setempat. Seluruh kepala satuan kerja harus mampu menjaga wibawa sehingga tidak perlu takut kepada pihak atau organisasi, seperti lembaga-lembaga swadaya masyarakat, yang menggunakan nama kejaksaan dan mengaku seolah-olah menjadi organisasi pendukung kejaksaan yang mempunyai niat untuk mencari keuntungan.
”Saya akan melindungi saudara jika bertindak sesuai aturan yang berlaku. Sebaliknya, saya tidak akan ragu menghukum dan memidanakan saudara yang secara nyata mencoreng marwah institusi kejaksaan,” tutur Jaksa Agung.
Ia meminta Kepala Pusat Penerangan dan Hukum agar membuka aduan bagi siapa saja, entah para jaksa ataupun pegawai tata usaha, yang masih meminta-minta proyek di pemerintahan. Sebagai pelaksana kebijakan penegakan hukum pemerintah, para jaksa seharusnya berperan sebagai agen percepatan pembangunan nasional, agen penstabil atau stablitator situasi dan kondisi di daerah, serta agen pengamanan atas seluruh aset negara.
“Di sinilah peranan seorang jaksa dibutuhkan untuk selalu memberikan pendampingan, pembinaan, dan pengingat kepada segenap stakeholder pemerintah setempat sebagai pelaksana pembangunan, guna menyukseskan program-program pembangunan yang ada,” ujar Jaksa Agung.
Jaga kepercayaan publik
Kegelisahan Jaksa Agung itu juga ditemukan oleh Komisi Kejaksaan. Dihubungi secara terpisah, Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak mengaku beberapa kali telah mendapat laporan pengaduan dari masyarakat terkait jaksa yang mencoba-coba bermain proyek di pemerintahan.
Ia tak menyebut jumlah detail laporan tersebut. Namun, yang pasti, menurut dia, berkaitan dengan potensi korupsi, kolusi, dan nepotisme di proyek pemerintahan ini, terdapat dua kondisi. Pertama, jaksa secara aktif sejak awal berniat meminta-minta proyek di pemerintahan. Kedua, secara pasif, jaksa tersebut justru ditawarkan proyek oleh oknum penyelenggara proyek. Hal semacam ini yang membuat jaksa akhirnya terjerumus pada konflik kepentingan (conflict of interest). Alhasil, jaksa itu mengabaikan segala temuan yang mencurigakan dalam proyek tersebut.
”Jaksa ini kan seharusnya enggak boleh ikut urusan proyek-proyek kayak begitu. Dia harus bersih supaya dia bisa obyektif menjaga proyek itu dan berani menindak kalau ada pelanggaran. Kalau sudah ikut bermain, bagaimana hukum bisa tegak, ini, kan, bisa hancur republik ini kalau terus-menerus begini. Rakyat menderita karena hak untuk pembangunan dirampok oleh para penjahat itu,” kata Barita.
Karena itu, Barita sangat mendukung peringatan tegas Jaksa Agung terhadap para jajarannya. Ia menilai, ini menjadi bagian dari upaya Jaksa Agung menjaga kepercayaan publik apalagi saat ini Kejagung tengah mengawal kasus-kasus besar. Menurut dia, jika Kejagung ingin memberantas kasus-kasus korupsi yang ada, tentu semua harus dimulai dari internalnya sendiri.
”Jaksa agung ingin menekankan adanya keteladananan, bersih. Berani keras, berani bersih dan menindak anak buah yang (bermain) macem-macem. Jadi, tidak mungkin dia bisa membersihkan kalau dirinya tidak bersih. Tidak mungkin pula, public trust (kepercayaan publik) bisa tinggi kalau cara-cara membersihkan para koruptor ini juga berkelindan dengan para jaksa yang masih minta-minta proyek,” kata Barita.